Jakarta, CNN Indonesia -- Industri batik terus bertumbuh. Namun hanya segelintir saja label batik yang melegenda. Danar Hadi, salah satunya. Label yang didirikan oleh Santosa Doellah di Solo, Jawa Tengah, ini mampu bertahan lebih dari empat dekade.
Sejauh ini, Danar Hadi telah ‘membentangkan’ kain batiknya dari Sumatra sampai Sulawesi. Gerainya mengisi pasar domestik, termasuk pusat perbelanjaan bergengsi, macam Sogo dan Seibu. Kesuksesan ini diakui Santoso tak terlepas filosofi luhur.
“Menjalankan sebuah usaha, dalam hal ini pembatikan, haruslah dikerjakan dengan tekun, ulet, mencintai bidang yang kita tekuni,” kata Santosa kepada CNNIndonesia.com via surel. Selain itu, masih ada hal lain yang menurutnya tak kalah penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Museum Danar Hadi di Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah. (MZ Priyanto/Dok. Danar Hadi) |
“Wajib mengetahui seluk beluk batik, baik tentang motif, filosofi maupun teknik penyogaan atau pewarnaannya,” Santosa menambahkan. Ia sendiri beroleh pengetahuan mumpuni soal batik dari neneknya, Raden Nganten Wongsodinomo, yang berjualan batik.
Menurut Santosa, hal paling utama dan sangat penting dalam menjalankan usaha batik adalah menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya. “Tentu saja juga harus bisa dipercaya, serta selalu konsisten dalam berkarya demi menjaga kualitas.”
Konsistensi itu diwujudkan oleh Santosa bersama timnya dengan mempertahankan ciri khas di tiap produk batik Danar Hadi. Setiap karya atau desain dibuat dengan mengacu pada motif klasik serta memadukannya dengan motif yang sedang disukai masyarakat.
Namun sekadar berkarya saja tidak lah cukup. Pelaku usaha batik, dikatakan Santosa, juga wajib menjalin kerja sama dan komunikasi yang baik dengan perajin batik sebagai salah satu mitra usaha. Kerja sama tersebut dilandasi kesetaraan dan keseimbangan.
Santosa sendiri tak gamang mengestafet bisnis batik dari leluhurnya. “Karena saya lahir dan dibesarkan di lingkungan pembatikan. Setiap hari, saya melihat semua hal tentang batik, sehingga batik mendarah daging, menyatu dengan hati dan jiwa saya.”
Pengalaman ini menimbulkan semangat serta gairah Santosa untuk mendalami batik. “Seperti pepatah Jawa, ‘
tresna merga kulina,’” kata Santosa seraya menegaskan usaha turun temurun ini menjadi inspirasi dalam menekuni mata pencaharian yang berkesinambungan.
 Interior cantik Museum Danar Hadi di Solo berpadu batik klasik. (MZ Priyanto/Dok. Danar Hadi) |
Berbekal ‘amunisi’ itu, Santosa tidak gentar menghadapi industri batik yang bergeliat. “Alhamdulillah,” katanya, “saat ini perkembangan industri batik di Indonesia, terutama Solo, berkembang sangat pesat.” Kehadiran
rookie pun tak membuat Santosa panik.
Justru hadirnya para desainer dan pengusaha muda di industri batik, menurut Santoso, menjadikan produk batik kini lebih bervariasi, baik dari segi corak maupun teknik pewarnaan. Ini, diyakini Santosa, berdampak positif bagi industri batik.
Sedinamis apa pun industri batik, Santosa tetap memandang penting komitmen mempertahankan kaidah dan tatanan—dua hal yang merupakan keunggulan batik Indonesia atau Solo. Misalnya, tetap membuat motif klasik di karya yang mengikuti selera pasar atau tren.
Danar Hadi sendiri, menurut Santosa, memiliki visi misi: harus tetap mempertahankan motif klasik namun bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. “Sehingga mampu dituangkan dalam karya-karya yang sesuai dengan permintaan pasar,” katanya.
Sepanjang 40 tahun mengembangkan Danar Hadi, Santosa tidak memungkiri ada orang-orang yang salah mengira nama label batiknya dijumput dari nama leluhur pria. Padahal sejatinya dijumput dari nama istri tercinta, Danarsih Hadipriyono.
“Menurut saya itu wajar saja,” kata Santosa, “karena mereka belum mengerti atau mengetahuinya. Justru hal tersebut menimbulkan keinginan bagi saya untuk lebih memopulerkan Danar Hadi serta menjelaskan makna nama Danar Hadi dengan benar.”
(vga/vga)