Jakarta, CNN Indonesia -- Gugusan rumah berwarna-warni terhampar luas di suatu sudut di tepian Sungai Brantas, kota Malang, Jawa Timur. Dengan rona yang terlihat mencolok dari salah satu jalan raya utama di kota Malang, tak heran banyak pengendara menyandarkan kendaraannya dan menyempatkan waktu untuk mengamatinya.
Rumah-rumah ini terletak di sebuah kelurahan bernama Jodipan, sebuah kampung berukuran kecil yang menaungi tiga Rukun Tetangga (RT) di kecamatan Blimbing, kota Malang. Letaknya yang lebih rendah dibanding wilayah sekelilingnya, membuat kampung Jodipan dihiasi berundak-undak anak tangga.
Selain itu, lokasinya yang berdekatan dengan rel menuju stasiun Kota Malang Lama, menjadikan pemandangan kampung Jodipan sebagai hidangan pembuka bagi para pelancong yang datang ke Malang menggunakan kereta api.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menilik lebih dalam ke jantung perkampungan, karya mural dan lukisan tembok terpampang di setiap sudutnya. Tak jarang, banyak pengunjung yang menjajal lokasi ini sebagai arena berfoto yang paling utama.
Namun, siapa sangka jika kampung ini awalnya hanya pemukiman kumuh yang kerap diacuhkan warga yang melintas.
Sembari bersandar di bangku kayu, salah satu warga kampung Jodipan, Siti Aminah mengisahkan serangkaian peristiwa yang membuat pamor kampungnya semakin melesat.
Ia menjelaskan, perubahan itu bermula empat bulan silam, di mana seorang gadis tiba-tiba hadir mengetuk pintu rumahnya.
Ternyata, gadis tersebut merupakan salah seorang dari kelompok mahasiswa yang sedang mengerjakan praktikum mata kuliah. Di hadapan Aminah, mahasiswi tersebut mengatakan bahwa kampung Jodipan tengah dijadikan objek bagi praktikum yang mereka kerjakan.
 Wisatawan yang berdatangan. (CNNIndonesia/Galih Gumelar) |
"Tiba-tiba saja rumah saya didatangi mahasiswa yang katanya sedang membuat tugas kuliah. Mereka bertanya, 'Ibu mau rumahnya dicat ulang?'. Karena saat itu menjelang Lebaran dan saya ingin rumah saya terlihat bagus, saya jawab saja, 'silahkan saja, mbak,'" ujar Aminah.
Pengecatan pun tak memakan waktu yang lama, hingga akhirnya banyak pengunjung yang berbondong-bondong ingin melihat proses pengecatan masing-masing rumah.
Aminah menyebut, pada awalnya publik penasaran dengan perubahan drastis lingungan yang dihuninya. Belakangan, ternyata kampungnya menjadi magnet bagi pemuda-pemudi yang ingin memanfaatkan kampung Jodipan sebagai ajang pamer di media sosial.
"Kami sebetulnya kaget tiba-tiba kampung kami didatangi banyak orang yang foto-foto. Terus makin hari, makin banyak saja yang datang. Kami bingung, kok hanya dengan dicat warna-warni saja kampung kami bisa ngetop mendadak. Ternyata, saya baru tahu kalau kampung kami katanya mirip dengan apa yang ada di Brazil," jelasnya.
Seiring merebaknya wisatawan, geliat perekonomian warga pun ikut bertumbuh. Sebagai contoh, kini bisnis warung dan kedai kudapan semakin moncer di kampung ini. Padahal menurut Aminah, sebelumnya hanya ada tiga warung yang buka setiap harinya.
 Suasana di gang kampung. (CNN Indonesia/Galih Gumelar) |
Tak mau kehilangan momentum, kini setiap pengunjung yang datang dikutip biaya masuk sebesar Rp2000 per orang. Namun, pengenaan ini tak bersifat memaksa. Apalagi menurut Aminah, uang tersebut bahkan tak pernah masuk ke pundi-pundi Kepala Keluarga (KK) tertentu.
"Biaya masuk pun tak pernah digunakan untuk kepentingan satu keluarga tertentu. Uang pungutan pengunjung biasanya kami gunakan untuk membayar pengecatan tambahan dan biaya kebersihan. Pasalnya, pengeluaran kebersihan kampung kami cukup besar, sekitar Rp1 juta per bulan untuk seluruh warga," lanjutnya.
Kendati demikian, bukan berarti menjadi terkenal selalu mendatangkan keuntungan. Aminah menceritakan, banyak warga yang mulai sulit tidur akibat riuhnya wisatawan yang melipir. Selain itu, ramainya pelancong juga mengikis ruang gerak warga dalam melakukan kegiatan rumah tangga sehari-hari
Meski mendapatkan manfaat, lucunya Aminah sendiri tidak ingin kampung yang didiaminya terlalu populer. Ia, beserta warga lainnya, hanya ingin kampung Jodipan menjadi kawasan pemukiman pada umumnya.
"Tapi kami mensyukuri saja, apalagi kini Pak Walikota Malang menjadi lebih perhatian kepada kami. Kemarin saja kami dikirimi bantuan berupa semen dan material untuk merampungkan sejumlah rumah warga dari Pemerintah Kota Malang. Ternyata, jadi terkenal itu bisa menyenangkan dan merugikan dalam waktu yang bersamaan," pungkas Aminah.
(ard)