Jakarta, CNN Indonesia -- Keriuhan di balik penyelenggaraan acara
fashion week atau pekan mode bukan sebatas urusan teknis seperti jadwal peragaan, urutan desainer yang akan tampil, atau peralatan lain.
Jauh sebelum itu—dalam kurun beberapa bulan, bahkan satu tahun—panitia pekan mode melakukan seleksi ketat terhadap partisipan, terutama desainer. Hanya desainer terpilih yang layak menampilkan koleksi terbaru di hadapan pencinta mode.
Agaknya bukan hal sulit bagi desainer senior yang sudah memiliki jam terbang tinggi untuk 'menembus' penyeleksian sebuah pekan mode di Indonesia. Namun bukan mustahil ini dapat pula dilakukan oleh desainer junior yang sedang naik daun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Desainer yang dapat tampil di Jakarta Fashion Week atau JFW itu ada yang dari pihak sponsor, membeli bagian atau jadwal tampil, dan dari sekolah mode," kata Zornia Harisantoso,
head program Jakarta Fashion Week (JFW) saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
"Namun pembagiannya disebar sepanjang JFW, tidak dikumpulkan dalam satu hari yang sama untuk satu kategori tertentu," ia menambahkan.
"Di dunia mode, jam terbang desainer juga diperhatikan. Dan berpengaruh apakah baiknya ditempatkan di jam utama yaitu malam hari, atau siang hari. Nah, kami juga meninjau dari desain koleksi yang akan ditampilkan, kan kurang pas bila desainnya heboh tapi waktu tampilnya siang hari," kata Zornia.
Meski sudah memiliki nama dan jam terbang tinggi di dunia mode, seorang desainer belum tentu langsung lulus seleksi dan mendapatkan jadwal untuk tampil di pekan mode.
Diakui Zornia, proses penyeleksian desainer dibantu oleh penasihat kreatif JFW, Ai Syarif. Mantan model dan
fashion stylist ini memberikan saran kepada tim acara JFW soal pentingnya merancang
mood saat menyusun jadwal tampil desainer di pekan mode terbesar di Indonesia tersebut.
"Kami bukan hanya melihat desain yang akan ditampilkan. Namun hingga karakter sang desainer," kata Zornia.
Sedangkan bagi desainer baru, bukan mustahil untuk mencoba tampil di pekan mode. JFW misalnya, membuka pendaftaran bagi desainer yang ingin tampil di
runway tanpa menggandeng sponsor. Tentu, untuk urusan seperti ini terselip urusan bisnis.
"Kalau desainer yang beli jadwal itu yang mengkaji [adalah] dari tim bisnis terlebih dahulu. Kami juga melihat desainnya, kalau dirasa tidak masalah, maka ia bisa tampil. Atau, ya mungkin belum bisa tampil dahulu. Namun tidak ada yang tidak bisa tampil," kata Zornia.
"Beberapa desainer ada yang memesan tanggal tertentu untuk tampil, namun semua keputusan ada di tangan panitia. Karena kalau tiba-tiba semua desainer ingin di tanggal tertentu, itu tidak bisa. Kami pun mempertimbangkan massa juga," lanjutnya.
Beberapa desainer memiliki 'basis penggemar'-nya tersendiri. Basis penggemar ini biasanya di terdiri dari pelanggan setia, pemberi sponsor, artis, hingga komunitas seperti pengajian atau pengguna hijab.
'Basis penggemar' ini pula yang menjadi dasar pertimbangan untuk menggabungkan atau mengelompokkan beberapa desainer sekaligus di satu jadwal tampil atau di satu panggung
runway.
"Biasanya kalau
crowd-nya bagus, mereka tampil bareng. Jarang ada yang tampil tunggal di JFW. Kebanyakan multi-desainer antara dua hingga enam sekali penampilan," kata Zornia.
Selain dari basis massa, penggabungan juga didasarkan desain koleksi yang akan ditampilkan. Salah satunya adalah penampilan para desainer muslim atau
modest wear yang kerap digabung dalam satu jadwal tampil.
Atau, para desainer baru yang ternyata merupakan satu almamater, maka akan dikumpulkan dalam satu penampilan selama masih memiliki 'benang merah' dalam koleksi mereka.
Taraf InternasionalSecara khusus di Jakarta Fashion Week atau JFW, proses seleksi tidak berhenti ketika para desainer tampil di atas panggung runway. Terutama bagi desainer baru, proses seleksi masih dilakukan untuk tahap lebih lanjut secara internasional.
Sebagai bagian dari JFW, pekan mode yang sudah berlangsung selama sembilan tahun ini memiliki rangkaian program pengembangan desainer bernama Indonesia Fashion Forward atau IFF yang sudah berlangsung lima tahun terakhir.
Setiap tahunnya, IFF yang juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga dewan kebudayaan negara lain ini melakukan proses
mentoring, monitoring, pelatihan, hingga kolaborasi dengan desainer negara lain dan mengikuti ajang mode internasional.
"Untuk IFF, desainer nantinya akan dikurasi terlebih dahulu dari JFW Fashion Council, atau perkumpulan para editor dan pemimpin redaksi media mode di Indonesia, lalu dikurasi lagi oleh
international fashion expert. Kalau lolos, baru bisa gabung masuk IFF," papar Lenni Tedja, direktur JFW, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, dalam kesempatan terpisah.
Dalam IFF ini, para desainer dan pemilik label yang masih 'muda' ini didorong untuk menjadikan usaha kreatifnya tersebut menjadi berkelanjutan, sebagai bagian dari sebuah industri mode. Beragam negara telah bekerja sama dengan IFF seperti Inggris Raya, Jepang, Thailand, India, Swedia, dan India.
Selama lima tahun penyelenggaraan IFF, mulai muncul beberapa nama alumni program ini yang dikenal karyanya di dunia internasional. Mereka adalah Major Minor, Toton, Nur Zahra, Dian Pelangi, ETU by Restu Anggraini, IKYK, dan masih banyak lagi.
(end/vga)