Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam beberapa tahun terakhir, desainer tampak terus berlomba-lomba mengeksplorasi wastra Nusantara. Beberapa wastra yang semula hanya dikenal sebagai kain tradisional, kini tergolong produk mode, sebut saja tenun, batik dan ulos.
Meski bukan yang pertama kali, Lenny Agustin dan Hannie Hananto ikut kembali 'mengotak-atik' kain tradisional. Keduanya digandeng oleh Pemerintah Kota Kediri. Lenny dan Hannie mengangkat wastra dari salah satu kota produsen label rokok besar tersebut.
"Tawaran datang dari ibu Wali Kota Kediri, Veronika Abdullah Bakar. Ia sebelumnya pernah mencoba mengembangkan kain dari Kediri, namun dirasa belum cukup. Ia ingin kain Kediri bisa mencapai level nasional, bahkan internasional," kata Hannie saat ditemui di Jakarta Fashion Week, Selasa (25/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam
fashion show kali ini, Hannie menampilkan gubahan yang berdasar pada kain tenun ikat Bandar Kidul asal Kediri. Sedangkan Lenny menampilkan modernitas dari motif kuda lumping yang ada di batik Kediri.
Selama enam bulan, keduanya blusukan ke berbagai pengrajin untuk mempelajari dan mengolah kedua jenis kain tersebut dengan cara serta ide khas masing-masing. Lenny tertarik pada budaya Jaranan yang ada di Jawa dan terkait dengan kuda lumping, sedang Hannie berkonsentrasi pada beberapa jenis motif dari tenun ikat Kediri tersebut.
Hannie secara umum mengangkat motif lurik dan wajik sebagai unsur dominan pada 24 tampilan yang ia bawa. Berwarna monokrom dan sogan, Hannie memadukan tenun dalam bentuk
modest-wear, sesuai dengan karakternya selama ini.
Meski bernama tenun, namun wastra yang digunakan Hannie kali ini tidak seperti kebanyakan tenun di luar Jawa yang tebal. Ketebalan tenun ini cenderung lebih tipis sehingga memungkinkan lebih luwes dan nyaman saat aktif bergerak.
Hannie juga lebih memilih atmosfer yang modern serta
edgy. Ini menjadi keputusan menarik mengingat kontras dengan pilihan warna yang cenderung 'kuno'.
"Saya menginginkan kain tenun ini dapat menjadi salah satu benda yang diwariskan dari orang tua ke anaknya. Namun saya memodifikasi dengan bentuk lain seperti
outer agar lebih multi-fungsi," kata Hannie.
 Foto: Dok. Jakarta Fashion Week (Dok. Jakarta Fashion Week) |
Kain tenun ikat asal Kediri adalah salah satu wastra minim riwayat. Menurut catatan dari Pemerintah Kota Kediri, sumber literatur tentang tenun ini nyaris tidak ada meski memiliki beberapa sentra pembuatan di kota Tahu tersebut.
Namun, Tropen Museum di Belanda menyimpan enam jenis kain tenun ikat asal Kediri. Artefak tersebut tidak diketahui riwayat secara mendalam, hanya diketahui terbuat sejak 1910.
Secara umum, ada tujuh motif utama pada kain tenun ikat Kediri ini. Mereka adalah ceplok atau motif bunga tertata, loong atau bunga tidak beraturan, tirto tirjo atau seperti gemericik air, garis miring, salur atau polos, rang-rang, dan gelombang air yang menggambarkan Sungai Brantas yang membelah kota Kediri.
[Gambas:Video CNN]Gemerincing Kuda LumpingBila karya Hannie berkesan kalem, beda hal dengan Lenny Agustin. Desainer yang identik dengan rambut warna pelangi ini menggubah motif kuda lumping yang ada di batik Kediri untuk mengikuti ciri khas dan jiwanya yang penuh warna.
"Sebenarnya terinspirasi dari kebudayaan Jaranan yang ada di Jawa, juga ada di Kediri. Namun, sejauh sepengetahuan saya, kuda lumping yang biasanya ada di kebudayaan itu ada dalam bentuk motif dan cuma di Kediri. Sehingga saya tertarik untuk eksplorasi lebih dalam" kata Lenny saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, di area JFW.
Namun, motif kuda lumping yang biasa ditemui Lenny ternyata dianggap terlalu kecil. Maka dari itu, ia mencoba menjadikan kuda lumping menjadi pusat perhatian dari koleksi 'jaranan' miliknya.
[Gambas:Video CNN]Tidak tanggung-tanggung, dalam pagelaran yang memamerkan 24 busana itu, Lenny mengekspos kuda lumping habis-habisan. Kadang Lenny menjadikan muka kuda sebagai bentuk baju, kuda lumping dalam motif rok, hingga kuda lumping dalam bentuk clutch.
"Sebenarnya proses ke pengrajin tidak sulit, sangat menyenangkan. Namun memang transfer ilmu ke para pengrajin yang sudah puluhan tahun terbiasa dengan cara tertentu sementara tiba-tiba saya dari urban datang dengan cara baru dan harus kolaborasi, pasti menemukan kesulitan," kata Lenny.
Tak lupa, Lenny juga memasukkan unsur hiasan kuda lumping seperti pom-pom atau bandul dari kain berwarna-warni, hingga lonceng yang yang biasa dipasang di kuda lumping. Lonceng tersebut dipasang Lenny di sepatu hak hingga bergemerincing saat dikenakan.
Lenny tak salah memilih kuda lumping sebagai bahan eksplorasi. Dia terlihat tak mengalami kesulitan menerjemahkan beraneka warna yang biasa ada di kuda lumping ke atas batik tulis karyanya tersebut. Setidaknya warna-warna seperti hitam, kuning, biru, merah, putih, merah muda, dan ungu menghiasi koleksinya tersebut.
"Yang saya pahami, pasukan kuda lumping itu adalah pasukan untuk mengawal pangeran yang pergi jauh mencari jati diri. Nah, saya melihat dari selebrasi di pertunjukan rakyat tersebut. Semua bahagia, dan dikombinasikan dengan karakter saya, pastinya jadi
colorful,
cheerfull, dan
girly," kata Lenny.
Tak berhenti sampai di situ, setelah bereksplorasi dengan motif tenun Kalimantan yang diterapkan dengan teknik sulam tahun lalu dan bermain-main dengan 'kuda lumping' tahun ini, Lenny ternyata sudah punya rencana selanjutnya.
"Tahun depan saya akan mencoba mengeksplorasi kain tapis Lampung," kata Lenny sembari tersenyum.
(meg)