Jakarta, CNN Indonesia -- Hingga hari ini (26/11), warga dan wisatawan di Yerusalem asyik berpesta kuliner. Sebetulnya, Yerusalem bukan destinasi wisata kuliner, namun sepekan belakangan, ada yang berbeda.
Sejak Selasa lalu (22/11), untuk pertama kali digelar festival kuliner
Open Restaurants. Selama lima hari, orang-orang menjejali gerai-gerai
hummus dan jus delima di alun-alun Kota Tua yang dihuni warga Muslim dan Kristiani.
“Kota Tua jarang dikenal lewat masakan lokalnya,” kata Havatzelet Ohayon, ketua kelompok sekitar pasar, dikutip
Times of Israel, sembari menyilakan para pengunjung menghirup aroma lezat kue-kue bertabur wijen di Open Restaurant.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Open Restaurants digagas bersama oleh para pegiat makanan serta para chef. Sebelumnya, tiga tahun terakhir, festival digelar di Tel Aviv, saban Maret. Kini, berpindah ke Yerusalem dan diikuti restoran, pasar, destinasi wisata seputar pusat kota.
“Yerusalem jelas pilihan, dengan adanya [pasar] Mahane Yehuda di tengah kota,” kata Jason Pearlman, relasi pers festival ini, dikutip
Times of Israel. “Warga Tel Aviv bisa mengenal suasana di sini, terutama malam saat gerai tutup, tapi bar dan restoran buka.”
Tak kurang 20 acara bertema kuliner digelar di festival yang menggratiskan sebagian makanan ini. Juga digelar lokakarya, tur, pameran, dan acara bincang-bincang. Tur dipandu oleh chef Assaf Granit, Nir Tzuk, Nona Shrier dan Yahaloma Levi.
Menurut Pearlman, Yerusalem memiliki sajian makanan berbeda. Di area terpencil, biasa disajikan beragam makanan. Sementara di area perkotaan, sejak lama telah membudaya sajian makanan kelas atas warisan Renaisans, masa peralihan abad ke-14-ke-17.
Dikatakan oleh Ohayon, yang tumbuh besar di Yerusalem, “kuliner [lokal] jauh lebih simpel” pada era 1500-an semasa Kerajaan Ottoman. Ketika itu, warga bercocok tanam gandum, juga kacang-kacangan dan sayuran di ladang, di luar tembok Kota Tua.
“Dulu, roti gandum utuh adalah makan biasa sehari-hari. Kini, dibanderol NIS [Israel New Sheqel] 18 [setara Rp83 ribu],” kata Ohayon, tertawa. Lalu, kuliner lokal mendapat pengaruh dari Turki, Yunani, Suriah, Lebanon, Mesir, Irak, Yaman, juga Barat.
Kini, orang-orang dari berbagai negara berdatangan lagi ke Kota Tua untuk memeriahkan Open Restaurants. Mereka membawa makanan favorit masing-masing, macam delima dari Iran, yang biasa dijadikan jus atau sirup untuk saus puding
malabi.
Selain di depan gerai jus delima, antrean pengunjung juga mengular di sebuah restoran yang menjagokan menu
maklouba, semacam nasi tim ayam. Ada juga restoran lain yang menyajikan hummus, cocolan yang terbuat dari kacang-kacangan.
“Perdebatan saat ini selalu membahas mana
hummusiya terbaik,” kata Ohayon, menggunakan kata
Hebrew untuk menyebut ahli pembuat hummus. “Masalahnya,” ia menambahkan, “kini hummus bukan lah makanan utama yang rutin disantap.”
Padahal dulu kacang-kacangan, bahan dasar hummus, tumbuh subur di pekarangan para warga Yerusalem. Lantaran murah meriah, hummus pun menjadi menu diet reguler warga, yang biasa disantap saat sarapan. Lalu, imigran Maroko memberi cita rasa baru.
Mereka menambahkan bawang putih cincang dan paprika, juga air perasan jeruk dan minyak zaitun. Dikatakan Ohayon, dua dekade belakangan, hummus juga ditambah
tahini dan jamur. Tapi ia mengaku tidak pernah memakan hummus versi ‘modifikasi’ itu.
Selain makanan dan minuman, juga dijual rempah-rempah di salah satu gerai, Sea of Herbs, milik Jakob Mowakket. Gerai tersebut merupakan warisan keluarga yang sudah turun temurun. Selain rempah-rempah, juga dijual minyak Argan dan minyak Maroko.
Ada pula gerai roti Abu Aziez Sweets yang menjual
awami, baklava, namoura serta
kanafeh. Kebanyakan makanan ini sudah ada sejak era Kerajaan Ottoman, lima abad silam. Open Restaurants sekaligus menjadi arena untuk bernostalgia menu klasik.
(vga/vga)