-- Sama seperti daerah lain di Indonesia, Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara juga memiliki makanan khas. Dengan kondisi geografis di tengah lautan, dapat ditebak makanan utama daerah ini berbasis
(hidangan laut).
Namun kondisi tanah pulau-pulau di Wakatobi, yang dominan karang kapur, membuat masyarakat setempat perlu melakukan penyesuaian atau adaptasi dalam mengolah makanan pokoknya. Dan yang menjadi pilihan mereka adalah ubi kayu atau singkong.
Lazimnya, masyarakat Indonesia, terutama di Jawa, memasak singkong dengan cara direbus, digoreng atau dikukus, maka tidak demikian halnya di Wakatobi. Para pecinta makanan bersianida di sini biasa membuat olahan singkong.
Saat CNNIndonesia.com menyambangi tiga kawasan di Wakatobi—Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa dan Pulau Tomia—beberapa waktu lalu, tampak hamparan kebun singkong bersisian dengan pantai indah. Namun ternyata, singkong tidak ditanam di tanah.
Masyarakat setempat memiliki cara tersendiri membudidayakan singkong, sebagaimana di Pulau Wangi-wangi, pulau terbesar di Kabupaten Wakatobi. Singkong ditanam dengan cara menyelipkan batangnya di antara celah karang.
Lalu, batang singkong ditutup sampah daun yang lama-kelamaan melapuk menjadi tanah. Cara ini merupakan salah satu alternatif bertahan hidup, mengingat padi tidak tumbuh di sini, dan jagung pun jarang didapat.
CNNIndonesia.com mencicipi beberapa jenis panganan olahan singkong yang mudah ditemukan di penjuru Wakatobi. Sebagian di antaranya 'dikawinkan' dengan seafood. Sekalipun sajiannya bersahaja, cita rasanya lezat.
Makanan yang satu ini punya nama dan bentuk yang sama-sama unik. Berbagai varian soami banyak ditemukan di Wakatobi, dari soami yang hanya terbuat dari singkong, hingga soami yang dikombinasikan berbagai bahan baku, tergantung daya kreativitas ibu-ibu setempat.
Soami pada dasarnya terbuat dari singkong yang dikupas, lalu diparut dan diperas sarinya hingga kering. Singkong parut itu kemudian diangin-anginkan semalaman.
Setelah itu, singkong parut dihaluskan, kemudian dipadatkan di cetakan khusus berbentuk tumpeng yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Saat inilah beberapa versi soami dibuat. Ada yang mirip belahan ketupat, dan ada juga yang mirip risol.
Soami, yang seutuhnya terbuat dari singkong, dicetak dalam wadah seperti tumpeng disebut soami tugu. Bila adonan singkong dicampur kelapa, maka disebut soami kaluku, sedangkan soami yang lebih lembut disebut soami pepe.
Adonan singkong soami dalam wadah cetak kemudian dikukus hingga matang. Pembedaan matang atau tidak, menurut Purnamawati, warga Desa Adat Lya Togo Pulau Wangi-wangi kepada CNNIndonesia.com, adalah aroma singkongnya.
Bila aroma saat dikukus masih seperti singkong mentah, maka itu tanda adonan belum matang. Sedangkan bila aroma sudah lebih 'gurih,' maka soami sudah masak.
Tekstur soami tugu mirip tiwul namun versi lebih padat, sedikit lengket dan cenderung hambar. Ini karena soami memang berperan sebagai pengganti nasi dan dikonsumsi bersama lauk atau sayur.
Beberapa jenis soami juga sering dikreasikan dengan berbagai teknik masak dan campuran, tergantung kreativitas sang juru masak.
 Soami, yang seutuhnya terbuat dari singkong, dicetak dalam wadah seperti tumpeng disebut soami tugu. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Bentuknya lebih mirip bubur kacang namun berwarna campuran antara ungu dengan merah muda. Makanan ini juga berperan sebagai pengganti nasi dan saomi, bila bosan singkong utuh.
Makanan ini juga cocok bagi Anda yang tengah merencanakan mengurangi porsi nasi, karena tukulambe terbuat dari jagung dicampur kacang merah hingga matang.
Cara membuat tukulambe cenderung mudah. Kacang merah dicampur biji jagung dan santan. Campuran keduanya direbus hingga kurang lebih satu sampai dua jam hingga mengental.
Rasa tukulambe cenderung gurih, dan seperti ketika Anda mengonsumsi bubur kacang hijau namun dengan bulir lebih besar karena dari jagung. Sama halnya soami, tukulambe cocok dikonsumsi dengan ikan atau hidangan laut lain, biasanya ikan bakar atau sup ikan.
Bila kebanyakan masyarakat Indonesia akrab dengan panganan dari nasi berbungkus daun pisang bernama lontong, maka lapa-lapa bisa disebut lontong versi Wakatobi. Sama seperti soami, lapa-lapa pun terbuat dari singkong.
Selain itu, ada pula yang terbuat dari ubi jalar ungu. Ubi jenis tersebut juga banyak tumbuh di kepulauan karang ini.
CNNIndonesia.com sempat melihat para ibu di Desa Kulati, Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, membuat lapa-lapa. Para ibu memarut ubi ungu dan singkong hingga halus dengan parutan tangan.
Setelah halus, ubi atau singkong ini dicampur dengan kelapa parut. Kemudian adonan campuran itu dimasukkan ke dalam wadah lapa-lapa yang terbuat dari susunan berlapis daun kelapa hingga membentuk wadah silinder.
Setelah itu, lapa-lapa dalam wadah dikukus menggunakan tungku kayu bakar, kurang lebih selama satu jam.
Rasa lapa-lapa cenderung gurih berkat kelapa yang terkandung di dalamnya. Namun untuk tekstur, berbeda tergantung bahan utama yang digunakan. Bila terbuat dari singkong, maka lapa-lapa memiliki tekstur lebih kenyal.
Sedangkan bila menggunakan ubi ungu, selain warnanya yang cantik—ungu dengan bercak putih—teksturnya pun lebih padat namun cukup lembut saat digigit. Fungsi lapa-lapa sama seperti soami, biasanya dikonsumsi bersamaan dengan lauk pauk seperti parende.
Parende adalah sup ikan yang biasa disajikan di perjamuan khas masyarakat Wakatobi. Variasi pemanfaatan hasil lautan yang lezat.
Sup ikan ini dapat menggunakan bahan dasar ikan kakap, kerapu, tuna, dan lain-lain. Termasuk makanan yang minim bumbu. Hanya menggunakan kunyit, asam muda dan serai.
Cara memasaknya, air direbus bersama kunyit tumbuk, kemudian masukkan ikan. Kemudian tambahkan asam muda serta serai yang dimemarkan sebagai penguat rasa serta aroma.
Setelah cukup matang, sup ini ditaburi bawang merah yang digoreng dengan minyak kelapa mentah. Hasilnya, aroma gurih bawang dan kaldu ikan bercampur dengan kesegaran asam serta serai.
Biasanya para pencinta
snorkeling berhati-hati saat menjumpai bulu babi di dasar laut lantaran durinya yang menyebabkan keracunan bila tak sengaja menusuk kulit. Meski begitu, bulu babi termasuk salah satu panganan unik di Wakatobi.
Saat berkunjung ke Pulau Kaledupa, CNNIndonesia.com mendapati makanan bernama gumba-gumba nu kukure. Makanan ini terbuat dari bulu babi, namun bukan jenis yang bisa menyebabkan keracunan seperti pada umumnya.
Bulu babi atau kukure yang dapat dimakan ini punya tampilan berbeda dengan bulu babi hitam beracun yang kerap melukai para pencinta
snorkeling.
Kukure memiliki ukuran bulat sedikit pipih sebesar bola ping-pong, dengan duri pendek sekitar satu centimeter. Ini berbeda dengan bulu babi beracun yang memiliki duri lebih panjang.
Warna kukure terbagi dua, putih gading dan oranye. Namun untuk tempurung, berwarna hitam.
Membuat gumba-gumba nu kukure tergolong cukup mudah. Kukure yang didapat dari laut dipukul pelan untuk 'meremukkan' duri. Kemudian dipotong melintang di bagian atas, atau dilubangi, untuk memasukkan bumbu rempah ke bagian daging kukure. Baru kemudian direbus hingga matang.
Bentuk kukure usai dimasak ini memang tergolong tak menarik, lebih mirip seperti gumpalan duri-duri cokelat kehitaman. Namun, ternyata yang dimakan bukan bagian 'menyeramkan' tersebut.
Cara makan kukure ini dengan cara mengoyak kulit tempurung hingga bagian dalam bulu babi ini dapat diambil. Di bagian dalam, terdapat daging seperti tiram. Rasanya pun mirip dan sedikit amis.
Porsi daging dalam kukure ini sedikit, sekitar satu sendok teh. Bagian lain, seperti tempurung dan duri, tidak dimakan, walaupun masyarakat setempat mengatakan tidak masalah. Mengonsumsi kukure ini biasa dilakukan bersama dengan soami dan lauk lain.