Jakarta, CNN Indonesia -- Sebelas tahun sudah Usman mengonsumsi
antiretroviral (ARV), obat yang memperlambat pertumbuhan virus. Terhitung sejak 2005, kala mengalami sakit, hingga kemudian hasil pemeriksaan medis menyatakan dirinya positif terinfeksi HIV.
Selama itu pula, Usman mengaku sempat jenuh—walau hanya sesaat—menelan ARV dua kali sehari, dalam rentang 12 jam, saban pukul delapan pagi dan delapan malam. Jadwal konsumsi obat ini tidak boleh meleset. Untuk itu, ia memasang alarm.
“Dokter menganjurkan agar konsumsi obat tepat waktu, jangan telat. Walau belakangan pernah telat juga sampai 30 menit,” kata Usman kepada CNNIndonesia.com via sambungan telepon pada Rabu (30/11). Untung, kini ia memiliki ‘alarm hidup.’
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kedua anak saya sudah tahu ayahnya rutin mengonsumsi obat pada jam tertentu. Suatu kali alarm sudah berbunyi, tapi saya ketiduran, akhirnya mereka yang berebut membawakan obat itu kepada saya, dan meminta saya segera meminumnya.”
Dukungan keluarga kecil, diakui pria yang akrab disapa Ucok, memotivasi dirinya agar tak jenuh atau lengah, walau hanya sesaat. Sebagaimana orang lain, ia pun ingin senantiasa sehat, juga dekat dengan istri, anak-anak dan keluarga besarnya.
“Saya ingin melihat anak-anak saya tumbuh besar,” kata Usman tentang kedua anaknya yang berusia delapan tahun dan lima tahun. “Mereka lah yang memotivasi saya untuk tetap sehat dan rutin mengonsumsi obat tepat waktu, kontinu seumur hidup.”
Diakui Usman, keluarga besar memberikan perhatian dan dukungan kepadanya sejak awal jatuh sakit. Setelah bolak-balik memeriksakan diri ke sejumlah rumah sakit dan berulang kali dinyatakan tifus, akhirnya seorang dokter mengindikasi HIV.
Lalu, ia direkomendasikan Usman memeriksakan diri ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso di Jakarta Utara. Kepada dokter, Usman—yang pada 2005 berusia 24 tahun—mengaku kecanduan narkoba (suntik putaw) sejak SMA.
Setelah beberapa kali berkonsultasi dengan dokter ahli penyakit dalam dan konselor, Usman menjalani pemeriksaan HIV. Begitu mengetahui hasilnya—positif HIV, Usman mengaku tidak terkejut. Ia berpikir, pada akhirnya semua manusia akan menjemput maut.
“Sebetulnya, sejak masih kecanduan narkoba, dokter yang memeriksa saya sudah merekomendasikan untuk tes HIV, tapi saya tolak. Dalam pemahaman saya, kena atau tidak kena HIV toh nanti saya bakal mati juga,” kata Usman,
legowo.
Dengan besar hati, Usman menerima hasil tes HIV, dan mengabarkan kepada orang tuanya. “Saya bisa menerima, begitu juga orang tua saya. Tapi menurut adik saya, sebetulnya orang tua
shock. Di belakang saya, ayah sempat menangis,” kata Usman.
Positif terinfeksi HIV, Usman harus menerima risikonya: rutin mengonsumsi ARV dan memeriksakan diri di rumah sakit. Ia juga memeriksakan istri dan anak-anaknya, sebulan sekali. “Terakhir kali periksa, pas Agustus, hasil mereka negatif [HIV].”
Sebulan sekali, Usman menyambangi RSPI, memeriksakan diri—berkonsutasi dengan dokter dan konselor—serta mengambil ARV untuk dikonsumsi selama sebulan penuh. Di luar itu, ia tidak mengonsumsi obat atau melakukan terapi lain.
Soal pola makan dan pola hidup, diakui Usman, kini berjalan wajar saja. Pantangan hanya berlaku semasa awal memeriksakan diri, pada 2005. Ketika itu, dokter melarangnya begadang dan makan makanan yang tidak sehat, macam goreng-gorengan.
Sementara soal pemeriksaan, selain rutin menemui dokter penyakit dalam dan mengikuti tes CD4 Count di RSPI, ia juga menjalani tes virology di RS Dharmais, tiga bulan sekali. Setelah sebelas tahun berobat, Usman mengaku, CD4-nya relatif stabil.
“Saya merasa sehat sekarang,” kata Usman yang sebelumnya tak pernah menceritakan tentang kondisinya kepada media massa, baru kepada CNNIndonesia.com saja. “Sehat memang menjadi tujuan hidup saya. Saya ingin membahagiakan keluarga.”
(vga/vga)