Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pariwisata, Arief Yahya menyampaikan tiga poin penting pada Forum Bisnis dan Investasi di Daerah Perbatasan, di Jakarta pada Kamis (1/12).
Homestay desa wisata serta
cross border tourism diyakini punya potensi luar biasa untuk memajukan pariwisata di daerah perbatasan. Hal ini sudah dibuktikan di Aruk, Kab Sambas, Kalimantan Barat.
Eko Putro Sanjojo, Mendes PDTT juga terlihat antusias mendengar hal yang disampaikan oleh Arief Yahya. Begitu puladengan Kepala BKPM Tom Lembong. “Saya selalu berawal dari akhir. Berangkat dari target 20 juta wisman di 2019. Untuk menuju target itu, harus menggunakan cara apa? Bagaimana? Kapan? Mengapa harus menggunakan cara itu? Dimulai kapan dan darimana?” tukas
Arief Yahya.
Arief Yahya mengungkapkan kawasan perbatasan dinilai punya
opportunity tinggi untuk dikembangkan. Awalnya kawasan tersebut jarang disentuh pembangunan, tetapi kini bisa disulap menjadi kawasan yang mendatangkan
income tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biayanya pun tidak terlalu mahal karena menggunakan
low-cost tourism (LCT) bisa. “Simpel. Ciptakan
attraction, access, dan
accommodation yang terjangkau dengan memanfaatkan kelebihan kapasitas yang ada. Bangun sebanyak mungkin
homestay di desa-desa wisata seluruh pelosok Tanah Air.
Cost-nya pasti murah karena harga penyewaan
homestay sangat terjangkau dan pengelolaannya dilakukan secara mandiri oleh masyarakat,” ucapnya.
Tak perlu khawatir karena kini Kementerian Pariwisata sudah mengusung konsep Go Digital. Ada Indonesia Travel Exchange (ITX) yang dimanfaatkan untuk memasarkan potensi pariwisata melalui digital. Dengan inisiatif seperti itu, Menpar Arief Yahya berani berambisi untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki
homestay terbanyak di dunia.
Gambaran
homestay yang mengaggumkan sudah bisa dilihat dari hasil lomba desain homestay Arsitektur Nusantara yang digelar Kemenpar pada akhir Oktober lalu. Arsitektur bergaya Mandalika, Labuan Bajo, Danau Toba, Morotai, Tanjung Kelayang, Wakatobi, Bromo-Tengger-Semeru, Borobudur, Tajung Lesung serta Kepulauan Seribu dan Kota Tua kembali diperlihatkan. “Ini sekaligus untuk memenuhi kebutuhan akomodasi yang sangat besar dalam rangka mewujudkan visi mendatangkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara di tahun 2019,” ucapnya.
Arief Yahya menambahkan bahwa Indonesia setidaknya kita butuh 100 ribu kamar di berbagai destinasi wisata utama. “Kalau kita bangun hotel yang memiliki 100 kamar saja, maka untuk mewujudkan target di atas kita butuh setidaknya 1000 hotel. Waktu pembangunannya juga lama, bisa sekitar 5 tahun dan biasanya, hotel-hotel yang punya
brand tinggi tak mau membangun hotel di sembarang lokasi. Yang dibidik, biasanya hanya kota-kota besar dengan pasar yang sudah terbentuk,” katanya.
Solusi terbaiknya adalah membangun
homestay. Pembangunan
homestay bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air. Nantinya,
homestay tersebut bisa dimiliki masyarakat di sekitar destinasi wisata. “Membangun 100
homestay relatif lebih mudah dibandingkan membangun satu hotel 100 kamar. Misalnya kita memerlukan lahan sekitar 1 hektar. Katakan sekitar 30% dari lahan tersebut disisihkan untuk fasilitas umum, maka masih ada 7.000 m2 yang bisa dibuat kaveling untuk dijadikan 100
homestay tipe LT/LB berukuran 70/36 m2. Pembangunannya pun dapat dilakukan secara bertahap,” tambahnya.
Kehadiran
homestay juga bisa ‘dikawinkan’ dengan desa wisata. Program Desa Wisata akan berkaitan erat dengan rencana membangun 100.000
homestay yang akan dimulai 2017 nanti. Desain arsitektur rumah nusantara di
homestay juga semakin relevan untuk segera diimplementasi.
“Saat Desa Wisata itu sudah siap jual, akan langsung dipromosikan, lalu
selling platform-nya juga dimasukkan dalam
digital market place. Fungsinya bisa ganda. Bisa sebagai amenitas dengan
homestay, akomodasi di rumah penduduk yang sudah sadar wisata. Juga bisa sebagai atraksi karena berada dalam atmosfer kehidupan masyarakat desa yang
homie, kaya dengan sentuhan budaya, dan nuansa kekeluargaan yang belum tentu bisa ditemukan di negara lain,” kata Arief Yahya.
Di Desa Wisata, masyarakat juga bisa tetap melakukan aktivitas menanam padi, palawija, hortikultura, dan mengurus ternak. Servis dan prosesnya menjadi bagian atraksi wisata. Suasana desa wisata yang ramah, gotong royong, penuh dengan rasa kekeluargaan, kaya budaya itu yang dijual sebagai atraksi di destinasi desa wisata.
Lalu,
crossborder tourism juga tidak boleh disampingkan. Membangun pariwisata dari wilayah perbatasan potensinya sangat besar. Selain menguntungkan bagi negara, masyarakat sekitar juga ikut mendapatkan benefit. Kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat menjadi lebih hidup. Negara-negara Eropa yang teritorinya bisa ditempuh dengan jalan darat, pariwisatanya pasti lebih sukses dan jumlah wismannya lebih banyak.
“Turis ke Paris bisa menembus 60 juta, Madrid 50 juta, London 40 juta dalam setahun. Singapura 15 juta, Malaysia 25 juta, dan Thailand 30 juta, saya yakin sumbangan terbesar juga dari
borderland tourism, jalur darat tidak tergantung pada
flight lagi," papar Arief Yahya.
Potensi wilayah perbatasan juga ikut dikomentari Mendes PDTT, Eko Putro Sanjojo. Menurutnya, pembangunan daerah perbatasan tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan. Pendekatan ekonomi juga perlu diperkuat dengan mendorong tumbuhnya investasi di daerah perbatasan.
“Investasi di perbatasan tentu harus sesuai dengan potensi dan peluang yang dimiliki. Utamanya, investasi yang masuk harus memerhatikan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal. Perlu dibuat regulasi khusus yang dapat menarik dan memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha di daerah perbatasan,” ujarnya.
Selain itu, Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu Kemendes PDTT, Suprayoga Hadi mengungkapkan bahwa penyelenggaraan forum bisnis dan investasi daerah perbatasan tahun ini lebih banyak diikuti perusahaan swasta dan BUMN, pengusaha, asosiasi usaha, hingga kedutaan besar negara-negara sahabat.
Kami menargetkan terjalin kesepakatan antara pemerintah daerah dan pelaku usaha dari BUMN dan pihak swasta untuk menindaklanjuti rencana bisnis dan investasi yang telah ada. Kesepakatan dapat dilakukan melalui pembukaan bisnis baru (
business start-up) maupun kesepakatan untuk mendukung investasi dalam jangka panjang,” ujar Suprayoga.
Forum Bisnis dan Investasi Daerah ini juga diisi dengan
expo potensi perbatasan.
Expo tersebut menampilkan aneka komoditas dan produk unggulan dari daerah perbatasan yang layak untuk dijual.