Singapura, CNN Indonesia -- Kurang dari 12 bulan sejak perwakilan Michelin Guide meneleponnya di pengujung 2015, Yuki Onishi membuka kedai ramen pertamanya di luar Jepang. Kedai bernama Tsuta Ramen itu berada di pusat wisata belanja Singapura, Orchard
road.
Tak seperti kedainya di Sugamo, Tokyo, Tsuta Ramen Singapura yang berada di beranda depan Pacific Plaza terkesan mewah. Tatatan ruang yang didominasi marmer kontras dengan kedai pertama milik Onishi yang kental elemen kayu.
Namun pemandangan di luar dua kedai itu serupa: hilir mudik pembeli tidak pernah putus sebelum kedai benar-benar tutup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Barisan antrean pembeli Tsuta di Pacific Plaza mengular hingga dua baris. Di sepanjang alur calon pembeli ramen itu terdapat dua penanda estimasi waktu antrean, 60 dan 30 menit.
Setelah diizinkan pegawai Tsuta untuk masuk, pembeli harus kembali mengantre di teras dalam kedai sambil memesan ramen incaran melalui mesin berlayar sentuh.
 Antrean selalu terlihat di depan kedai Tsuta. Barisan pengunjung itu semakin mengular jelang jam makan siang dan makan malam. (CNN Indonesia/Abraham Utama) |
Tsuta Ramen Singapura menawarkan dua jenis ramen yang diklasifikasikan berdasarkan bumbu perasa, yakni
shoyu soba dan
shio soba.
Shoyu merupakan perpaduan antara kaldu berbahan dasar tiram asari dan ayam serta sentuhan kecap kedelai (
soy sauce) khas Jepang.
Melalui video pariwara yang dipajang di depan kedainya, Onishi menyebut kecap kedelai yang digunakannya berasal dari Wakayama, sebuah wilayah di sisi selatan Osaka. Ia mengklaim biji kedelai itu dimatangkan secara alami selama dua tahun.
Adapun,
shio adalah kuah ramen yang kental dengan cita rasa garam laut. Onishi berkata, Tsuta hanya menggunakan garam buatan Okinawa dan Mongolia. Sementara kaldu
shio yang dicampurkan ke dalam kuah ramen, kaya citarasa tiram asari dan campuran sejumlah ikan.
"Kuah ramen itu dimasak dalam pengaturan suhu yang ketat. Tidak ada MSG tapi rasa umami tetap muncul dari setiap bahan alami," tulis Onishi pada selebaran yang dibagikan kepada para pengunjung kedainya.
Tsuta memadukan dua kuah ramen tadi dengan
soba atau mi tipis berbahan dasar tepung gandum hitam.
Soba tersebut dibuat secara tradisional menggunakan gilingan batu yang dioperasikan secara manual.
Di buku menu, Tsuta menawarkan
shoyu dan
shio ramen dengan dua protein pelengkap, yakni telur rebus berbumbu (
ajitama) dan potongan babi panggang (
char siu).
Ajitama disajikan secara utuh. Proses perendaman telur usai perebusan selama berjam-jam membuat bagian luar telur kukuh tapi meninggalkan kuning telur yang tetap basah.
Sementara lembaran
char siu khas Tsuta yang hampir sebesar telapak tangan terasa lembut dan empuk. Tekstur tersebut dihasilkan dari proses pemanggangan bersuhu rendah selama beberapa jam.
Satu bahan utama yang memparipurnakan penyajian ramen milik Tsuta adalah bubur kental (
puree) bawang perai dan jamur
truffle hitam.
Kepada Telegraph, Onishi menyebut penggunaan
truffle dalam sajian ramen memang tidak awam. Namun elemen itu justru menjadi pembeda ramen buatannya dengan ribuan kedai ramen lainnya di Jepang.
Tiga pelengkap lain dalam semangkok ramen khas Tsuta adalah rebung (
bamboo shoot), cacahan daun bawang, dan beberapa tangkai daun ketumbar.
Seluruh santapan ramen dalam satu mangkuk besar itu dihargai dalam rentang Sin$15 hingga Sin$23.
Cita rasa ramen yang disajikan Tsuta memang tidak dikenal sebagian besar lidah masyarakat Indonesia, bahkan mayoritas penduduk Asia. Kuah ramen yang disajikan Tsuta jernih kecoklatan dan ringan.
Kuah ramen itu tidak seterkenal ramen berbasis
tonkotsu atau kuah yang berbahan dasar tulang babi. Kaldu
tonkotsu pekat dan berwarna putih pucat.
Onishi memahami betul fakta itu, bahkan sebelum ia memutuskan menanggalkan karier di industri busana yang gemerlap untuk memeras peluh di dapur yang pengap.
"Di Asia terdapat banyak kedai
tonkotsu. Tapi tujuan saya adalah membuka kedai yang sepopuler kedai ramen
tonkotsu.
Shoyu ramen-lah yang pertama kali muncul di pikiran saya ketika membicarakan ramen khas Jepang," ujarnya.
Namun pencapaian Tsuta di Jepang belum dapat disamai kedai mereka di Singapura. Fenomena ini awam terjadi pada restoran berbintang Michelin yang kemudian memperluas ekspansi mereka.
Hal itu adalah keniscayaan meskipun Onishi berjanji untuk menjaga kualitas Tsuta Singapura sejajar dengan apa yang mereka kreasikan di Sugamo. Ia berkata, seluruh bahan ramen dipasok dari Jepang.
Tsuta Singapura tidak menyajikan seluruh santapan ramen yang mereka tawarkan di Sugamo. Tak ada pula keharuman jamur
porchini yang disebut Michelin
Guide sulit dilupakan.
 Gerai Tsuta di Singapura dapat menampung 18 pengunjung. Jumlah kursi itu dua kali lebih banyak dibandingkan yang disediakan gerai pertama mereka di Sugamo, Jepang. (CNN Indonesia/Abraham Utama) |
Keintiman kedai ramen pun sukar terwujud di Tsuta Singapura. Kedai ini menyediakan 18 kursi, sementara Tsuta Sugamo hanya muat untuk sembilan pengunjung.
Meja berbentuk huruf L di Tsuta Singapura juga tidak memberikan pengalaman yang serupa untuk seluruh pengunjung. Mereka yang duduk di sisi meja terpendek tidak dapat menyaksikan olah ramen yang diperagakan koki.
Alih-alih, mereka hanya dapat melihat pegawai yang mengelap nampan dan sedikit pemandangan dapur utama di balik tirai secara terselubung.
Di luar itu semua, menyeruput semangkok ramen Tsuta di Orchard
road adalah cara lain menikmati wisata Singapura. Restoran berbintang Michelin memang bertaburan di negara kota itu, namun mengecap ramen khas Tsuta tetap akan memperdalam mustikarasa lidah kita.
(gen)