Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Kesehatan Dunia (WHO) baru saja merilis laporan yang menyebutkan sepertiga manusia Bumi akan 'musnah' pada 2030. Dan penyebab kemusnahan itu bukan perang, bencana, atau genosida, namun karena rokok.
Rokok disebut sudah membunuh lebih dari enam juta nyawa setiap tahunnya. WHO memprediksi jumlah tersebut akan melonjak jadi delapan juta pada 2030.
Lintingan tembakau itu juga diprediksi akan 'membakar' lebih dari US$1 triliun akibat membiayai pengobatan penyakit terkait rokok seperti kanker dan pembuluh darah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam laporan tersebut, WHO juga menyindir pemerintah yang masih ketakutan melarang beredarnya rokok dengan alasan kerugian negara.
"Pemerintah takut bahwa pengendalian konsumsi tembakau akan memiliki dampak ekonomi, dan itu tidak terbukti. Perspektif ilmiah sudah membuktikan hal itu dan sekarang adalah waktunya untuk bergerak," tulis WHO dalam
laporan tersebut.
WHO juga menyebut, pelarangan penggunaan tembakau adalah salah satu metode paling murah dan mudah untuk mencegah kerugian akibat tembakau di masa depan.
Berbagai negara juga sudah mulai 'sadar' dengan menerapkan larangan merokok.
Sebut saja China. Beijing sejak 2015 lalu menerapkan larangan merokok di tempat publik seperti di restoran, kantor, dan transportasi publik. Selain itu, toko dengan jarak 100 meter dari sekolah dilarang berjualan rokok.
Beberapa negara seperti Inggris dan Skotlandia juga melarang kegiatan merokok di dalam mobil dan dekat dengan anak-anak. Bila ketahuan, akan didenda ratusan poundsterling di tempat.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte pun telah menerapkan kebijakan yang membatasi perokok. Dia melarang merokok di ruang publik termasuk gedung pemerintah, rumah sakit, sekolah, dan transportasi umum.
Bila melarang tidak mempan, mungkin faktor harga tembakau bisa jadi senjata menghambat jumlah perokok. Dan Australia memahami hal tersebut.
Pada Mei 2016 lalu, Canberra mengeluarkan
keputusan yang membuat para perokok gigit jari. Harga rokok di Negara Kanguru tersebut naik menjadi AUS$45 atau hampir Rp450 ribu per bungkus.
Harga rokok tersebut termasuk menjadi termahal di dunia. Sebagai perbandingan, satu bungkus Marlboro di Australia seharga Rp238 ribu sedangkan di Indonesia hanya berkisar Rp20 ribu.
Australia juga semakin memperketat impor dan penyelundupan tembakau serta membatasi batasan pembelian rokok di toko bebas bea atau duty free.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Jakarta sudah menerapkan larangan merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, arena anak, tempat ibadah, dan angkutan umum melalui Perda Nomor 2 Tahun 2005.
Pada 2015, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga
mengancam akan mencabut Sertifikat Layak Fungsi (SLF) pusat perbelanjaan yang membiarkan pengunjungnya merokok sembarangan.
Namun mengendalikan distribusi tembakau di Indonesia tidak bisa hanya dengan larangan. Hal ini karena selain telah menjadi barang
primer, rokok di Indonesia memiliki harga yang terbilang murah di dunia.
"Harga rokok di Indonesia sangat murah. Harga rokok premium kurang dari Rp1.000 per batang, ini ketiga termurah di ASEAN setelah Kamboja dan Vietnam," tulis
Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI).
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany
beberapa waktu lalu mengatakan bila Indonesia menaikkan harga rokok pun, tak akan berdampak signifikan pada penurunan konsumsi rokok.
“Kalau orang yang sudah merokok, harga dinaikkan dua kali lipat juga tetap saja beli,” kata Hasbullah.
Hasbullah mencontohkan di Thailand, peningkatan harga jual rokok tak membendung penjualan rokok. Rokok yang 'status'-nya naik menjadi barang mahal justru mendorong orang ingin mendapatkannya.
Namun, Hasbullah berpendapat kenaikan harga rokok memang bisa menangkal angka perokok muda karena keterbatasan finansial.
Selain itu, Hasbullah menyebut penurunan konsumsi rokok baru bisa signifikan terjadi bila tarif cukai rokok di Indonesia dua kali lipat dari harga rata-rata inflasi.
Di sisi lain, Wakil Kepala 1 Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan upaya lain menekan angka konsumsi rokok yang efektif adalah dengan mewujudkan kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus. Menurut kajian yang dia lakukan, nominal tersebut menjadi pemicu perokok untuk berhenti membeli rokok.
"Kami meminta Presiden untuk tidak ragu menaikkan harga rokok. Namun selain menaikkan harga rokok, perlu juga instrumen lain seperti edukasi secara terus-menerus," kata Abdillah.
(les)