Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi kebanyakan orang, memiliki pasangan hidup adalah fase hidup yang wajar. Hubungan asmara kerap dibingkai sebagai indikator kedewasaan ataupun pencapaian hidup. Masyarakat pun dididik dalam narasi bahwa hubungan cinta dan pernikahan merupakan sebuah titik kulminasi hidup.
Namun, sebaik-baiknya maksud didikan tersebut, masyarakat malah terbutakan tentang realita cinta. Kerap ditemui mereka berlomba-lomba untuk atau didorong segera menikah, tanpa mempertimbangkan lebih dalam akan kesiapannya sendiri menghadapi pekerjaan berat didalamnya.
Disampaikan Relationship Consultant KelasCinta Jet Veetlev dalam seminar bertajuk Twogether Forever di Hotel Grand Tjokro, Sabtu (11/2), berdasarkan data yang dimilikinya masih banyak pernikahan yang berakhir karena tidak harmonis dan melepas tanggungjawabnya.
 Foto: Thinkstock/Yanawut |
"Nikah itu jauh lebih rumit dari pacaran. Ketika pacaran ada ribut, bisa menghindari dengan tak bertemu dahulu. Namun ketika nikah masalah ada di sebelah, ketika bangun tidur masalah ada di depan mata," ujar Jet membuka seminar itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, tak perlu lama berkelana dunia maya untuk menyimak kabar percekcokan, perselingkuhan, kekerasan, atau perceraian yang semakin melonjak. Hal itu pun dianggap menjadi hal yang kerap dialami sebagian besar orang menikah hingga sering menemukan kekecewaan dan penyesalan.
"Esensi pernikahan adalah demi pertumbuhan, bukan demi kebahagiaan. Persepsi yang salah itulah yang membuat hubungan cinta generasi sekarang lebih lemah dan rapuh dibanding generasi kakek-nenek kita," ujarnya.
Demi mengatasi kondisi tersebut, melalui dua rekannya Relationship Coach Lex dePraxis dan Kei Savourie ia berbagi kiat mengenai "Bagaimana Agar Hubungan Semakin Mesra Setiap Menghadapi Masalah".
Mereka berpandangan bahwa tidak ada hubungan yang tidak bermasalah, oleh sebab itu penting sekali pembekalan kompetensi agar bisa mengelola masalah jadi sumber kekuatan dan kemesraan. Pasangan yang demikian diyakini bisa lebih fleksibel ketika menghadapi tekanan, kejenuhan, pelanggaran, bentrokan kepribadian, ataupun gejolak ekonomi.
Untuk dapat mencapai kebahagiaan dalam membina suatu hubungan, menurut Lex masing-masing individu lebih dulu memenuhi kebahagiaannya.
"Menurut Abraham Maslow, bahagia untuk sendiri itu dimulai dari kebutuhan pokok, adanya rasa aman, kemudian kebersamaan memiliki koneksi dengan orang lain, lalu kebanggaan atau prestasi, hingga yang paling tinggi pencapaian lewat aktualisasi atau kontribusi untuk sesama," tuturnya.
Kei menambahkan, "Itu untuk satu orang, saat hubungan itu ada dua orang, hingga tingkatan mencapai kebahagiaan itu lebih rumit dengan masing-masing punya keegoisan untuk mendapat kebahagiaannya."
Ada usaha untuk membina hubungan yang harmonis dan mencapai tujuan bersama.
Bersambung ke halaman selanjutnya..
Dalam hubungan, menurut Kei dan Lex landasan utamanya bukan hanya cinta ataupun kesamaan, melainkan juga daya tarik.
"Yang membuat pasangan menempel sampai akhir adalah penampilan menarik. Bukan berarti ketika sudah nyaman tidak ada usaha untuk tetap menarik, justru itu seharusnya ditingkatkan," kata Kei.
Tak hanya itu, dalam hal intelektual pun menjadi penting bagi pasangan untuk saling terus bertukar pendapat, membahas suatu hal.
"Misalnya nonton film ketika pacaran, setelahnya dibahas dan adu argumen, itu membuat semakin menarik. Jangan salahkan beradu pendapatnya dengan orang lain, bila Anda sendiri tidak memulai hal-hal seperti itu," ujarnya.
 Foto: Thinkstock/View Stock |
Rasa terus saling membutuhkan dan ungkapan rasa sayang, menurut keduanya turut menjadi aspek yang menarik. Dengan itu, romantisme dalam hubungan pun dapat terus terjaga. Melangkah ke jenjang berikutnya, pasangan juga sepatutnya memiliki kesepakatan untuk memikirkan kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi di masa depan.
"Peraturan itu penting dalam hubungan. Hal itu juga menjadi batasan ketika bertindak, karena masalah bukan setelah terjadi, baru dibicarakan. Semuanya harus dibicarakan di awal, disepakati. Kalau marah harus bagaimana, kalau melanggar ada denda atau apapun," katanya.
"Jangan larang, tapi denda dengan beli sepatu mungkin atau sisihkan untuk tabungan bersama. Bicarakan diselesaikannya dengan apa kalau terjadi [masalah]," imbuh Kei.
Setelahnya, Lex turut menambahkan, "Bareng pasangan, bisa juga menggapai apa yang namanya 'relationship goal', keseruan yang dilakukan bersama. Sesekali memamerkannya tidak apa, agar tidak iri melihat pasangan lain."
"Lakukan hal yang buat merasa bangga dengan hubungan Anda," imbuhnya.
Bila telah mencapai langkah-langkah tersebut, pasangan pun dapat memulai memikirkan tahapan yang dapat menambah kebahagiaan mereka, akan kesiapan untuk menanggung beban selanjutnya. Seperti mempertimbangkan untuk memiliki anak.
"Fakta dari sebuah studi mengatakan tingkat kebahagiaan pasangan menurun drastis saat memiliki anak, dari melahirkan, memikirkan pertumbuhannya, kekhawatiran saat anak remaja. Ini beban, persiapkan dengan matang."
kata Lex.
Lebih lanjut ia memaparkan bahwa, "Kesalahan menikah itu langsung punya anak. Jadi bahagiain diri dulu sebagai pasangan, setelah itu baru punya anak bila sudah siap. Jangan gambling bila belum bisa menghadapi masalah-masalah besar."