Cinta dan Orientasi Seksual Bukan Hal yang Sama

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Selasa, 14 Feb 2017 12:09 WIB
'Cinta tidak memandang gender' jadi salah satu slogan dalam menyuarakan kesamaan hak bagi LGBT. Namun, psikolog berpendapat berbeda.
Ilustrasi: 'Cinta tidak memandang gender' jadi salah satu slogan dalam menyuarakan kesamaan hak bagi LGBT. (CNN Indonesia / Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu pernyataan yang kerap diucapkan oleh kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) adalah cinta tidak memandang gender yang kemudian menjadi 'pembenaran' atas perbedaan orientasi seksual mereka. Namun, psikolog memiliki pandangan lain.

"Cinta memang tidak memandang gender, siapa bilang cinta mesti kenal gender? Namun ini akan berbeda hal bila dikaitkan dengan manifestasi seksual," kata psikolog sekaligus akademisi Universitas Atma Jaya Vierra Della saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

"Kalau sudah masuk dalam hubungan seks, itu sudah tidak ada kaitan dengan cinta. Hubungan seks dapat dilakukan dengan tanpa cinta, ini terjadi ketika individunya sudah butuh."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam psikologi, orientasi seksual yang berbeda seperti yang dialami dalam kelompok LGBT saat ini, dipandang berbeda dengan yang terjadi di masa lalu.

Vierra mengatakan, tiga dekade lalu, konsep LGBT dianggap sebagai sebuah penyimpangan.

Namun mengamati perkembangan yang terjadi atas perbedaan perkembangan konsep diri pada kelompok LGBT, definisi tersebut kemudian berganti makna dan tidak lagi dianggap sebagai gangguan.

Vierra menjelaskan, pada dasarnya manusia lahir sesuai dengan identitas jenis kelamin yang diberikan kepadanya.

Namun, dalam perkembangan identitas selanjutnya, masing-masing individu mengalami 'perbedaan'.

"Perjalanan hidup yang dialami masing-masing individu bisa tidak mulus, dan ini yang memunculkan kesadaran lain dan koreksi identitas diri. Misal, dia laki-laki namun merasa tidak nyaman secara sikap dan konsep identitas, ini yang menyebabkan mereka mencari konsep lain," terangnya.
Ilustrasi: Psikolog berpendapat bahwa cinta dengan orientasi seksual adalah hal berbeda.Ilustrasi: Psikolog berpendapat bahwa cinta dengan orientasi seksual adalah hal berbeda. (REUTERS/Lucy Nicholson)
Gejolak perkembangan diri tersebut disebut Vierra dapat berlangsung sangat kompleks sehingga mendorong orang LGBT mencari alternatif hubungan interpersonal lainnya, seperti sesama jenis atau trans.

Pencarian tersebut berlangsung secara 'trial and error' hingga akhirnya individu tersebut mendapatkan jenis, identitas, dan konsep yang nyaman bagi dia.

"Sehingga, ada ahli yang menyebut bahwa perjalanan menjadi seorang LGBT itu terjadi secara berkesinambungan," paparnya.

Pencarian jati diri tersebut dipandang Vierra menjadi semakin terbuka ketika memasuki era modern.

Dengan perkembangan teknologi, anak-anak yang pubertas dan mencari jati diri atau yang tidak mengalami 'kompleksitas jati diri' ikut mencoba menjadi LGBT.

"Sehingga, pengalaman hidup seperti disakiti lawan jenis atau sebutan 'kurang agama' tidak bisa lagi disematkan pada konsep ini," kata Vierra. "Setiap individu pun sebenarnya punya peluang untuk jadi LGBT."

Vierra menuturkan, selain jenis kelamin secara biologis, identitas diri manusia juga dipengaruhi faktor lain seperti hormon yang dapat mempengaruhi sifat feminin dan maskulin pada seseorang.

Sifat maskulin dan feminin ada di setiap masing-masing individu. Dan menurut Vierra, sifat atau karakter mana yang akan keluar pada diri seseorang juga tergantung pada lingkungan atau tuntutan sosial mereka.

Sehingga menurut Vierra, penting bagi orang tua mengecek perkembangan identitas dan konsep diri anak dalam beberapa masa, mulai dari bayi, usia balita, dan saat pubertas.

"Namun ketika sudah dewasa dan memutuskan menjadi LGBT, baiknya ya dia yang beradaptasi dengan pilihan tersebut dan siap menanggung semua risiko yang ada." (les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER