Jakarta, CNN Indonesia -- Meski fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) bukan hal baru, namun di mata sosiolog, Indonesia masih belum menjadi tempat yang nyaman bagi kelompok ini.
"Karena mereka adalah kelompok yang rentan, sehingga sering mendapatkan tekanan yang cukup besar," kata Lucia Ratih Kusumadewi, sosiolog Universitas Indonesia saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Banyak dari mereka yang punya orientasi beda, tidak betah tinggal di Indonesia dan memilih tinggal di luar negeri," tambahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat tekanan tersebut, sebagian kelompok LGBT lainnya lebih memilih menyembunyikan identitas supaya terhindar dari penolakan dan dapat berbaur di masyarakat.
Padahal, menurut Lucia, masyarakat Indonesia memiliki modal sejarah yang kaya akan keragaman. Misalnya, dalam kebudayaan tertentu, sosok transgender kerap muncul.
Lucia mengatakan, meski ada perbedaan dalam cara pandang, kondisi ini mestinya dapat dikelola dengan baik untuk menghindari konflik horizontal dan diskriminasi.
"Indonesia sudah biasa dengan kondisi keragaman. Namun ada paham lain yang datang dan mengecap mereka sebagai sesuatu yang buruk," tuturnya.
Padahal, jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, setiap kelompok memiliki hak yang sama untuk mendapatkan tempat serta mengembangkan diri, tidak terkecuali LGBT.
 Ilustrasi: Sosiolog mengakui Indonesia memiliki modal budaya dan sejarah yang beragam. (CNN Indonesia / Safir Makki) |
"Kalau menurut konteks negara modern, setiap nilai dapat dikomunikasikan. Yang dapat dilakukan sebenarnya memberikan pembekalan untuk hidup akur dan berdampingan, dibandingkan memusuhi," kata Lucia.
"Kalau masyarakat takut, misal kelompoknya diajak jadi LGBT, ya dikomunikasikan saja. Saya yakin mereka akan paham dan bisa membatasi diri," sebutnya.
Komunikasi, dianggap Lucia dapat memudahkan menciptakan nuansa kehidupan bermasyarakat yang lebih harmonis, meski ia sendiri mengakui pelaksanaannya akan sangat sulit.
Lebih lanjut, Lucia mengatakan peran pemerintah sangat penting dalam penerimaan LGBT di Indonesia. Lucia menilai pemerintah seolah tidak menganggap keberadaan LGBT sehingga tidak ada usaha untuk membuat undang-undang yang dapat melindungi kelompok tersebut.
Selama ini, menurut Lucia, perhatian pemerintah hanya sebatas penyuluhan atau kampanye mengenai bahaya HIV/AIDS yang mungkin menjangkiti para LGBT.
Meski memiliki akar nilai keragaman yang kaya, Lucia skeptis Indonesia dapat menerima secara utuh posisi LGBT di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam waktu dekat.
"Kemungkinan menerima memang ada, seiring dengan perubahan masyarakat," kata Lucia.
"Namun untuk sampai pengakuan pernikahan sejenis, itu masih sangat jauh sekali karena penerimaan masyarakat masih sangat rendah. Di negara yang boleh saja, masih ada perdebatan."
(okt/les)