Jakarta, CNN Indonesia -- Kekerasan sangat lekat dengan kaum perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat ada 321.752 kasus kekerasan berbasis gender di ranah personal selama 2016. Dari sekian kasus itu, 1.657 adalah kasus perkosaan, 1.064 pencabulan dan 268 kasus pelecehan.
Di luar kasus-kasus tersebut, perempuan juga mengalami kekerasan dalam berbagai ranah kehidupan.
Euforia kedatangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al-Saud seharusnya tidak membuat masyarakat Indonesia lupa akan buruh migran, terutama buruh migran perempuan yang bekerja di Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah menyayangkan bahwa tidak ada poin kesepakatan tentang perlindungan buruh migran perempuan antara Arab Saudi dan Indonesia.
"1,5 juta perempuan buruh migran di Arab Saudi tidak dilindungi. Dari 10 kesepakatan yang dibuat oleh Jokowi dan Raja Salman, tidak ada satu poin pun yang membahas mengenai perlindungan terhadap perempuan buruh migran Indonesia," kata Anis.
Momentum Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, Anis mengharapkan menjadi momentum kesadaran negara untuk lebih peduli terhadap buruh migran perempuan dengan mengeluarkan kebijakan yang melindungi hak-hak mereka. Selain itu, perlu diadakan pendidikan sebelum buruh migran berangkat bekerja.
Senada dengan Anis, Deputi Program Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan), Budhis Utami mengatakan perlu adanya pendidikan alternatif bagi para buruh migran perempuan. Menurutnya, pemerintah sudah memberikan keterampilan, tetapi itu saja tidak cukup.
"PRT (Pekerja Rumah Tangga) atau PRT migran sudah dapat mengerjakan pekerjaan dengan baik. Tapi, kalau tidak paham hak-haknya, mereka rentan dengan kekerasan," tambah Budhis.
Pendidikan alternatif, lanjut Budhis, tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan hidup para migran, tetapi juga untuk melindungi mereka dari kekerasan. Mereka ditanamkan nilai anti kekerasan yang tidak didapat di pendidikan formal maupun informal.
Persoalan buruh migran perempuan nampaknya terkait dengan perkawinan anak. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartikasari mengatakan pada 2014 tercatat 750.000 anak menjadi korban perkawinan anak, 11 persen di antaranya berusia 11-15 tahun.
Setelah menikah, mereka akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tetapi dengan modal pendidikan minim, pekerjaan yang mereka dapat seringnya berujung sebagai pekerja migran, pekerja seks atau PRT.
"Perkawinan anak adalah praktek pemiskinan yang nyata terhadap perempuan," kata Dian.
Dian menambahkan, perkawinan anak akan membuat masa kecil anak terenggut, kesempatan pendidikan hilang dan membuat mereka dekat dengan kematian saat melahirkan.
Usaha mengurangi angka perkawinan anak melalui usulan perubahan UU Perkawinan tentang minimal usia perkawinan pun nihil. Mahkamah Konstitusi tidak merestui perubahan usia minimal dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Tidak hanya soal perlindungan terhadap buruh migran, perempuan dengan problem kesehatan seperti HIV/AIDS juga harus mengahdapi stigma dan diskriminasi berlapis dalam masyarakat.
Perempuan dengan HIV yang mengalami kekerasan jarang melapor, karena takut statusnya sebagai pengidap HIV/AIDS diketahui khalayak.
"Persoalan perempuan dengan HIV tidak terdengar. Ketika mereka melaporkan kekerasan, status HIV mereka akan dibuka," kata Hartini dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).
Menurut Hartini, persoalan perempuan dengan HIV bukan semata-mata persoalan kesehatan. Kekerasan psikis juga dialami perempuan ketika ia adalah pekerja seks atau pengguna narkotika. Masyarakat akan semakin mendiskriminasi mereka.
Pemerintah, kata Hartini, bertanggung jawab akan kesejahteraan kesehatan warganya tanpa memandang gender atau penyakit mereka.
Bicara soal perempuan artinya juga bicara soal transpuan atau kaum transgender. Kanza Vina dari organisasi waria muda, Sanggar Swara menggarisbawahi bahwa perempuan tidak hanya mereka yang terlahir secara biologis sebagai perempuan.
“Perempuan bukan hanya orang yang terlahir dengan vagina. Jika ia mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan, maka dia adalah perempuan," kata Kanza.
Ia berkata kekerasan dialami transpuan terlihat dari ekspresi penerimaan masyarakat. Dalam lingkup keluarga, anak yang mengidentifikasi diri sebagai transpuan pun mengalami penolakan. Biasanya, keluarga berusaha mengembalikan anaknya pada kodratnya.
Dalam lingkup sekolah, mereka yang berekspresi feminim harus rela mengalami kekerasan psikis. Akibatnya, Kanza berkata, kenyamanan di sekolah berkurang atau enggan ke sekolah. Akses pendidikan yang rendah membuat mereka hanya bekerja pada beberapa sektor yakni pekerja salon, pekerja seks atau pengamen.
"Kalau membicarakan isu perempuan, jangan lupakan teman-teman transpuan. Kita bergandengan tangan, menolak penindasan," tambahnya.
Pada 4 Maret dilakukan aksi di depan Istana Negara dimana 8 tuntutan dari para perempuan yang tergabung dalam Women's March Jakarta dibacakan.
Tuntutan itu termasuk tuntutan agar pemerintah membangun kesadaran akan pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman, pembangunan infrastruktur hukum dan kebijakan yang pro-keadilan gender, serta mengajak masyarakat luas untuk lebih peduli pada isu perempuan sebagai bentuk solidaritas dengan perempuan di seluruh dunia.
Salah satu panitia penyelenggara, Vina berkata kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat soal isu-isu perempuan.
Panitia lain, Rara menambahkan tuntutan-tuntutan yang akan dibacakan misal soal intoleransi ditujukan bagi presiden dan soal kebijakan atau RUU ditujukan kepada DPR.
"Kita mau gerakan ini tidak sampai di sini saja. Gerakan perempuan ini jadi kontribusi nyata bagi peradaban setara bagi perempuan," pungkasnya.
Pihak Women's March Jakarta memilih hari Sabtu 4 Maret untuk melakukan aksi damai karena 80 persen anggota Women's March Jakarta adalah pekerja atau karyawan dimana pada hari itu mereka libur dari rutinitas pekerjaan mereka.
"Perkiraan massa sekitar 400 orang dari 33 lembaga tidak hanya lembaga perempuan tetapi juga dari HAM, lingkungan. Itu belum termasuk masyarakat umum di luar lembaga," kata Olin Monteiro, ketua Women's March Jakarta.
Aksi damai turun ke jalan juga berlangsung tepat di Hari Perempuan Internasional 8 Maret. Aksi kali ini, berlangsung di depan patung Arjuna Wiwaha Jalan Medan Merdeka Barat. Dalam aksi ini, mereka menuntut perbaikan kondisi kerja, memenuhi HAM dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual dan identitas "gender" yang berbeda.