Aturan Sekolah Libur di Hari Sabtu Tuai Polemik

Rahman Indra & Christie Stefanie | CNN Indonesia
Senin, 12 Jun 2017 18:22 WIB
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendesak Mendikbud mengkaji ulang. Sementara, Mendikbud meyakinkan aturan tak ganggu pendidikan agama.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendesak Mendikbud mengkaji ulang. Sementara, Mendikbud meyakinkan aturan tak ganggu pendidikan agama. (Foto: CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru mengenai pemberlakuan libur di Sabtu dan delapan jam sehari menuai pro dan kontra.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menambah daftar panjang organisasi yang mengeluarkan pernyataan dan mengajukan penolakan. Sebelumnya, dikabarkan kebijakan ini juga menuai kritik dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), guru, dan juga beberapa kepala daerah. Aturan ini akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2017-2018. 

Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI mengimbau agar Mendikbud tidak tergesa-gesa untuk menerapkan kebijakan yang disebut berlaku pada Juli mendatang tersebut. Harusnya, kata dia, dilakukan evaluasi dan koordinasi antar instansi sehingga tidak terjadi tabrakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menilai imbas dari kebijakan ini akan sangat berdampak besar terhadap eksistensi pendidikan Islam, yang menurut sejarahnya hadir lebih dulu daripada sekolah. Di antaranya adalah Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), Pendidikan Al-Quran seperti TKA (Taman Kanak-Kanak Alquran), TPA (Taman Pendidikan Alquran), dan TQA (Ta’limul Quran lil-Awlad).

"Kebijakan Mendikbud ini jelas menutup kesempatan jutaan siswa untuk dapat belajar di lembaga pendidikan keagamaan Islam, seperti selama ini dilakoninya," ungkapnya seperti pernyataan yang diterima redaksi CNNIndonesia.com, pada Senin (12/6).


Biasanya, kata dia, sekolah-sekolah keagamaan ini jam belajarnya bervariasi, antara jam 13.00 sampai dengan 16.00 WIB. Bagaimana nasib mereka dan juga puluhan ribu lembaga-lembaga penyelenggaranya? Jika kebijakan tersebut diterapkan, Ubai menilai ini akan mengkebiri pendidikan keagamaan.

Selain itu, aturan ini akan membatasi kebebasan anak dengan lingkungannya. Kebijakan ini jelas membatasi ruang bermain anak dengan lingkungan sosialnya. Anak setiap hari hanya diberi kesempatan untuk belajar di sekolah sehingga kehilangan waktu  bermain.

Berdasarkan pemikiran itu, JPPI lalu meminta Mendikbud untuk menangguhkan kebijakan sekolah dengan 8 jam sehari dan 5 hari dalam satu minggu pada tahun ajaran baru 2017/2018. Sebab, proses pembelajaran di sekolah akan berlangsung hingga sore hari, dan itu akan mengkebiri bahkan mematikan penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam yang selama ini telah berlangsung.

Di samping itu, mereka juga meminta Mendikbud melakukan koordinasi secara sinergis dengan kementerian terkait, antara lain Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri serta Pemerintah Daerah. Hal ini untuk mengintegrasikan penyeleggaraan pendidikan keagamaan Islam dengan sekolah.

Terakhir, mereka mendesak Mendikbud memperhatikan kebebasan, kreativitas, dan tumbuh kembang anak di luar sekolah, karena sekolah adalah bukan segala-galanya. Dalam kasus ini, bukan lagi soal delapan jam atau lebih panjang lagi, tapi sejauh mana substansi pendidikan yang memerdekakan dan mencerdaskan itu bisa direalisasikan oleh pemerintah, dengan tidak menjadikan sekolah sebagai satu-satunya sumber belajar.


Tanggapan Mendikbud

Dihubungi terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berpendapat, pembelajaran delapan jam sehari tidak akan mempengaruhi praktik penyelenggaraan pendidikan keagamaan swadaya masyarakat.

Muhadjir menegaskan, pemberlakuan belajar mengajar lima hari dalam seminggu tidak akan mempengaruhi apalagi mematikan penyelenggaraan Madrasah Diniyah dan pesantren.

"Sama sekali kami tidak ada pikiran menghilangkan, malah justru akan jadi partner sekolah menguatkan program karakter," ujar Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (12/6).

Ia mengatakan, pemerintah memiliki lima target pembentukan karakter melalui program pembelajaran delapan jam per hari yakni religi atau keberagaman, integritas, nasionalisme, kerja keras, dan gotong royong.

Penguatan karakter ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Beban Tugas Guru yang juga menjadi dasar per Juli sekolah hanya dari Senin hingga Jumat.


Dalam penyelenggaraannya, sekolah sangat mungkin bekerja sama dengan lembaga-lembaga lainnya seperti madrasah, masjid, gereja, pura, sanggar kesenian, hingga pusat olahraga.

"Jangan diartikan anak dapat pelajaran terus terusan di kelas, bukan itu," ucap mantan Rektor Muhammadiyah Malang ini.

Sebelumnya, pemerintah resmi menetapkan seluruh siswa SD, SMP, dan SMA hanya akan bersekolah lima hari. Hal ini sejalan dengan tugas yang dibebakan kepada aparatur sipil negara, termasuk guru yakni 40 jam per minggu.

Kendati demikian, kritik diberikan menyikapi kebijakan ini. Salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia. MUI meminta Mendikbud mengkaji ulang peraturan ini sebab dikhawatirkan mengganggu model pendidikan Madrasah.

Diketahui, kegiatan keagamaan seperti itu biasanya dimulai siang hari setelah pelajar pulang dari sekolah umum. (rah)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER