Jakarta, CNN Indonesia -- Parasnya tak lagi muda. Rambutnya yang pendek serta penampilan yang sederhana tetap membuatnya terlihat cantik. Dari pakaian yang dikenakannya menandakan dirinya tidak pernah melupakan apa yang sudah dibangunnya, yaitu tenun.
Dinny Jusuf, sosok perempuan yang berjuang untuk memperkenalkan Tenun Mamasa sejak tahun 2014. Saat itu, Dinny menceritakan, dia sedang ikut dengan suaminya yang berkampung halaman di Toraja. Saat itulah ada seorang penenun yang menghampirinya untuk meminta bantuan melestarikan tenun Mamasa.
“Waktu itu saya ikut suami saya ke Toraja dan ada seorang penenun yang menghampiri saya untuk meminta bantuan saya untuk melestarikan tenun di Mamasa,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mamasa merupakan daerah terpencil yang cukup sulit untuk dijangkau. Dinny mengatakan, untuk ke Mamasa perjalanannya memang cukup sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Untuk ke sana, seseorang harus berangkat sejak pagi naik motor pukul 12.00 WIB sudah harus kembali ke kota karena hujan biasanya turun. Untuk ke Mamasa biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam.
Menurut Dinny, cukup sulit untuk mendekati masyarakat Mamasa terutama di kalangan penenun yang mayoritas ibu-ibu. Tenun memiliki nilai sejarah yang menyakitkan untuk masyarakat Mamasa. Mereka akan memilih untuk diam dan pergi begitu saja ketika seseorang menanyakan soal tenun.
Pendiri Toraja Melo itu pun akhirnya bekerjasama dengan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) untuk mendekatkan diri dengan penenun Mamasa. Sedikit demi sedikit, para penenun mulai membuka diri. Bahkan, sekitar 300 penenun sudah bergabung menjadi anggota Pekka.
“Jadi Pekka mengajarkan bagaimana untuk membuat bagian keuangan, urusan administrasi. Dan saya bertugas untuk menjual kain tenun yang telah dibuat,” ucapnya.
Hal itu justru membuat Dinny semakin tertarik dengan Tenun Mamasa. Selain itu, Tenun Mamasa juga dikenal sebagai teknik tenun tradisional tertua di Indonesia. Ada dua teknik tenun Mamasa yaitu teknik tenun kartu atau Pallawa dan teknik tenun mangkabi. Teknik tenun kartu sendiri terdapat di ukiran pyramid di Mesir.
Dinny mengatakan, teknik tenun kartu biasanya dilakukan dengan menggunakan puluhan kartu-kartu yang dibuat khusus dari kayu hitam untuk kemudian disusun. Kartu yang berukuran 2 cm x 2 cm tersebut akan dimasukkan benang dan kemudian tangan para penenun akan membuat kain itu.
Sedangkan untuk teknik mangkabi, Dinny mengatakan, hanya dengan mengepang benang tenun. Meski demikian, untuk membuat satu kain diperlukan dua orang. Satu orang untuk mengepang dan seorang lagi akan mengikatkan benang di bagian perutnya. Hal itu karena penenun yang mengepang tidak dapat memegang benangnya sendiri.
Jika melihat tenun Mamasa, Dinny mengatakan, akan melihat mayoritas warna merah. Biasanya motif yang digunakan adalah motif yang masih diingat oleh para penenun. Meski demikian, sudah banyak motif asli Mamasa yang tidak diingat oleh mereka.
Salah satu motif yang sudah ada sejak lama dan bertahan sampai sekarang adalah motif bunga sakka. Selain itu terdapat juga motif kepiting.
“Ada motif bunga saka, ada juga yang mereka sebut motif bungkan atau kepiting. Namun, sudah hampir hilang pengertian mereka dari arti motif itu, mereka sudah tidak ingat dan kami sibuk mengumpulkan motif-motif yang masih ingat,” tuturnya.
Penenun Mamasa biasa menghasilkan kain tenun sepanjang 10 meter. Tenun itu biasanya berwarna merah dengan warna lainnya seperti biru, kuning, hitam hijau, ungu dan lainnya. Adapun hasil kain tenun tersebut biasa digunakan untuk scarf, tas dan busana.
(sys)