Jakarta, CNN Indonesia -- Mudik atau perjalanan ke kampung halaman telah menjadi tradisi dan fenomena yang selalu terjadi di setiap kali Lebaran tiba.
Ada yang beranggapan mudik sangat diwajibkan karena saatnya bersilaturahmi dengan keluarga, atau bentuk salah satu bakti terhadap orangtua dan saudara. Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah tradisi, dan tidak ada keharusan dalam Islam.
Bagaimana sebenarnya mudik jika dilihat dari pandangan agama Islam? Apakah mudik berlandaskan atas kesadaran relijiusitas dalam hal ini agama atau sekadar budaya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KH Maman Imanul Haq, Ketua Lembaga Dakwah PBNU mengatakan mudik merupakan salah satu fenomena budaya yang berbasis dasar relijiusitas.
"Mudik adalah kesadaran yang selalu terngiang-ngiang, seperti saat meninggal ada kutipan, 'kita milik Allah dan kembali kepada Allah', dan kemudian kita berbondong-bondong kembali ke tanah lahir kita," ungkapnya dalam seri video Tanya Jawab Seputar Islam (TAJIL) di
CNNIndonesia.com. Mengutip Hadis Nabi, ia menyebutkan, 'Bahwa sesungguhnya tanah air, tempat kelahiran kita, dan wangi sesepuh kita menyembuhkan penyakit, penyakit kerinduan, kesombongan dan takabur.'
"Siapapun kita pasti akan kembali, setinggi apapun kita pasti suatu saat akan mati."
Maka, kata dia, kesadaran mudik dibangun, sehingga orang-orang kembali ke kampung halaman, bertemu sanak saudara, tidak melakukan kezaliman, korupsi dan dosa-dosa apapun yang merugikan nama keluarga.
"Satu kali buat kesalahan, tapi yang malu tidak hanya kita, tapi ayah, ibu, kakek, saudara dan bahkan juga anak cucu," ujarnya.
"Itulah hakikat mudik, mudik didasari 'kita milik Allah dan kembali kepada Allah."
Oleh karenanya, KH Maman menganjurkan agar berbuat baiklah karena sesunguhnya kebaikan berguna bagi kita, orang-orang di sekitar kita, termasuk orang-orang di kampung halaman.
(rah)