Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Hari ini, Senin 17 Juli 2017, sebagian besar siswa sekolah sudah memulai tahun ajaran baru setelah libur satu bulan. Namun, ada pula yang sudah mulai belajar sejak pekan lalu, termasuk anak saya, River.
Kamis lalu saya mengantarnya menjalani hari pertama sekolah.
Alhamdulillah, tahun ini dia sudah naik ke kelas dua.
Tahun lalu ketika River memulai di kelas satu Sekolah Dasar, Anies Baswedan yang saat itu masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), mengeluarkan imbauan untuk mengantar anak di hari pertama sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2016, Anies meminta kepada pemimpin instansi pemerintah dan swasta memberikan dispensasi kepada pegawai dan karyawan untuk menemani anak-anak mereka di hari pertama sekolah.
Imbauan itu cukup fenomenal dan disambut baik para orang tua. Dari sekian Mendikbud yang dimiliki Indonesia, belum pernah ada yang mengeluarkan imbauan seperti itu.
Tujuannya sebenarnya sederhana. Di samping sebagai dukungan moral bagi anak memasuki dunia baru, juga agar orang tua bisa mengenali lingkungan belajar anaknya.
"Mendorong interaksi antara orang tua dengan guru di sekolah untuk menjalin komitmen bersama dalam mengawal pendidikan selama setahun ke depan", begitu tertulis dalam surat edaran tertanggal 11 Juni 2016 itu.
Dengan mengantar anak pada hari pertama sekolah, minimal orang tua bisa berkenalan atau bertukar nomor telepon dengan walikelas dan guru-guru anaknya.
 Tahun lalu, Anies Baswedan yang saat itu menjadi Mendikbud mengeluarkan imbauan agar orangtua mengantar anaknya ke sekolah di hari pertama. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi) |
Seperti yang kita tahu, hanya berselang sebulan setelah kebijakan dikeluarkan, Anies diberhentikan sebagai Mendikbud oleh Presiden Joko Widodo, dan digantikan oleh Muhadjir Effendy.
Langkah Anies Baswedan setelah turun, tak perlu kita bahas. Yang pasti, meskipun sekarang tidak terdengar ada imbauan menteri untuk mengantar anak di hari pertama sekolah, saya tetap melakukannya. Bagi saya pribadi, ini sudah menjadi semacam kesenangan. Bahkan kalau boleh berbangga, saya bangga bisa melakukannya tidak hanya di hari pertama sekolah.
Selama setahun River di kelas satu, tak pernah kami –saya dan istri—absen mengantar dan menjemputnya. Kalau saya tak sempat, istri saya yang akan melakukannya. Seingat saya, belum pernah kami menitipkan dia ke tukang ojek langganan, misalnya.
Ini sebenarnya risiko yang harus kami tanggung karena menyekolahkan dia jauh dari rumah. Saking jauhnya, fasilitas antar jemput di sekolahnya pun menolak ketika kami mendaftarkan dia untuk ikut mobil antar jemput.
Beruntung bagi kami, ukuran jauh itu masih di bawah standar yang digariskan para psikolog pendidikan yaitu waktu tempuh anak ke sekolah sebaiknya tidak lebih dari satu jam. Semacet-macetnya jalanan ke sekolah River, tidak pernah sampai butuh waktu satu jam. Dengan motor skutik saya yang ramping, paling lama 45 menit.
Sebenarnya ada alasan di balik keputusan kami mendaftarkan River di sekolah yang jauh dari rumah.
Sekolah anak saya ini bukan sekolah elit yang gedung-gedungnya bertingkat dan kelas
full AC.
Kelasnya hanya berupa saung-saung, tanpa bangku dan meja, dan dikelilingi rerimbunan pohon. Sengaja saya memasukkannya ke situ karena menganggap sekolah ini adalah produk cita-cita saya tentang sebuah sekolah yang membebaskan.
Sebagai hasil didikan sekolah Orde Baru, saya memimpikan metode pendidikan yang berbeda untuk anak saya. Sekolah tanpa pekerjaan rumah, tanpa ranking, dan -kalau perlu- tanpa seragam.
Hampir setiap hari anak saya berangkat sekolah dengan baju main yang paling dia suka. Yang dia bawa di dalam tasnya hanya air minum dan sepasang baju ganti. Tak ada buku tulis karena semua peralatan disimpan di sekolah, tak boleh dibawa pulang.
Ketika pertama kali mengetahui ihwal sekolah ini, saya sudah merasa satu frekuensi. Meski begitu, ternyata bukan hanya saya yang “lelah” dengan sistem pendidikan lama. Banyak orang tua lain yang sepemikiran dan ingin juga menyekolahkan anaknya di sekolah ini sementara kapasitas kelas terbatas.
Saya dan istri bahkan harus melewati beberapa kali sesi wawancara untuk menyamakan visi dengan pihak sekolah. Banyak yang harus kami sepakati, mulai dari soal teknis seperti biaya, hingga bagaimana solusi parkir kendaraan supaya tidak membuat macet.
 Salah satu sekolah alam di Jakarta yang menawarkan konsep tanpa seragam pada murid-muridnya. (CNN TV/Fauzan Mukrim) |
Namun ada satu hal yang paling saya ingat saat wawancara dengan direktur sekolah waktu itu.
Sang direktur yang kebetulan seorang perempuan, mengingatkan kami berkali-kali bahwa banyak orang tua yang berpikir pendidikan adalah tugas guru semata. Karena merasa sudah membayar biaya sekolah yang tak sedikit, orang tua hanya mengandalkan guru untuk semua pencapaian anaknya.
Itulah sebabnya, ketika seorang anak terlihat gagal atau tak memenuhi ekspektasi orangtua, yang paling pertama disalahkan adalah guru dan sekolah.
Sering kita mendengar kata-kata seperti ini:
Kamu diajari enggak sih di sekolah? Kok enggak bisa mengerjakan soal segampang ini! Atau ketika seorang anak melakukan hal buruk: Di mana kamu belajar itu? Di sekolah ya?“Di (sekolah) sini, semua orang adalah pendidik. Guru adalah pendidik, orang tua adalah pendidik, bahkan anak-anak yang posisi kasat matanya adalah objek pendidikan, sesungguhnya juga adalah pendidik. Semua adalah komponen penting untuk mencapai buah pengetahuan.”
Begitu kira-kira ikhtisar penjelasan Bu Direktur ketika itu, yang dengan segera saya amini.
Itulah sebabnya, ketika saya bertanya apakah di sekolah ini mengajarkan paus sebagai ikan atau bukan, perempuan berjilbab dan berkaca mata itu menjawab sambil tersenyum:
“Nanti kita cari sama-sama jawabannya.”
Terima Kasih, Pak AniesApapun yang sedang dikerjakan Pak Anies saat ini, saya tetap mengucapkan terima kasih yang paling dalam. Bahwa ia di suatu saat pernah menganjurkan kami para orang tua untuk mengantar jemput anak sekolah, setidaknya di hari pertama.
Kini setelah Pak Anies tak jadi Mendikbud dan tak ada lagi imbauan itu, saya berusaha akan tetap mengantarkan anak saya ke sekolah. Hujan atau panas.
Saya merasa ada faedah besar dari aktivitas antar-jemput ini. Seperti saat River di bangku Taman Kanak-kanan (TK) dulu, mengantar atau menjemputnya sekolah adalah semacam hiburan bagi kami.
Mumpung masih bisa, kami ingin jadi pendengar yang baik bagi cerita-ceritanya.
Kami bisa menyaksikannya tumbuh dan menyerap nilai-nilai di luar dirinya. Kami melihatnya belajar mengenali dunia dengan segala persoalan, mempertanyakan yang perlu dipertanyakan, dan memaklumi yang perlu dimaklumi.
Seiring jalan, ia tak lagi bingung mengapa kawannya diantar mobil yang bergonta-ganti. Ia tak lagi risau ketika ada kawannya yang punya semua mainan yang diiklankan di televisi. Ia juga tak lagi heran mengapa ibu temannya mengenakan
niqab.
Di jalan berangkat dan pulang sekolah, kami berkesempatan untuk sekadar merawat kesepahaman – misalnya saja tentang banteng yang sebenarnya tak benci merah.
Pernah suatu kali River berkata bahwa banteng benci pada warna merah. Saya kemudian tanya siapa yang bilang begitu. “Mama,” katanya.
Padahal yang saya tahu, klaim banteng tak suka warna merah itu sudah direvisi, jauh sebelum Pluto dikeluarkan dari susunan planet. Lalu saya bilang padanya, banteng tidak benci warna merah. Yang membuat banteng marah bukan warna melainkan kibasan kainnya. Warna kain apa pun yang dikibaskan oleh matador, akan membuat sang banteng terganggu dan kemudian marah.
“Masa sih, Yah?” tanyanya belum yakin.
“Iya, nanti kita cari buku tentang itu.”
Saya rasa, ini semacam intisari pencarian pengetahuan. Bahwa kesenangan bersekolah tidak hanya berakhir di saung-saung kelas, tapi juga di jalan berangkat atau pulang ke rumah.
Bersama River saat pulang pergi sekolah, saya menyadari betapa suci dunia anak-anak sebelum orang-orang dewasa datang mengacaukan dengan ambisi dan ilusi-ilusi fatal di dalam kepala mereka.
(fzn)