Jakarta, CNN Indonesia -- Delapan kilometer telah dilalui oleh perempuan bernama Mijem, si penjual jamu gendong. Langkah kakinya seolah tidak lelah dengan membawa beban dari delapan botol jamu yang ada dalam bakulnya.
Peralatan Mijem terbilang lengkap. Setiap hari, ia membawa beberapa gelas, satu ember kecil berisi air bersih untuk mencuci gelas, satu ember kecil untuk membawa jeruk nipis dan jamu sachet serta gendongan yang berisi botol jamu dengan air panas dalam satu termos.
Sejak 20 tahun lalu perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu menjadi penjual jamu gendong. Sebagai seorang perantau, Mijem memang memilih jalan sebagai penjual jamu karena keahliannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah 20 tahun jualan jamu, yang (jamu) dalam botol semuanya saya buat sendiri," ujar Mijem saat ditemui
CNNIndonesia.com di kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan, Selasa (15/8).
Perempuan yang akrab disapa Bude oleh para konsumennya itu memulai perjalannya sejak pukul 06.30 WIB di sepanjang kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan. Biasanya dia akan mengakhiri perjalanannya pada pukul 10.00 WIB atau hingga jamu yang dijualnya habis dibeli.
Jamu yang dijualnya pun beragam, mulai dari temulawak, kunyit asem, kencur, jahe hingga pahitan. Pembuatannya pun terbilang memakan waktu karena harus membersihkan bahannya dari sore dan keesokan paginya mulai menumbuk bahan tersebut.
"Biasanya paling banyak
mesen itu kunyit asem, pahitan, jahe," ucapnya.
Perjalanan Bude yang cukup panjang tidak membuatnya berhenti untuk menjajakan jamu yang dijualnya. Sesekali dia mengelap keringat yang turun di dahinya. Sinar mentari pagi pun tidak membuat semangatnya kendur.
Seperti penjual jamu pada umumnya, perempuan kelahiran 19 Agustus 1965 itu pun menggunakan kebaya dengan kain sebagai bawahannya serta sendal jepit untuk alas kaki.
 Bude Mijem. (Foto: CNN Indonesia/Gloria Safira Taylor) |
Tidak hanya berhenti di warung-warung atau melayani pembeli yang bertemu di jalan, Bude pun kerapkali menghampiri rumah pelanggan jamunya.
Salah satu pelanggan jamu Bude yang enggan disebutkan namanya mengaku sudah menikmati jamu sejak lama. Kebiasaan membeli jamu di Bude pun sudah dilakukan oleh keluarganya.
"Saya minum jamu sudah lama, beli jamu di Bude juga sudah jadi kebiasaan," ucapnya.
Sudah turun temurun, begitulah Bude menyebut pelanggan setianya. Hal itu karena membeli jamu dilakukan oleh satu keluarga mulai dari orang tua, anak, kakak hingga adik.
Harga yang diberikan untuk segelas jamu tidaklah mahal. Bude mengatakan, untuk jamu yang dibuatnya sendiri dihargai sekitar Rp2.500-Rp3.000 per gelas. Sedangkan jamu yang diseduh atau jamu bubuk dihargai Rp7.000 per gelas.
"Penghasilan sehari-hari lumayan. Yang penting cukup untuk kebutuhan keluarga," tuturnya.
 Bude Mijem dengan jamu gendongnya. (Foto: CNN Indonesia/Gloria Safira Taylor) |
Selain mencukupi kebutuhan, Bude juga percaya jika jamu baik untuk kesehatan. Ibu dari empat anak itu pun rutin memberikan anak-anaknya jamu karena percaya dengan manfaatnya.
"Anak-anak saya bahkan delapan cucu saya juga saya kasih jamu, manfaatnya kan banyak," ujarnya.
Enggan beralihKemajuan zaman juga diterima oleh para penjual jamu. Kebiasaan menggendong bakul jamu pun sudah mulai tergerus.
Tidak sedikit penjual jamu yang menggunakan sepeda untuk menjual barang dagangannya tersebut. Bahkan pedagang jamu juga sudah mulai menggunakan kemajuan teknologi melalui internet dan media sosial.
Perempuan yang tinggal di Gang Beni itu mengaku dirinya enggan beralih dari profesinya sebagai penjual jamu gendong. Dia lebih senang berkeliling dan berjualan dengan berjalan kaki sambil menggendong bakul.
"(Jual jamu gendong) lebih senang buat saya, bisa ketemu dengan orang-orang, menyapa mereka dan ketemu pelanggan rasanya senang," ucapnya.
Bude mengaku, penjual jamu gendong memang sudah berkurang belakangan ini. Bukan hanya karena kemajuan zaman tetapi kebanyakan memilih untuk pulang ke kampung halaman.
Meski demikian, Bude menilai, pedagang jamu gendong masih bisa ditemui di kawasan Jagakarsa.
"Dulu sih lumayan banyak, kalau sekarang ada sih tapi ya tidak sebanyak dulu. Seperti di sini (Jalan Baung) paling cuman tiga saja penjual jamu gendong," tuturnya.
Biasanya, kata Bude, dia berjualan pada pagi hari dan sore hari. Namun sudah bertahun-tahun belakangan dia hanya menjual di pagi hari. "Sekarang sudah susah dan cape juga kalau jualan pagi sama sore jadi pagi saja," ucapnya.
Bude mengaku, berjualan jamu dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
 Bude Mijem keliling kompleks menjajakan jamu jualannya. (Foto: CNN Indonesia/Gloria Safira Taylor) |
Tak tahu Nyonya Meneer pailitKabar pailitnya Jamu Cap Nyonya Meneer tidak diketahui oleh sebagian penjual jamu salah satunya Bude.
Bude mengaku dirinya tidak tahu soal kabar tersebut. Hingga kini, dia masih menjual jamu bubuk merek Cap Nyonya Meneer. Sejumlah merek jamu bubuk memang selalu dia bawa di satu ember kecil saat berjualan.
"Ah masa iya sih (pailit), saya masih jualan kok jamu bubuk Nyonya Meneer," ujarnya.
(rah)