CATATAN PERJALANAN

Mengejar Fajar Candi Borobudur

Rahman Indra | CNN Indonesia
Minggu, 15 Okt 2017 12:53 WIB
Perjalanan 'mengejar' matahari terbit di bagian teratas Candi Borobudur menjadi momen kontemplasi yang memberi kesan mendalam.
Perjalanan 'mengejar' matahari terbit di bagian teratas Candi Borobudur menjadi momen kontemplasi yang memberi kesan mendalam. (Foto: CNN Indonesia/Rahman Indra)
Magelang, CNN Indonesia -- Setelah satu jam penerbangan dari Jakarta, saya menginjakkan kaki di Yogyakarta. Perjalanan menuju Magelang dan melewati megahnya Candi Borobudur melempar saya pada ingatan akan peringatan Waisak lima tahun lalu. Ini kali kedua saya berada di kota ini.

Setiap sudut Borobudur yang penuh dengan ukiran relief dan cerita tentang Buddha kembali terngiang di kepala. Riuh orang bergumam bersembahyang membuat saya tak sabar untuk kembali ke sana.

"Besok pagi-pagi subuh, jam 4 kita akan ke Borobudur, sekalian menikmati syahdunya matahari terbit dari puncaknya," ujar Maya, koordinator perjalanan saya kali ini, seolah membaca apa yang sedang ada di pikiran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mengejar fajar Candi Borobudur, kenapa tidak?" balas saya.

Tak lebih dari sejam berkendara, kami sampai di Hotel Amanjiwo, yang terletak di desa Majaksingi, Borobudur, Magelang. Cuaca di akhir September tak berawan tapi menenangkan. Sesuai namanya, hotel yang saya tempati selama tiga hari itu membuat 'jiwa tenang'. Hampir tak terdengar riuh kendaraan atau lainnya. Yang ada hanya semilir angin, dan siluet Candi Borobudur di kejauhan.

Mengejar Fajar Candi BorobudurPerjalanan mengejar momen matahari terbit di Candi Borobudur. (Foto: CNN Indonesia/Rahman Indra)

Mengejar Fajar

Tepat pukul 04:00, saya bangun. Dibangunkan lebih tepatnya, oleh panggilan petugas hotel via telpon. Saya, Maya, dan tiga rekan media lainnya, serta pemandu tur, Pak Udin, lalu beranjak menuju Candi Borobudur.

Berkendara selama tak sampai setengah jam, kami masuk melalui Hotel Manohara di dalam kawasan Taman Wisata Candi Borobudur, karena pintu masuk utama Borobudur baru dibuka setelah pukul 7 pagi.

Dari sini, kami hanya perlu berjalan kaki sedikit sebelum bertemu anak tangga menuju puncak Candi Borobudur. Dari Pak Udin, saya tahu, ada banyak kombinasi angka sembilan di candi yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1991 ini.

Ada 504 arca Buddha di Candi Borobudur, 72 buah di dalam stupa berterawang dan 432 dalam relung terbuka. Lalu, ada 5 arca di pagar langkan, dan 4 arca Buddha di lorong. Terdiri dari sepuluh tingkat, Borobudur memiliki 6 pelataran terbawah berbentuk bujur sangkar, dan 3 pelataran lingkaran. Jika semuanya dihitung kombinasi, maka mengacu pada angka 9.

Penjelasan Pak Udin cukup membuat kami takjub sembari terus melangkah naik ke candi yang jika dihitung kasar sudah bertahan selama hampir 12 abad. Waktu yang teramat panjang dan bersejarah.

Matahari masih belum menampakkan diri. Waktu menunjukkan pukul 05:00, dan ada sedikit kabut dan mendung. Lambat laun, terdengar riuh dan sedikit gaduh. Ternyata tidak hanya kami yang bangun pagi demi fajar Borobudur. Di setiap sudut yang mengarah ke timur, sudah duduk beberapa orang, yang dari tampilannya didominasi wisatawan asing. Mereka, seperti halnya saya, menunggu matahari terbit.

Mengejar Fajar Candi BorobudurSejumlah wisatawan berdiam diri menikmati momen fajar Candi Borobudur. (Foto: CNN Indonesia/Rahman Indra)

Menikmati hening
Perlahan kabut dan mendung yang tadi menutupi langit bergeser memberi ruang pada sinar matahari yang masuk mengintip.

Berada di antara siluet stupa, kabut, pagi yang hening, dan bias sinar fajar yang menyemburat jatuh di sela-sela arca membuat saya terdiam sejenak. Ada kesan mendalam di sana. Kesan yang tak saya dapat waktu kedatangan pertama kali ke sini dulu.

Saya mengambil waktu jeda sejenak berpisah dari rombongan. Berdiam di samping stupa dan memandang ke arah matahari.

Keheningan yang janggal untuk beberapa detik tapi menenangkan. Tak jauh dari saya duduk, ada beberapa orang yang bergumam seolah berdoa sembari memejamkan mata. Mereka duduk bersila.

Beberapa orang lainnya, ada yang mencoba mengabadikan momen lewat kamera ponsel, kamera profesional dan merekamnya dalam bentuk video.

"Mereka, para pengejar fajar Candi Borobudur," bisik Maya pada saya.

Bisikan itu membuat saya sadar, ternyata benar anggapan bahwa menikmati matahari terbit di Borobudur bisa jadi lebih baik dibanding matahari terbenam. Salah satunya karena kabut pagi yang memberi kesan janggal, dan suasana sunyi yang dihadirkannya. Sunyi seperti tingkatan teratas sebagai simbol 'surga' yang diusung Borobudur itu sendiri.

Tingkatan teratas? Surga?

Mengejar Fajar Candi BorobudurBagian teratas, atau Arupadhatu terdapat 72 stupa dan 1 stupa induk raksasa. (Foto: CNN Indonesia/Rahman Indra)

“Borobudur bisa dibagi atas tiga tingkatan, bagian bawah Kamadhatu, tengah Rupadhatu, dan atas ini, Arupadhatu,” tutur Pak Udin.

Menyusuri Borobudur

Pemandu wisata Candi Borobudur yang sudah cukup berumur itu lalu mengajak kami menelusuri candi. Berhubung kami sudah berada di tingkat teratas, ia lalu menguraikannya sembari menuruni anak tangga.

Tingkatan teratas, kata dia, terdapat 72 stupa dan 1 stupa induk. Stupa yang terbesar dan tertinggi di belakang saya, kata dia, merupakan yang tertutup rapat tanpa lubang-lubang. Stupa raksasa ini berdiameter 9,90 meter, dan tinggi 7 meter. Keberadaan stupa ini berbeda dengan yang ada di tingkat bawahnya, yang berlubang berbentuk belah ketupat dan bujur sangkar. Masing-masing tingkat memiliki 16, 24 dan 32 stupa.

Menurut Pak Udin, konon stupa induk di tingkat teratas menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna. Stupa yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, kesunyian dan tak ada lagi terikat hasrat, atau keinginan.

Beranjak turun ke bagian tengah, yakni Rupadhatu terdapat patung-patung Buddha pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Ada empat undakan teras di bagian ini yang membentuk lorong keliling. Di dindingnya dihiasi galeri relief yang seluruhnya memanjang 2,5 kilometer, dengan 1.212 panel berukir dekoratif.

Pak Udin mengatakan Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Di tingkatan ini terdapat ukiran relief yang bercerita, dan dapat dipahami dengan cara berjaalan dari arah timur, lalu membaca relief di kiri atas, kiri bawah, kanan bawah lalu kanan atas. Jika dilihat dengan seksama akan mendapati kisah Buddha dan perjalanannya.

Sementara di bagian kaki, atau Kamadhatu adalah lambang dunia yang masih dikuasai karma atau nafsu rendah. Pak Udin lalu mengajak kami ke salah satu sudut candi, di mana ada satu bagian yang terpisah bongkahannya.

Di bagian kaki ini, kata dia, terdapat 160 relief yang tersimpan di dalam candi. Bagian bongkahan yang sengaja dilepas dari sudut candi untuk menunjukkan ke publik akan adanya relief tersebut. Diketahuinya relief tersembunyi ini disebut Pak Udin berkat pemugaran yang pernah dilakukan.

Mengejar Fajar Candi BorobudurSelain menikmati hening, ada juga yang bergumam berdoa. (Foto: CNN Indonesia/Rahman Indra)

Memetik pelajaran

Usai mengajak kami mengenali lebih dekat tiga tingkatan Borobudur, ia lalu menuturkan bahwa kebanyakan orang menikmati Borobudur seringkali hanya sambil lalu, bahwa candi itu megah dan bersejarah.

Padahal, kata dia, Candi Borobudur tak ubahnya perpustakaan besar. Alih-alih buku, candi dengan bentuk dan ukiran reliefnya adalah 'buku' yang terkembang. Ada banyak ajaran hidup, dan ataupun cerita Buddha di dalamnya.

"Untuk memahami Buddha, dan kisah di balik Borobudur ini, dimulai dari timur, dan berjalan searah jarum jam. Kenapa timur? Karena, saat matahari terbit, orang mulai mengawali hari, melihat sesuatu, berpikir dan berbuat sesuatu," ujarnya.

Ketika matahari terbenam di barat, waktu beranjak gelap, dan saatnya untuk memberi atau berbagi dengan orang lain.

Ungkapan terakhir Pak Udin menyadarkan saya akan perjalanan mengejar fajar di Candi Borobudur kali ini. Seketika, saya merasa enggan beranjak pulang. (rah)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER