CATATAN PERJALANAN

Dua Sumba dalam Sekali Mendarat

Feri Agus | CNN Indonesia
Minggu, 04 Mar 2018 13:31 WIB
Akhir pekan kemarin, saya berkesempatan mengunjungi Sumba Barat daya dan Sumba Timur. Berikut ini pengalaman saya selama di sana.
Kampung adat Rattenggaro di Sumba. (AFP PHOTO / ROMEO GACAD)
Tambolaka, CNN Indonesia -- Warna hijau pepohonan terhampar saat pesawat yang saya tumpangi mengambil ancang-ancang untuk mendarat di Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tengara Timur. Waktu menunjukkan sekitar pukul 2 siang, setelah saya menginjakan kaki di bandara peninggalan penjajah Jepang itu.

Harga tiket penerbangan ke Sumba cukup terjangkau, sekitar Rp2,3 jutaan per orang. Hanya saja, butuh kesabaran yang lebih saat menjalani penerbangan, karena pesawat bakal transit di Bali. Total durasi penerbangan dari Jakarta-Bali-Sumba sekitar 6 jam. Tapi, saya tak terlalu ambil pusing karena sudah lama menanti momen menjelajah Sumba.

Di Pulau Sumba ada dua bandara yang bisa dijejaki turis, yaitu di Bandara Tambolaka di Sumba Barat dan Bandara Umbu Mehang Kunda di Sumba Timur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bandara Tambolaka terbilang kecil, namun cukup ramai dipadati penumpang. Ketika keluar dari pintu kedatangan bandara, sopir-sopir mobil sigap menghampiri. Kebetulan rombongan saya sudah ada yang menjemput, jadi tidak perlu bingung memilih kendaraan.

Dari bandara, saya langsung menuju Desa Delo, Wewewa Selatan. Wilayah Sumba Barat Daya dikelilingi perbukitan yang tak terlalu tinggi, sehingga jalan pun berliku-liku dan menanjak.

Sejauh mata menandang, padang hijau (sabana) diselingi pohon lontar menghiasi sisi kanan-kiri jalan. Selama perjalanan hewan-hewan seperti kerbau, sapi, kuda, anjing, hingga babi kerap terlihat di sekitar rumah.

Pemandangan bak lukisan tersebut berpadu dengan langit yang biru cerah. Rasa lelah duduk di pesawat langsung terlupakan. 

Selain menjadi nelayan, warga Sumba juga berprofesi sebagai peternak. Di antara hewan-hewan terlihat di Sumba, kuda merupakan hewan 'asli' di sana. Jenis kuda itu adalah Sandalwood atau Pasola.

Listrik dan 'Katopo' Penunggang Kuda Sandalwood dalam Festival Pasola. (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

"Populasi kuda lebih banyak berada di Sumba Timur. Di sana sabana-nya lebih luas," kata Bernard, sopir yang mengatar rombongan saya.

Setelah satu jam perjalanan, saya dan rombongan tiba di Desa Delo. Kami melakukan peninjauan di desa yang belum mendapat aliran listrik ini. Warga desa tersebut harus mengandalkan panel surya untuk sekedar menerangi rumah di malam hari.

Kabarnya, pemerintah menjanjikan listrik akan mengalir awal Maret 2018. Hal itu tampak dari banyaknya tiang listrik yang tergeletak di sepanjang jalan memasuki kawasan Desa Delo sampai Desa Wee Wula.

Listrik dan 'Katopo' Panel surya untuk listrik di Sumba. (CNN Indonesia/Feri Agus)

Listrik memang menjadi 'barang mewah' di dua desa tersebut, dan mungkin di seluruh Pulau Sumba.

Saya sempat merasakan 'kegelapan' di Desa Wee Wula. Tak ada lampu di sisi kanan-kiri jalan. Namun, warga di sana sudah terbiasa. Mereka mampu berjalan kaki menyusuri jalan di malam hari tanpa bantuan penerangan.

Tak hanya kesulitan listrik, Sumba juga masih kesulitan sinyal telepon selular. Dari hasil perbincangan dengan sejumlah warga, sinyal ponsel agak sedikit lebih bagus di Sumba Timur, khususnya di Waingapu. Karena di sana perkembangan kawasannya lebih pesat dibanding daerah Sumba lainnya.

Malam pertama saya menginap di Hotel Sumba Sejahtera. Hotel tersebut berada cukup jauh dari bandara, sekitar 20 menit perjalanan. Hal itu dikarenakan belum banyak hotel di ibu kota Sumba Barat Daya.

Katopo dan kubur batu

Di hari ke-dua, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju sekolah dasar yang berada di Kodi Utara. Sekolah yang dituju berada di sisi barat Pulau Sumba.

Sehari berada di Sumba Barat Daya, saya selalu melihat laki-laki membawa parang atau yang disebut katopo. Parang yang dibawa berukuran cukup panjang dan disisipkan pada kain yang dibalut di pinggang. Rata-rata panjang parang tersebut sekitar 30-40 centimeter. 

Saat jalan kaki, berkendara motor ataupun mobil, parang selalu di sisi mereka. Persis seperti di film 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak'.

Listrik dan 'Katopo' Salah satu adegan dalam film 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak'. (Dok. Cinesurya)

Saya pun melihat parang di sisi kiri tempat duduk Bernard. "Buat jaga-jaga di jalan ya bang?" saya bertanya kepadanya. Bernard hanya tersenyum lalu menjelaskan hubungan katopo dan laki-laki Sumba.

Dikatakannya, katopo menjadi barang yang wajib dimiliki dan dibawa oleh laki-laki di Sumba, terutama di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat. Katopo disebut juga sebagai simbol kejantanan pria sana. Tak peduli tua atau muda.

"Katopo yang selalu ada di sisi mereka tentu bukan untuk gaya-gayaan. Para laki-laki di sini biasa menggunakan parang untuk kerja sehari-hari, seperti memotong pohon, semak belukar, hewan ternak dan pekerjaan lainnya," ujar Bernard.

Selain melihat laki-laki berkatopo, di sepanjang jalan saya juga menjumpai bangunan batu berbentuk di sekitar rumah penduduk. Satu rumah biasanya memiliki satu sampai dua bangunan batu tersebut yang berukuran cukup besar.

Kembali dijelaskan Bernard, kubus-kubus batu itu merupakan makam. Jenazah yang telah didandani bakal dimakamkan di dalam kubus itu.

Sumba, Pulau Eksotik yang Perlu PeneranganKubur Batu. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)


Jasad mereka tak diletakan dalam posisi tidur, tetapi meringkuk seperti bayi yang berada dalam janin. Penguburan seperti itu dilakukan penganut Marapu, agama kepercayaan asli sebagian besar penduduk Sumba.

Selain di desa adat, kubur batu juga akan dijumpai di pemukiman biasa.

"Ketika ada warga Sumba yang wafat, keluarga dan kerabat akan datang membawa hewan ternak, mulai babi hingga kerbau," kata Bernard.

"Hewan itu diserahkan kepada keluarga yang berduka, kemudian dipotong, dihidangkan kepada tamu yang melayat. Tradisi ini dikenal dengan sebutan ke'de," lanjutnya.

Kebetulan, saya melihat langsung prosesi mengantar hewan ke salah satu rumah warga. Sejumlah kerbau dan babi dibawa oleh sejumlah orang, dengan diiringi pukulan gong. 

Mencicipi jalur darat Sumba

Ada tiga kabupaten di Pulau Sumba, yaitu Sumba Barat Daya, Sumba Barat, dan Sumba Timur. Saya dan rombongan sempat singgah di salah satu desa di Sumba Barat. Wilayah tersebut didominasi perbukitan, dan lembah yang hijau.

Setelah beberapa jam meninjau penggunaan tenaga surya untuk menggiling gabah, saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke ibu kota Sumba Timur, Waingapu. Kami bertolak menuju Waingpu pada pukul 6 sore. Bernard mengatakan, kemungkinan kami tiba pukul 10 malam.

Perjalanan dari Sumba Barat ke Sumba Timur memakan waktu sekitar empat jam perjalanan. Rombongan yang terdiri dari enam mobil beriringan membelah jalan di punggung bukit. Jalur yang kami lalui adalah jalur tengah. Jalan berliku dan menanjak menjadi santapan utama.

Bernard mengatakan, ada dua jalur yang nantinya akan menjadi penghubung Sumba Barat Daya dengan Sumba Timur. Jalur Utara, yang berada di pesisir utara dan jalur tengah dengan medan pegunungan.

Namun, jalur utara Sumba belum berfungsi. Jalur tengah ini masih menjadi jalan utama bagi masyarakat yang hilir mudik Timur ke Barat.

Kami tiba di Waingapu nyaris tengah malam, dan langsung menuju Hotel Padadita. Lokasi persis berada di tepi pantai. Esok pagi, kami berencana mengunjungi pembangkit listrik tenaga angin di daerah Kamanggih. Kamanggih adalah daerah perbukitan dengan hembusan angin yang kencang. Desa-desa di sana berada di ketinggian.

Memang patut dikunjungi

Pagi harinya, saya dan rombongan langsung berangkat menuju Kamanggih. Sepanjang jalan menuju Kamanggih, kami melewati sabana yang terhampar di sepanjang jalan.

Sabana di sini lebih kering dari yang saya jumpai di Sumba Barat Daya. Perbukitan dengan sabana tersaji di sisi kanan jalan. Sementara di sisi kiri jalan terhampar sabana yang berbatasan dengan wilayah pantai.

"Pemandangannya nanti lebih bagus di atas (mengarah ke Kamanggih)," kata Deni, sopir mobil yang menggantikan Bernard.

Setelah menempuh perjalanan dengan pemandangan yang memanjakan mata, akhirnya kami tiba di jalan masuk menuju ke Kamanggih.

Awalnya ada beberapa rumah semi-permanen di kanan-kiri jalan. Namun semakin menjauh dari jalan besar, rumah yang berdiri berupa rumah panggung dengan seluruh material dari kayu.

Listrik dan 'Katopo' Kampung adat Dikita di Sumba. (CNN Indonesia/Lalu Rahadian)

Biasanya bagian bawah rumah menjadi kandang hewan ternak para penduduk. Kuda Sandalwood, sapi, dan kambing juga terlihat sedang menikmati rumput yang ada di punggung perbukitan.

Berfoto di kawasan perbukitan dengan latar lembah menjadi salah satu kegiatan yang menyenangkan untuk dilakukan. Tapi sayangnya, saat itu cuaca sedang tidak bersahabat.

Selain wilayah perbukitan yang memesona hingga menjadi lokasi langganan syuting film, Sumba Timur juga memiliki pantai-pantai yang tak kalah menariknya. Tapi sayang, saya tidak punya cukup waktu untuk megeksplorasi pantai-pantai itu.

Selain tradisi dan keindahan alamnya, Sumba juga terkenal dengan kain tenun. Menenun menjadi salah satu pekerjaan sehari-hari oerempuan Sumba, khususnya di Sumba Timur. Kain tenun Sumba memiliki motif yang bervariasi.

Listrik dan 'Katopo' Aktivitas menenun yang dilakukan warga. (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

Motif kain tenunnya kebanyakan berwarna cerah. Saya sempat mampir ke toko tenun yang berada di Waingapu. Toko tersebut milik orang tua salah satu sopir rombongan kami.

Terdapat kain tenun dengan berbagai ukuran, dari yang panjangnya satu hingga tiga meter. Harganya pun cukup terjangkau, mulai dari Rp100 ribu sampai jutaan rupiah. Tergantung ukuran, warna, dan motif kain.

Sumba juga menjadi tempat peraduan para perantau dari daerah lain, seperti Jawa dan Makassar.

Saya beberapa kali bertemu dengan 'orang Jawa' saat di Sumba Barat Daya, Sumba Barat, dan Sumba Timur. Rata-rata mereka membuka warung nasi. 

Sementara untuk 'orang Makassar' mudah ditemui di wilayah pelabuhan di Waingapu, Sumba Timur. Mereka juga membuka rumah makan, dengan menu utama seafood.

Ada atau tidak adanya listrik atau sinyal telepon seluler di Pulau Sumba, saya tetap menyarankan turis untuk berkunjung ke sana, karena alamnya sangatlah indah. 

Kunjungan turis tentu bisa membantu meningkatkan perekonomian warga setempat. Tapi yang wajib diingat, jangan sampai kunjungan kita sebagai turis melunturkan tradisi dan kelestarian alam di sana. 

(agr/ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER