Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam kunjungannya ke Indonesia, Princess Mabel van Oranje, atau Mabel van Oranje, Ketua Dewan sekaligus aktivis peduli 'perkawinan anak' Girls Not Brides melihat adanya satu peluang bagi Indonesia untuk bisa jadi 'role model' bagi negara lain.
Menurutnya, Indonesia dengan peran berbagai pihak dari pemerintah hingga kepala daerah, pendidik, dan orangtua dapat mengakhiri 'perkawinan anak' di bawah 18 tahun. Hal ini bukannya tidak mungkin.
Ditemui di sela-sela gelaran AKSI Setop Perkawinan Anak yang digelar di Erasmus Huis, Jakarta, pada Kamis (8/3), bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional, Mabel van Oranje menjawab sejumlah pertanyaan dari
CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Apakah ini kunjungan yang pertama dan apa yang ditemukan di Indonesia?Saya sudah pernah ke Indonesia sekitar 20 tahun lalu, tapi sebagai turis. Saya lihat pertumbuhan ekonomi tinggi, meski masih banyak kemiskinan, dan kemiskinan yang tak tampak kasat mata. Namun, bagaimanapun Indonesia sudah di langkahnya yang tepat.
Sewaktu datang sebagai turis saya tak melihat adanya persoalan akan perkawinan anak. Namun, dalam satu dekade terakhir, kasus ini menjadi isu yang benar-benar tabu dan berbahaya. Orang-orang mulai membicarakan akan hal ini, dan dampak negatifnya. Anak-anak menikah ketika usianya masih di bawah 18 tahun, dan kenaikan jumlahnya di Indonesia cukup siginifikan. Ada 1 dari 9 anak yang menikah sebelum 18 tahun.
Jika dilihat dari populasi Indonesia, angka itu cukup besar. Banyak anak perempuan yang menikah sebelum waktunya, dan kemudian mendapat perlakukan kekerasan rumah tangga. Masa depan tidak menjanjikan. Dan ini kemudian jelas berbahaya bagi masyarakat, dan juga negara. Makanya itu, masalah ini menjadi penting dan patut jadi perhatian.
2. Ada dampak buruknya bagi anak?Remaja perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, tidak bisa menyelesaikan pendidikannya. Ia tidak punya masa depan yang jelas.
Biasanya, perempuan yang menghasilkan uang, akan investasi ke keluarga dan juga masyarakat. Persoalan ini kemudian turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dan ini rentetannya panjang.
Ditambah lagi, jika hamil di usia muda, ada yang tubuhnya belum siap untuk menanggung itu. Kemudian, anak yang lahir bisa jadi berisiko hurang gizi. Ujung-ujungnya susah untuk bangkit dari kemiskinan. Ini perlu dibikin kesadaran akan dampak negatif perkawinan anak sehingga masyarakat tahu.
3. Apa masalah utama dari perkawinan anak adalah kemiskinan, atau ada yang lain?Perkawinan anak terjadi di berbagai negara, atau daerah dengan alasan yang berbeda-beda. Misalkan, perkawinan anak di Jawa Barat akan berbeda alasannya dengan di Lombok. Akan berbeda lagi dengan daerah lainnya yang beda pulau.
Secara keseluruhan, bisa jadi karena berhubungan dengan tradisi yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Bisa juga karena kemiskinan, lalu menikah di usia muda. Bisa juga karena isu lainnya, seperti kecemasan seksual bagi anak perempuan, sehingga orangtua segera menikahkannya.
Di Lombok di mana saya kunjungi kemarin, ada beberapa persoalan terkait norma sosial, dan pengetahuan akan reproduksi kesehatan yang rendah. Di sana, anak remaja tak bisa menjalin hubungan (berpacaran mengenal pasangan dulu) tapi langsung dinikah paksa. Namun bercerai setelah beberapa tahun.
Tak hanya itu, pendidikan mengenai seksual dan reproduksi kesehatan juga minim. Banyak remaja perempuan yang tak tahu bagaimana seseorang bisa hamil, misalnya. Padahal pengetahuan ini penting.
4. Indonesia disebut menempati rangking ketujuh dunia dalam jumlah perkawinan anak tertinggi. Bagaimana dengan negara lain?Dalam daftar sepuluh negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi, Indonesia masuk di dalamnya. Selain itu, ada negara-negara seperti India, Ethiopia, dan juga Brazil di dalamnya. Jika diperhatikan dengan seksama, ada keterkaitan antara perkawinan anak dengan pertumbuhan ekonomi rendah. Bayangkan jika negara-negara bisa mengakhiri perkawinan anak, maka bisa jadi mereka berpendapatan lebih, dan juga lebih sehat orang-orangnya.
5. Organisasi 'Girls Not Bride' yang Anda gawangi, dibentuk 2011. Sudah 7 tahun hingga saat ini, apakah ada temuan penting terkait perkawinan anak? Perkawinan anak tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dunia. Sekitar tiga hari lalu, UNICEF mengemukakan data perkawinan anak yang terjadi di tingkat global, sekitar 12 juta anak per tahunnya. Angka ini jelas masih tinggi. Oleh karenanya, pemerintah mesti berkomitmen akhiri perkawinan anak, bekerjasama dengan pemimpin daerah, pemimpin adat, dan pemimpin agama untuk benar-benar mengakhiri perkawinan anak.
Jika itu berhasil maka ekonomi bisa bertumbuh, pendidikan lebih baik bagi perempuan, terjadi pemberdayaan dan menghasilkan pendapatan.
Saat berada di sini (Indonesia), saya melihat langsung apa yang dikerjakan oleh organisasi nirlaba, bicara dengan sejumlah pemimpin yang mau bikin perubahan, dan sejumlah menteri di antaranya Menteri Luar Negeri dan Menteri SDM.
Saya menyadari bahwa Indonesia punya potensi untuk menjadi sampel bagaimana satu negara mampu memutuskan mengakhiri perkawinan anak, dengan bekerja bersama-sama, lintas sektor.
Saya sangat ingin sekali melihat Indonesia jadi role model, hingga satu saat saya bisa bilang; "Jika Indonesia bisa, maka Anda juga bisa," pada negara lain.
Saya sangat optimistis, dan berharap satu kali saya kembali ke sini, entah 20 tahun yang akan datang, di Indonesia tak lagi ada masalah perkawinan anak.
6. Bagaimana mengakhirinya?Adopsi Perppu, implementasikan langkah akhiri perkawinan anak. Lalu, setiap anak mesti menempuh pendidikan hingga mereka berusia 18 tahun. Mesti ada pembicaraan terbuka tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Bekerjasama dengan pemimpin adat, dan agama untuk saling membantu dalam perubahan, menjadi jalan keluar untuk permasalahan ini.
Jika semua bekerja di setiap level dan membicarakan ini, bisa jadi memberi hasil. Termasuk juga media, tak hanya menyampaikan berita 'horor' tapi juga kisah anak yang menempuh jenjang pendidikan dan sukses.
(rah)