Jakarta, CNN Indonesia -- Lombok, Nusa Tenggara Barat ternyata masih terbelenggu budaya pernikahan dini. Masyarakat Lombok mengenal ada budaya merariq atau mencuri perempuan untuk menikah. Prosesi ini banyak terjadi pada anak di bawah umur.
Tokoh masyarakat dari Desa Kuta, Lombok Tuan Guru L Abus Sulkhi Khairi menceritakan merariq merupakan budaya menculik perempuan di malam hari setelah maghrib untuk menikah.
"Jadi laki-laki akan datang ke rumah perempuan tanpa sepengetahuan keluarga untuk mengambil anak perempuan," kata Khairi dalam diskusi peluncuran Yayasan Plan Internasional Indonesia di Jakarta, Selasa (21/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khairi menyebut kebanyakan orang tua terpaksa menikahkan anak mereka. Karena jika tidak dan sang anak dikembalikan, maka bakal dianggap sebagai aib yang memalukan keluarga.
"Pernikahan itu di luar kemauan. Mereka tidak rela anaknya dikembalikan untuk nama baik keluarga," ucap Khairi.
Sebenarnya budaya merariq dianggap sudah banyak melenceng dari budaya aslinya yang mesti mengikuti banyak ketentuan dan tata cara. Hanya saja, kini budaya itu bergeser makna jadi lebih sederhana.
Menurut Khairi, ini terjadi karena pendidikan masyarakat Lombok tergolong rendah.
"Bahkan tidak punya pendidikan sehingga anak diterlantarkan. Kemudian faktor lingkungan banyak didoktrin setiap jalan atau bertemu orang, anak-anak selalu ditanya kapan menikah," tutur Khairi.
Alhasil, budaya dan rendahnya pendidikan ini turut menyumbang tingginya angka perkawinan anak di NTB. Data BPS dan UNICEF pada 2016 mencatat terdapat sekitar 32 ribu pernikahan anak usia 15-19 tahun. Jumlah itu sekitar 16,3 persen dari total pernikahan di NTB.
Akibatnya, tangka pernikahan anak yang tinggi berdampak pula pada tingginya perceraian.
"Mereka yang menikah umumnya putus sekolah, lalu menikah hanya beberapa bulan. Ada juga yang hamil tapi ditinggal suami. Anak kemudian dititipkan pada orang tua dan dia menjadi buruh migran," kata Khairi.
Khairi bahkan menyebut proses kawin cerai sudah jadi hal biasa di Lombok. Mereka bahkan bisa tiga atau empat kali menikah.
"Anehnya, orang tua memaksa mereka menikah tapi ketika cerai tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Khairi.
Upaya mencegah pernikahan diniMelihat fenomena itu, Khairi bergabung membentuk Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD) yang diinisiasi Plan Internasional pada 2016 lalu. Khairi yang menjadi ketua LPAD bergerak mendekati tokoh adat dan masyarakat untuk memberikan edukasi adat yang dianut bukan adat yang positif.
Kegigihan Khairi lambat laun mulai membuat masyarakat sadae.
"Kami bergerak dengan mediasi antara keluarga laki-laki dan perempuan. Hasilnya sembilan dari 25 kasus bisa selesai dan mereka melanjutkan sekolah. Ini suatu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh kami dulu," tutur Khairi.
Khairi juga mulai membuat peraturan Awig-awig, peraturan adat yang selama ini tidak tertulis agar dapat menjadi pedoman yang baik.
(rah)