Jakarta, CNN Indonesia -- Tiap individu memiliki kemampuan kognitif yang unik. Tidak bisa hanya dikategorikan sebagai pintar dan bodoh, karena tiap orang punya kekuatan dan kelemahan di area kognitifnya masing-masing.
Namun, hingga kini cara kebanyakan orang menilai keberhasilan anak dalam pendidikan masih dinilai terlalu kaku. Persepsi orang mengenai kecerdasan kerap terlalu berorientasi pada skor, nilai, atau tes-tes kognitif yang sudah tua.
Hal ini diungkap Dosen Fakultas Psikologi UGM Retno Suhapti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita memakai alat-alat [ukur kognitif] yang sudah tua selama ini, dan itu juga yang dipakai di dalam kelas-kelas psikologi. Kita mempunyai banyak masalah dengan itu," kata Retno di Annex Building, Jakarta Selatan, Jumat (6/4).
Selain itu, alat tes kognitif yang saat ini dipakai di Indonesia juga berdasar pada hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri. Retno menyatakan terdapat bagian-bagian tes yang tidak relevan dengan konteks keseharian pelajar yang tinggal di lingkungan dan budaya Indonesia.
Retno menjelaskan persepsi yang terlalu kaku mengenai kecerdasan dapat menyebabkan kegagalan dalam memahami cara tiap individu belajar dan berpikir. Hal inilah yang terjadi pada sekolah-sekolah di Indonesia. Sekolah, kata dia, sejauh ini masih tidak mampu mengidentifikasi kebutuhan belajar unik tiap-tiap individu.
Akibatnya, sekolah tidak dapat memberikan metode belajar yang sesuai.
Sebuah studi yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan menyebut sebanyak 15,3 persen pelajar di Indonesia memiliki kemungkinan hambatan belajar dan kebutuhan edukasi khusus.
Untuk itu, Retno dan tim akademisi lain dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama PT Melintas Cakrawala Indonesia melakukan riset khusus selama 5 tahun untuk memetakan kondisi dan kebutuhan kognitif pelajar di Indonesia.
Dalam riset tersebut, tim peneliti mengamati 4.839 pelajar Indonesia dengan rentang usia 5 hingga 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menjadi dasar untuk tes kognitif baru yang khusus mereka buat untuk pelajar Indonesia.
Tes kognitif yang bernama '
AJT Cognitive Test Battery' ini nantinya akan mengukur kecerdasan anak dari 8 aspek yaitu
fluid intelligence, working memory, long-term storage, long-term retrieval, processing speed, comprehension knowledge, visual processing, dan
auditory processing.Pembuatan tes ini juga mengacu pada teori kecerdasan
Catell-Horn-Carroll (CHC) yang dikembangkan psikolog Raymond Cattell, John Horn dan John Carroll. Teori CHC ini kemudian dikembangkan lagi oleh psikolog Kevin McGrew pada 1990-an.
Menurut McGrew, teori CHC merupakan teori kecerdasan yang paling komprehensif hingga saat ini, yang didasarkan pada riset selama berpuluh-puluh tahun.
Hasil yang diberikan tes kognitif AJT ini bukanlah satu skor yang mencakup keseluruhan kemampuan kognitif, seperti tes IQ. Namun, AJT akan menunjukkan bidang-bidang kognitif yang menjadi kekuatan atau kelemahan seorang individu.
Dari hasil tes tersebut, orangtua, guru, maupun psikolog bisa memberikan kebutuhan edukasi yang sesuai dengan kemampuan kognitif masing-masing pelajar, agar potensinya bisa teroptimalisasi.
"Yang dilihat itu nanti bukan apa anaknya cerdas atau tidak, tapi dengan kemampuan anak seperti ini, apa yang bisa dikembangkan? Jadi dia belajar sesuai kemampuan kognitif diri sendiri," ujar Retno.
Tes kognitif AJT ini diperuntukkan bagi individu yang berusia 5 hingga 18 tahun. Bagi orang tua yang melihat anaknya mengalami kesulitan belajar, McGrew menyarankan untuk segera menganalisis masalah tersebut dengan tes kognitif AJT ini.
"Ketika banyak hal telah dilakukan namun anak tidak ada perkembangan, berarti ada yang salah dengan metode pembelajaran yang saat ini dilakukan. Lebih baik gali lebih dalam," kata McGrew.
(ast/rah)