Jakarta, CNN Indonesia -- Satu hal yang diingat Mike (bukan nama sebenarnya) tentang Jalan Jaksa ialah warteg. Pria asal Australia ini mengaku terkesan dengan keramahan sang ibu pemilik warteg yang sering mengajaknya berbincang walau tak mengerti bahasa Inggris.
Jadi setiap hari Mike datang untuk makan dan sang ibu melayani, mereka berbincang dengan "bahasa Tarzan," terkadang Inggris, terkadang Indonesia, dan lebih sering bahasa tubuh.
"Ia selalu tahu saya datang untuk memesan nasi rames dan teh manis. Sebelum dan setelah makan ia selalu mengajak saya berbincang. Ia bahkan menjuluki saya Mister Orek," kata Mike yang dilanjuti tawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari warteg itu saya merasakan betul kalau orang Indonesia benar-benar ramah terhadap pendatang," lanjutnya.
Mike datang ke Jalan Jaksa dalam rangka gap year--masa libur sekolah, sekitar tahun 2010. Setelah dua minggu berada di sana, ia melanjutkan liburannya ke Bali, lalu pulang ke Australia.
Selang beberapa tahun kemudian Mike kembali menjejakkan kaki di Indonesia dan berkarier sebagai konsultan di perusahaan teknologi.
Kantornya berada di kawasan Thamrin, tak berada jauh dengan Jalan Jaksa. Beberapa kali Mike tak sengaja melewati kawasan tersebut, tapi ia tak lagi menemukan warteg dan pemiliknya.
Keramaian Jalan Jaksa berganti dengan riuhnya papan tanda 'Rumah Ini Dijual'.
Pedagang kaki lima punahHelmi, pemilik Memories Cafe, bar dan restoran legendaris di Jalan Jaksa, mengaku sedih melihat nasib kawasan tempat usahanya sekarang.
Saat diwawancara oleh CNNIndonesia.com pada pekan lalu, ia mengatakan bahwa penertiban pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu alasannya.
"Sebenarnya sudah ada audiensi dengan Pemprov DKI Jakarta terkait PKL yang menyarankan untuk membuat Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Tapi rencana tersebut tidak jalan karena warga setempat mengaku tak punya modal," kata Helmi dengan nada kecewa.
"Padahal merasakan makan di kaki lima merupakan salah satu pengalaman unik yang ditawarkan Jalan Jaksa. Para bule kan senang merasakan hal yang tak dirasakan di negaranya," lanjutnya.
Terkait bisnis utama di Jalan Jaksa, yaitu tempat penginapan, Helmi mengatakan bahwa nasibnya juga tidak jauh berbeda dengan tempat makan.
Sekitar 80 persen tempat penginapan yang banyak bermunculan sejak tahun 1960-an dikatakannya sudah banyak yang gulung tikar akibat kekurangan tamu.
Padahal di kawasan sekitar, seperti Tanah Abang, Jalan Sabang, Menteng dan Cikini, sejak beberapa tahun mulai disesaki oleh hotel dan hostel. Bahkan ada hotel jaringan Marriott di Menteng.
Kembali lagi, urusan keramaian menjadi faktor tak ada lagi turis mancanegara yang mau singgah di Jalan Jaksa.
Helmi memprediksi bahwa perlu waktu sekitar empat tahun ke depan untuk kembali menghidupkan pamor Jalan Jaksa.
Itupun, ia menambahkan, dengan syarat peraturan harus dibuat seperti dulu lagi.
"PKL dihidupkan lagi, penginapan dibuat dengan konsep hotel atau hostel, bukan lagi homestay," kata Helmi.
"Walau sudah banyak destinasi wisata lain di Indonesia, tapi saya yakin Jalan Jaksa dengan konsep demikian bisa kembali membuat turis tertarik untuk datang," pungkasnya.
(ard)