Jakarta, CNN Indonesia -- Tak bisa dipungkiri, eksploitasi ekonomi dan seks pada anak-anak masih menjadi salah satu persoalan utama di
Hari Anak Nasional.
Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli,
CNNIndonesia.com menampilkan realitas anak-anak pekerja seksual atau dikenal dengan istilah anak yang dilacurkan (AYLA) pada anak perempuan dan laki-laki.
M (16), bukan nama sebenarnya, menjadi AYLA lantaran salah pergaulan dan dipicu himpitan ekonomi. Perempuan kelahiran 2001 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang dibesarkan di Kota Bandung. Sang Ibu tak bekerja, sedangkan Ayahnya seorang buruh bangunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya, M menjadi AYLA karena sudah tidak perawan. Dia pertama kali melepas keperawanannya ketika berusia 14 tahun dengan pacarnya saat itu. Pada saat itu, M duduk di kelas 8 SMP.
Seorang kawan yang mengetahui M sudah tak lagi perawan, mulai menawarkan beberapa pekerjaan malam kepadanya seperti menemani karaoke. Iming-iming uang membuat M menerima pekerjaan itu.
M biasa mendapatkan pekerjaan itu melalui pesan singkat via SMS.
"Dulu belum ada WhatsApp. Isi SMS-nya pertama kali nanya, 'Suka karaoke enggak? Ada
gadun lagi mau karaoke. Kakak enggak bisa temenin?'," tutur M saat bercerita dengan
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
M menyetujui pekerjaan itu asalkan diantar ke lokasi dan dikembalikan tak jauh dari rumahnya. Setiap bekerja, M mengaku hanya mengenakan baju biasa agar orang yang melihat tak curiga.
"Pakai baju biasa aja, jadi orang ngeliatnya kayak pacar, adik kakak, atau anak sama bapaknya," ucap M.
Selama karaoke, M bertugas menemani tamu, ikut bernyanyi dan minum-minum. Biasanya, M menemani beberapa tamu dengan beberapa AYLA lainnya.
"Kalau karaoke, misalkan ada yang pegang-pegang kami pasrah. Enggak bisa gimana-gimana, kalau udah mau selesai jamnya baru dikasih uang," ujar M.
Selama satu jam menemani tamu, M mendapatkan bayaran sebesar Rp100 ribu.
Jika membutuhkan uang dalam jumlah banyak, M menerima tawaran Booking Order (BO) atau berhubungan seksual dengan tamu.
Hubungan itu biasanya dilakukan di apartemen yang sudah disewa terlebih dahulu.
"Enggak terlalu sering sih. Kalau lagi butuh uang. Kalau ada cuma Rp500 ribu atau Rp300 ribu atau Rp200 ribu kalau kepepet diterima juga," kata M.
Dia mengaku melayani beragam tamu dari berbagai kalangan dan rentang usia. Saat berhubungan, biasanya para tamu menolak menggunakan pengaman. Namun, akhir-akhir ini M hanya menerima tamu yang mau memakai pengaman.
Selama hampir dua tahun menjadi AYLA, M mengaku tak pernah menikmati pekerjaan yang dijalaninya.
"Enggak ada yang dirasain kalo sama tamu mah, nafsu aja enggak ada," ucap M.
Menjadi AYLA membuat M meninggalkan sekolahnya saat duduk di bangku SMK. Kini, dia tergabung dalam AYLA binaan Program Peduli dari Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia.
Dalam program itu, M mendapatkan seorang pendamping yang bertugas untuk melindungi, mengadvokasi, serta membuka akses layanan terhadap hak anak. M kini mendapatkan pembinaan dan pendampingan untuk tidak lagi menjadi AYLA.
Meski belum sepenuhnya berhenti, M mengaku bertekad bisa lepas dari AYLA. Dia juga ingin mengajak teman-temannya bisa berhenti menjadi AYLA. M berkeinginan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Kegiatan malam itu sekarang udah enggak. Sekarang juga niatnya sudah mau kerja sama berkarier di KAP," kata M.
Selama bergabung dalam anak binaan Program Peduli, M banyak mendapatkan arahan untuk lepas dari jerat AYLA. M memperoleh binaan mulai dari dari pencegahan, penanganan dan pemulihan.
Salah satu pendamping, S (bukan nama sebenarnya) mengaku membina M secara perlahan.
"Kami pelan-pelan, kalau langsung masuk ke persoalan soal seks misalnya, bukannya menerima atau nyaman malah akan kabur. Pelan-pelan kami mengarahkan supaya jangan terjerumus," kata S.
Hasilnya, kini M dipercaya menjadi salah satu anak yang dapat mengadvokasi teman-temannya yang lain. M juga menjadi salah satu anak yang berkesempatan berbincang dengan Presiden Joko Widodo di peringatan puncak Hari Anak Nasional 2018 di Pasuruan, Jawa Timur (23/7).
(agr)