Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam sebuah acara Global UNWTO Summit on Urban Tourism yang ketujuh, di Seoul,
Korea Selatan, pertengahan Oktober 2018, Sekretaris Jenderal Organisasi Pariwisata Dunia (
UNWTO), Zurab Pololikashvili, menyinggung soal menghormati warga lokal, tradisi, dan etika setempat terkait konsep
pariwisata urban.
Selain memperkuat unsur teknologi dan inovasi, ia menuturkan sebaiknya kota mampu menghadirkan aktivitas wisata yang berujung pada pengalaman tidak terlupakan.
Tak hanya itu, UNWTO juga telah lama mengimbau kepada pelaku industri wisata agar menyediakan fasilitas dan layanan lebih layak kepada turis difabel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekertaris Jendral PBB, Ban Ki-moon, dalam sambutannya pada Hari Pariwisata Dunia 2016 juga mengatakan kalau turis difabel juga memiliki hak untuk menikmati fasilitas dan layanan wisata yang layak.
UNWTO juga telah mencetuskan 'Agenda for Global Action' pada 2011.
Salah satu poin dalam rencana pengembangan tersebut ialah mengembangkan pariwisata yang aman, berkelanjutan dan nyaman untuk semua kalangan.
Tak cuma fasilitas umum untuk kaum difabel, UNWTO juga mengajak seluruh pelaku industri wisata dunia untuk menyediakan petugas pelayanan khusus demi membantu kaum difabel beserta keluarga atau rekannya dalam bepergian.
Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, pemerintah Indonesia juga terkesan fokus tentang aspek ramah kaum difabel dalam ranah pembangunan.
Bahkan Kementerian Sosial akan menyiapkan panduan penyediaan fasilitas umum ramah difabel, dengan mengadopsi model terbaik di dunia dengan tetap memperhatikan kearifan lokal.
Salah satu fasilitas umum untuk difabel yang sering ditemui di Jakarta dan kota-kota besar Indonesia ialah
guiding block, atau ubin dengan ulir berwarna kuning yang disusun sejajar demi menunjukkan arah bagi tuna netra.
Tapi di beberapa kawasan, seperti di Kuningan, Jakarta Selatan, banyak
guiding block yang dibangun seadanya. Bahkan ada yang terhalang oleh pohon atau tiang listrik.
Tak hanya itu saja, faktor kurangnya informasi cara membantu menyebabkan tindakan abai terhadap kaum difabel yang sebenarnya sedang butuh dibantu.
"Kaum tuna netra itu sebenarnya jauh lebih sensitif perasaannya. Mereka sering sedih kalau tahu di sekitarnya ada orang, tapi
dicuekin saat sedang kesusahan. Contohnya saat mereka mau menyeberang," ujar salah seorang pengurus Bioskop Bisik, Rheismania Siti Pratiwi, saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, beberapa hari lalu.
"Tapi mungkin orang-orang itu segan berkomunikasi, karena takut menyakiti perasaan kaum difabel. Ini adalah perkara bagaimana cara berkomunikasi dan menghormati."
Bioskop Bisik adalah sebuah wadah interaksi untuk tuna netra dengan masyarakat umum, melalui medium film.
Biasanya seorang tuna netra akan didampingi seorang relawan saat pertunjukan film berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar deskripsi tiap adegan bisa tersampaikan dengan baik.
Sementara itu seorang pengurus Bioskop Harewos, Nita Hidayati, menyinggung masih banyaknya pekerjaan rumah terkait fasilitas untuk kaum difabel yang harus diselesaikan.
"Kalau bicara yang harus dibenahi mungkin banyak yah. Tapi kami rasa itu bisa dilakukan dari hal-hal kecil, misalnya fasilitas umum yang ramah difabel dan menjadi teman yg baik untuk sahabat difabel," kata Nita, saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, beberapa hari lalu.
Layaknya Bioskop Bisik, Bioskop Harewos juga menggunakan film sebagai medium untuk berinteraksi dengan para tuna netra khususnya di kota Bandung.
(agr/ard)