Mengenyahkan Limbah Wisata dari Kawasan Urban

Tim | CNN Indonesia
Senin, 22 Okt 2018 14:36 WIB
Pencemaran alam adalah 'buah' dari kegiatan wisata yang tak bertanggung jawab.
Ilustrasi. (Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hingga hari ini sampah merupakan salah satu pekerjaan rumah besar, sekaligus momok bagi sektor pariwisata dunia.

Sejumlah destinasi wisata alam seperti Pantai Kuta di Bali dan Ko Phi Phi Leh di Thailand, terpaksa sirna keindahannya akibat sampah yang berserakan di pesisir pantai.

Pencemaran alam ini tak lain merupakan buah dari kegiatan wisata yang tak bertanggung jawab. Pada umumnya, angka wisatawan yang tinggi akan melahirkan limbah yang juga tinggi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti yang dikutip dari CNBC, sejak tahun 1950 seluruh masyarakat dunia telah mengakumulasi setidaknya sembilan miliyar ton plastik. Namun hanya sembilan persen yang berhasil di daur ulang.

Tak hanya itu, laut lepas pun kerap terdampak karena dijadikan tempat pembuangan akhir.

"Sebanyak 80 persen sampah plastik yang ada di lautan berasal dari daratan. Melihat hal tersebut, upaya yang harus kita lakukan memang harus dari diri sendiri, enggak bisa hanya mengandalkan pemerintahan atau perusahaan besar saja," tutur Dr. Abdul W. Situmorang dari UNDP Indonesia ketika berbicara di acara Social Summit 2018, Sabtu (20/10).

Hal tersebut melahirkan pertanyaan, tentang masyarakat bebas sampah atau melihat kemungkinan kegiatan wisata yang bebas dari sampah.

Guna menjawab pertanyaan tersebut, Adi Wibowo bersama LabTanya menciptakan program eksperimen Kota Tanpa Sampah. Program tersebut diharapkan sebagai jawaban masa depan tanpa sampah.

Kota Tanpa Sampah ibarat kota sebagai rumah besar, di mana masyarakatnya sebagai penghuninya dituntut untuk mengelola dan merawatnya bersama.

Melalui riset dan eksperimen yang dilakukan secara bertahap, Kota Tanpa Sampah menemukan pencerahan bahwa sampah tidak bisa dilihat sebagai pokok permasalahan, melainkan sebagai indikator penilaian masalah.

Strategi 'pintu depan, tengah dan belakang' dinilai sebagai upaya ideal dalam memangkas angka produksi sampah.

Strategi 'pintu depan' dilakukan dengan mengurangi pengguaan benda-benda berisiko sampah tinggi, seperti berkemasan plastik.

Kemudian strategi 'pintu tengah' dilakukan dengan memastikan tindakan produksi dan konsumi, terjadi dengan perhitungan sehingga tidak menghasilkan sisa yang tidak perlu.

Sedangkan strategi 'pintu belakang' dapat dilakukan dengan pengololaan sisa konsumsi dengan baik, seperti melakukan upaya daur ulang.

Hal tersebut tentunya tak hanya patut dilakukan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, namun juga ketika berwisata.

Untuk mengurangi produksi sampah yang berlebihan ketika berwisata, tindakan pengurangan sampah sudah harus dilakukan sebelum kegiatan wisata dimulai.

Ketika menyiapkan barang bawaan, pastikan untuk membawa botol minum, tas kanvas, serbet kain atau wadah lainnya dari rumah.

Di tengah wisata, usahakan untuk berbelanja secukupnya, sehingga sisa konsumsi produk yang dihasilkan dapat diminimalisir.

Dan di akhir penggunaan, pastikan untuk mengelola sisa produksi dengan baik. Pisahkan sampah organik dan anorganik pada tempatnya.

"Tindak pemilahan sampah yang tidak baik juga jadi salah satu permalasahan. Akibatnya ketika dibawa ke pembuangan terakhir, sampah plastik jadi mengkontaminasi sampah organik, sehingga harus diayak terlebih dahulu sebelum diproses," ungkap Mariana Chandra, selaku pendiri TeloBag.

TeloBag merupakan inovasi alternatif tas plastik keluaran Indonesia yang terbuat dari bahan baku alami Singkong. (fey/agr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER