Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut total penurunan lahan sawah mencapai 500 hektare per tahun, khusus di Kabupaten Karangasem selama 2011-2016, 12 hektare sawah telah beralih fungsi menjadi lahan nonsawah.
Sementara itu, di Kota Denpasar, luas sawah pada awal 2018 tersisa 2.444 hektare, menyusut sekitar 20 hektare dari jumlahnya pada 2017 sebanyak 2.464 hektare.
Peneliti yang tengah mendalami Tari Sang Hyang Dedari dari Universitas Indonesia, L.G. Saraswati Putri mengatakan alih fungsi lahan pertanian tidak hanya mengubah kontur alam, tetapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali.
"Saya sempat menemui seorang maestro Tari Bali, Ni Ketut Arini di studionya di Denpasar. Ia dulu menyebut Tari Sang Hyang Dedari dulu sempat ditarikan di beberapa banjar di Denpasar, saat itu pula, kota masih dipenuhi banyak sawah. Namun di saat sawahnya menghilang, tariannya pun punah," sebut Saraswati saat ditemui di Jakarta pada November.
Kesaksian dari Ni Ketut Arini, menurut Saraswati, bermakna bahwa tiap aspek kehidupan masyarakat Bali saling terkait satu dengan yang lain.
Alhasil, apabila alam dirusak demi kepentingan pembangunan--yang keuntungannya dinikmati hanya oleh segelintir pemodal, imbasnya tidak hanya kekayaan budaya tari-tarian asli Pulau Bali terancam punah.
Akan tetapi juga ketidakseimbangan itu rentan memicu konflik horizontal antarmasyarakat.
Tantangan Melestarikan
Bertahan dengan cara hidup yang meninggikan keselarasan, sebagaimana dipraktikkan masyarakat Geriana Kauh menjadi tantangan tersendiri bagi warga desa, terlebih di tengah desakan industri pariwisata massal di Pulau Bali.
Industri pariwisata yang saat ini dipraktikkan di Pulau Bali hanya punya satu tujuan, meningkatkan jumlah kunjungan, menambah infrastruktur yang menunjang kenyamanan turis, walaupun harus mengorbankan kehidupan warga desa yang bergantung dengan lestarinya sawah, hutan, dan teluk.
Di tengah desakan itu, sekelompok pengabdi masyarakat dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DPRM) Universitas Indonesia menginisiasi rangkaian program yang bertujuan membantu masyarakat Desa Adat Geriana Kauh mempertahankan identitasnya sebagai Desa Budaya yang masih mempraktikkan cara-cara hidup berkelanjutan.
Di bawah pimpinan Saraswati sebagai pengabdi utama, sejak 2015, tim peneliti dari DRPM UI telah melakukan upaya pendokumentasian budaya, khususnya Tari Sang Hyang Dedari, dalam sebuah museum.
Museum, menurut Saraswati, merupakan langkah awal untuk menguatkan identitas Desa Geriana Kauh sebagai desa budaya.
Ia berpendapat, museum tidak hanya menjadi pusat dokumentasi dan kajian Tari Sang Hyang Dedari, tetapi sebagai infrastruktur awal pengembangan pariwisata berkelanjutan atau ekowisata (sustainable tourism) di Desa Adat Geriana Kauh.
Sejalan dengan misi itu, tim DRPM UI pada 2018 telah melakukan pelatihan mengenai ekowisata desa, pengenalan pemuliaan benih dan permakultur, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Desa Adat Geriana Kauh.
"Pelatihan pertama diselenggarakan pada 30 Juni 2018 di Dusun Geriana Kauh terkait dengan pembekalan mengenai ekowisata desa, khususnya pengelolaan penginapan berbasiskan desa seperti homestay," sebut Saraswati.
Pada 14 Agustus, pihaknya bermitra dengan Yayasan IDEP menyelenggarakan pelatihan mengenai permakultur dan pemuliaan benih terhadap warga desa.
Melalui pelatihan tersebut, pihaknya membantu upaya yang telah dilakukan masyarakat Desa Adat Geriana Kauh untuk menguatkan tradisi agraris serta tradisi pertanian organik yang telah berlangsung turun-temurun selama ratusan tahun.
Pelatihan tersebut merupakan program jangka panjang yang akan terus dilanjutkan hingga tahun-tahun berikutnya.
Misalnya pada 2019, fokus tim DRPM UI memperkuat potensi pertanian organik dan eksplorasi komoditas unggulan di Desa Adat Geriana Kauh, seperti Padi Masa, Salak Madu, dan Bunga Gumitir.
Program tersebut tidak lepas dari kesadaran terhadap pentingnya usaha masyarakat untuk menyelami hidup yang selaras dengan alam
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT