Jakarta, CNN Indonesia --
Jepang sudah lama punya hubungan buruk dengan budaya
tato. Menjelang gelaran Olimpiade Tokyo 2020, duri antara Jepang dan budaya tato kian tajam.
Orang-orang bertato dilarang masuk ke kolam renang umum, tempat pemandian umum, pantai, dan sejumlah pusat kebugaran. Tato juga dianggap sebagai ancaman bagi dunia kerja.
"Cara Jepang melakukan diskriminasi terhadap orang-orang bertato ini menyedihkan, ujar Mana Izumi (29), seorang perempuan Jepang dengan tato di tubuhnya, sebagaimana diberitakan
AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang-orang mungkin berpikir bahwa saya jahat dan menakutkan," kata Izumi sembari memperlihatkan tato tengkorak Aztec senilai US$500 di kakinya. "Tapi aku tak menyesal telah menato tubuhku."
Izumi mendapatkan tato pertamanya saat usianya menginjak 18 tahun. Tak berniat mendobrak tabu, dia hanya menyontek diva pop Jepang kala itu.
 Ilustrasi tato. (AFP PHOTO / Daniel ROLAND) |
Sang ibu menangis saat pertama kali melihat tato di tubuh Izumi. "Saya pikir dia (ibu) akan membunuh saya. Tapi saya suka menjadi sedikit berbeda," katanya.
Di Jepang, selama berabad-abad tato telah dipandang negatif. Masyarakat Jepang mengidentikkan tato dengan penjahat.
Duri ini dimulai pada abad ke-17, saat tubuh penjahat-penjahat Jepang dipenuhi tato. Belum lagi mafia Yakuza yang menjanjikan kesetiaan mereka dengan tato 'irezumi' yang memenuhi tubuhnya.
Brian Ashcraft, penulis
Japanese Tattoos: History, Culture, Design, menulis bahwa duri ini berhubungan dengan sikap paranoid orang-orang Jepang terhadap pandangan negatif. "Saat Jepang membuka diri ke dunia luar pada 1800-an, mereka takut orang luar akan memandangnya 'primitif'," tulisnya.
Pada saat yang sama, bangsawan Eropa akan datang ke Jepang untuk diam-diam membuat tato, suatu hal yang sangat didambakan seniman-seniman tato Negeri Sakura itu.
Larangan bertato itu berlangsung hingga 1948. Namun, stigma buruk tato tetap menempel di Jepang.
"Melihat tato sama berarti dengan melihat yakuza, bukan mengagumi keindahan bentuk seni," kata Ashcraft. "Tato akan terus berada di zona abu-abu."
Sikap tak semena-mena pihak berwenang Jepang membuat industri tato terjebak dalam kebingungan.
Baru-baru ini, seorang seniman tato, Osaka Taiki Masuda, ditangkap karena dinilai melanggar aturan. Wanita 30 tahun itu didenda US$2.600 atau sekitar Rp38 juta karena dituduh melakukan prosedur medis secara ilegal.
Undang-Undang Praktisi Medis di Jepang melarang orang lain, selain dokter, melakukan prosedur medis. Sementara pemerintah mengkategorikan tato sebagai pekerjaan medis karena melibatkan penggunaan jarum di dalamnya. Tak ayal, berbagai beleid itu pun berhasil mengkriminalisasi pekerjaan Masuda.
Bulan November lalu, Masuda mengajukan banding. Pengadilan membatalkan putusan bersalah atas Masuda.
"Tidak ada kerangka hukum yang mengatur industri tato di Jepang. Mata pencaharian dipertaruhkan, itulah mengapa saya melawan, semoga tato bisa dilegalkan," ujar Masuda.
Noriyuki Katsuta, anggota Save Tattooing in Japan--organisasi yang mendorong pelegalan tato di Jepang--menyebut bahwa penangkapan Masuda sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, sejumlah seniman senior justru menolak gagasan tersebut. Mereka menolak jika seniman tato harus menjadi profesi yang sah dan diakui. Mereka menganggap hal tersebut hanya bakal memperuncing masalah.
"Ini seperti menambahkan lada ke satu mangkuk mi. Jika Anda hanya makan lada, itu terlalu pedas. Tapi jika lada itu hanya bumbu, itu menambah rasa," ujar Katsuta.
Katsuta memperkirakan, ada sekitar 500 ribu hingga 1 juta orang bertato di Jepang. Angka itu kira-kira sama seperti 1 dari setiap 100 orang di Jepang memiliki tato di tubuh.
Duri antara Jepang dan budaya tato bakal diuji pada Olimpiade Tokyo dua tahun mendatang. Gelaran itu jelas bakal membawa orang asing masuk ke Jepang, termasuk sejumlah atlet dengan tato di tubuhnya.
"Saya tidak tahu sebagaimana bisa Olimpiade Tokyo bisa mengubah pandangan Jepang terhadap tato. Ketika mereka (orang-orang Jepang) melihat orang asing bertato, maka mereka akan melihatnya sebagai budaya asing," jelas Ashchraft.
(asr/asr/asr)