Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pariwisata Arief Yahya blak-blakan mengenai pariwisata Indonesia di salah satu radio swasta. Dalam kesempatan itu, Arief meyakini pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar Indonesia.
"Jangan-jangan di tahun 2018 sudah. Jangan-jangan! Semoga ya," ujar Menpar Arief Yahya sambil tersenyum semringah.
Menurut Arief, pariwisata Indonesia terus meroket tajam. Pada 2017 misalnya,
The Telegraph menempatkan Indonesia dalam Top-20 Fastest Growing Tourism Industry in the World.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan di 2018 World Travel & Tourism Council (WTTC) menempatkan Indonesia di posisi ke-9 negara dengan pertumbuhan wisman tercepat di dunia.
Kunjungan Wisman ke Indonesia tumbuh 22 persen. Angka tersebut berarti tiga kali lipat dibanding rata-rata pertumbuhan regional Asia Tenggara sebesar 7 persen. Bahkan pertumbuhan dunia saja hanya mencapai 6 persen.
Bukan itu saja, indeks daya saing Pariwisata Indonesia pun ikut terdongkrak. Dari peringkat 70 dunia di tahun 2013, meroket ke posisi 42 besar di 2017.
Pariwisata Indonesia juga memperoleh berbagai prestasi dunia. Pada 2016, Kemenpar memperoleh 46 penghargaan dunia. Di 2017, Kemenpar memperoleh 27 penghargaan dunia, sedangkan di 2018 memperoleh 66 penghargaan.
"Bukan hanya penghasil devisa terbesar, tetapi juga menjadi yang terbaik. Pariwisata kita sudah diakui dunia. Salah satu buktinya, Kemenpar terpilih sebagai The Best Ministry Of Tourism atau Best National Tourism Organization (NTO) se-Asia Pasifik di ajang TTG Travel Awards 2018," ujar Menteri asal Banyuwangi itu.
Ketika ditanya apa yang membuat pariwisata Indonesia itu bisa begitu hebat dan melesat, ia menjawab salah satu faktor pendukungnya adalah keputusan Presiden Joko Widodo untuk menetapkan pariwisata sebagai sektor utama sekaligus
core perekonomian.
Dengan dukungan Presiden, tugas Kemenpar semakin mudah karena kementerian dan lembaga lain wajib mendukung seluruh percepatan.
"Contohnya 10 Bali Baru. Itu yang menetapkan Presiden. Jadi ketika kita membangun Danau Toba misalnya, otomatis PUPR menyiapkan jalannya. Demikian juga Kemenhub menyediakan bandaranya, menyediakan pelabuhannya. Itu otomatis. Maka dari itu pariwisata melejit menjadi sektor unggulan," ujarnya.
Namun, pertumbuhan pariwisata bukan tanpa hambatan. Arief mengatakan hantaman bencana yang terjadi di Tanah Air membuat target kunjungan wisman yang ditetapkan Kemenpar terganggu. Tahun 2017 kejadian erupsi Gunung Agung membuat angka kunjungan wisman melenceng sebanyak satu juta wisman.
Tahun 2018 malah lebih parah lagi. Ada erupsi Gunung Agung, kemudian hantaman gempa Lombok dan Palu. Deretan bencana ini membuat jatuh angka kunjungan wisman ke Indonesia. Karena dampaknya bukan saja terjadi di Lombok dan Palu, daerah lain pun ikut terdampak.
"Meskipun gempa hanya terjadi di satu titik di Indonesia, wisatawan mengira semua daerah di Indonesia juga terdampak. Bahkan Bali
impact-nya lebih besar lagi. Ini dengan mudah terlihat di bank data Kemenpar. Rata-rata kita kehilangan 1.000 kunjungan wisman atau 500 ribu wisman selama 5 bulan," paparnya.
Belum lagi musibah jatuhnya Lion Air. Menurut Arief, itu cukup memukul angka kunjungan wisman ke Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia ketika jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH370.
Kemudian muncul polemik
zero dollar tour wisman China. Padahal seperti diketahui, China merupakan penyumbang wisman terbesar ke Indonesia.
"Ada
bad news dan juga
good news-nya.
Bad news-nya angka kunjungan wisman di tahun 2018 tidak tercapai. Angkanya di kisaran 16 juta wisman dari target 17 kunjungan wisman.
Good news-nya devisanya masih bisa tercapai sekitar US$17 milliar. Karena
spending average per arrival atau rata-rata pengeluaran wisman adalah US$1.100. Jadi kalau dikalikan 16 juta wisman angkanya sekitar 17 miliar lebih. Tahun depan kita harus
speed up sehingga target tercapai," terang Arief.
(mle/egp)