Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik Brexit hingga saat ini rupanya juga mengancam sektor penerbangan sebagai garda depan dalam pariwisata. Pelancong dari seluruh dunia yang hendak menuju Inggris akan dihadapkan kesulitan.
Mengutip
NZ Herald pada Kamis (24/1), disebut setidaknya ada 5.000 penerbangan yang terancam gagal mendarat di Inggris pada tahun ini akibat keputusan negeri Ratu Elizabeth untuk hengkang dari Uni Eropa.
Salah satu pejabat Asosiasi Internasional Transportasi Udara (IATA), Alexandre de Juniac, menuturkan maskapai harus memberitahu penumpang mengenai dampak Brexit terhadap nasib penerbangan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika ada pembatalan penerbangan, maka uang pembelian tiket harus dikembalikan.
De Juniac juga menyebut kalau masalah Brexit yang tak berujung bakal mempengaruhi kenaikan harga tiket penerbangan ke Inggris.
Inggris adalah salah satu destinasi wisata yang paling digemari di dunia. Sepanjang tahun lalu, negara ini didatangi oleh 41,7 juta turis. Sementara itu Indonesia menyumbang sekitar 45 ribu turis per tahunnya.
Garuda Indonesia, maskapai pelat merah yang punya rute penerbangan London-Bali, mengaku belum merasakan dampak Brexit terhadap bisnisnya.
Menurutnya selama masih dalam koridor bisnis dan politik seperti Brexit, maka tidak ada masalah yang terlalu berarti, kecuali jika sudah mengarah ke ranah konflik seperti perang.
"Seluruh dunia itu mengacu pada aturan internasional jika terkait masalah lintas batas rute-rute penerbangan, karena jika sebuah pesawat melintasi suatu negara maka itu ada aturan dan tarifnya," ujar Vice President Corporate Secretary PT Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (25/1).
"(Masalah) Brexit ini kan konflik yang sifatnya politis, bukan yang perang yang bisa menganggu penerbangan secara umum."
Terkait informasi pembatalan penerbangan karena Brexit,
CNNIndonesia.com mencoba menghungi pihak situs pemesanan akomodasi Traveloka melalui sambungan telepon pada Jumat (25/1).
Namun Public Relation Manager Traveloka, Busyra Oryza, belum bisa memberikan komentar atas isu tersebut.
(agr/ard)