Semarang, CNN Indonesia -- Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB saat kelompok orkes dangdut melantunkan lagu yang berlirik syahdu namun bernada menggelinjang. Orang-orang terlihat berjoget riang dengan segelas Congyang di tangan. Semakin larut, pesta kian ramai. Senggol kanan kiri sudah biasa, tapi tetap terjaga.
Sebanyak 18 botol Congyang digelontorkan Risky malam itu, demi tradisi
melek bengi dalam rangkaian pernikahan pernikahannya.
Melek bengi adalah kebiasaan orang-orang Jawa Tengah untuk berkumpul semalam suntuk-atau bahkan beberapa malam-sebagai rangkaian sebuah pesta pernikahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan sembarang begadang,
melek bengi biasanya bertujuan untuk menemani keluarga empunya hajat, menjaga harta benda milik tuan rumah, menjauhkan pengantin dan keluarga dari hal-hal buruk, dan sebagai perwujudan rasa ikut gembira atas kebahagiaan keluarga.
Jika biasanya
melek bengi dilakukan pada malam
midodareni, tidak dengan Risky. Dia menggelarnya semalam suntuk setelah resepsi pernikahannya digelar di siang harinya.
Di beberapa desa di Semarang, minuman fermentasi tradisional Congyang kerap hadir menemani tradisi yang juga disebut
lek-lekan ini.
Saat bercengkerama dengan
CNNIndonesia.com di sebuah kafe di kawasan Pleburan, Semarang, pada awal Februari kemarin, Risky masih ingat huru-hara kebahagiaan pada tradisi
melek bengi atau
lek-lekan yang dilakoninya pada 2014 lalu.
"Senang karena bisa bikin teman senang. Kapan lagi, kan?" katanya.
Risky sendiri tak tahu betul kapan tepatnya Congyang mulai hadir dalam tradisi
lek-lekan. Yang jelas, kehadiran Congyang dalam agenda begadang semalam suntuk saat pesta pernikahan sudah menjadi hal yang lumrah di kampungnya.
Hampir mirip dengan Risky, Rayu (bukan nama sebenarnya) yang diwawancarai terpisah mengaku sebagai penggemar Congyang.
"Congyang rasanya spesial," kata Rayu saat ditemui di rumahnya di Semarang.
Rayu memang terlihat sebagai peminum peminum sejati, karena saat
CNNIndonesia.com bertandang ke rumahnya terlihat satu rak yang berisi botol minuman beralkohol impor. Namun tidak terlihat penampakan Congyang.
Sungkan dengan tamu, menjadi alasannya tak memamerkan minuman idolanya itu.
Sejarah dan Industri CongyangKetika dicoba, rasa Congyang manis di awal dan kecut di ujung, akibat fermentasi beras yang menjadi bahan utamanya. Sampai di perut, minuman ini terasa menghangatkan tubuh.
Mirip seperti fungsi
whisky, Congyang rasanya cocok ditenggak di hari yang dingin.
Lahir dari tangan dingin Koh Tiong di bilangan Wotgandul, kawasan Pecinan Semarang sejak sekitar 1980 silam, minuman fermentasi tradisional ini menjadi legenda di tengah kehidupan masyarakat kota.
Congyang terbuat dari fermentasi beras putih, yang dicampur dengan gula, spirit, dan aroma.
Setidaknya bahan-bahan di ataslah yang tertera dalam botol cilik-atau
tolik, warga Semarang menyebutnya-minuman Cap Tiga Orang itu.
Kehadiran minuman fermentasi beras ini tak lepas dari A Djong, minuman serupa pendahulunya.
Konon, Congyang adalah evolusi dari A Djong yang ramai di seantero kota pada era 1970-an. Lambat laut A Djong meredup, dan lahirlah Congyang.
Sebagai minuman yang lahir di kawasan Pecinan, beberapa menyebut Congyang sebagai salah satu produk akulturasi budaya Tionghoa di tanah Jawa.
[Gambas:Video CNN]Sebagaimana diketahui, Semarang merupakan salah satu kota dengan komunitas Tionghoa terbesar di Indonesia. Tak heran jika aroma akulturasi terasa di berbagai lini kehidupan masyarakat Semarang.
Kuliner, misalnya. Sebut saja lumpia Semarang yang tersohor itu. Rolade berisi rebung, telur, daging ayam, atau udang ini merupakan perkawinan cita rasa Tionghoa dan Jawa.
Namun, tak seperti lumpia yang berhasil menanamkan popularitasnya dengan kokoh, Congyang justru tersimpan dalam posisi yang rancu di hati masyarakat.
Mengaku gemar meminum Congyang bisa diartikan sebagai pemabuk yang menggemari keributan. Anggapan tersebut lahir karena banyak kabar penenggak A Djong sering terlibat perkelahian.
Kisah soal eksistensi Congyang masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Sebagai seorang 'asli' Semarang, Rayu bangga pada minuman yang lahir di kampung halamannya itu. Namun, ia punya alasan tak mengumbar kebanggaannya itu pada orang lain.
Rayu membandingkannya dengan posisi sake bagi rakyat Jepang. Orang Jepang yang meminum sake, kata dia, menegaskan identitas Jepang-nya yang kaya akan budaya. Tapi ini tak berlaku bagi Congyang.
"Kesannya buat mabuk aja. Kalau mau mabuk, mending minuman-minuman yang lain saja," ia bercerita seraya pelan-pelan menyesap sebotol bir yang digenggamnya.
Budayawan asal Semarang, Prie GS, menyebut Congyang sebagai produk akulturasi budaya yang belum sampai sepenuhnya ke hati masyarakat Semarang. Boleh jadi terputusnya akulturasi ini disebabkan oleh sindiran untuk para peminum A Djong yang kadung mengakar di masyarakat.
Ndoyong (mabuk) A Djong, demikian olok-olok yang biasa dilontarkan pada orang-orang berperilaku slebor dan tak karuan akibat mabuk. Stigma ini lah yang memutus sebaran Congyang sebagai minuman yang mengakar pada tradisi Tionghoa-Jawa di Semarang
Prie membandingkannya dengan Ciu, minuman beralkohol tradisional asal Sukoharjo. Ciu diproduksi dalam skala rumahan dan secara turun temurun dipertahankan oleh generasi penerus di Bekonang.
Ciu tersohor karena kekuatan tradisi yang mengakar di masyarakat Soloraya sejak masa lampau. Tradisi itu membuat Ciu identik sebagai minuman yang bersifat kultural.
"Tapi Congyang itu sudah bukan kultural bagi masyarakat Semarang," ujar Prie.
Sejak awal, Congyang lahir sebagai produk industri. Distribusi Congyang pada awalnya dikemas menggunakan besek yang terbuat dari bambu. Di dalamnya ada pengaman yang terbuat dari
dami atau pohon padi yang dikeringkan demi menjaga botol agar tidak mudah pecah.
"Sejak awal, Congyang sudah memiliki watak industri, bukan watak tradisi," kata Prie. Ia diproduksi secara masif demi memenuhi skala masal. "Rasa kulturnya pun pasti sudah beda."
Ditambah lagi dengan watak puritan masyarakat Semarang yang masih berpegang teguh pada falsafah 'molimo'. Falsafah yang mulanya tertera dalam Serat Ma Lima (1903) ini mengatur tata laku masyarakat Jawa. Ajaran-ajaran itu di antaranya
moh madhat (tidak mau narkoba atau candu),
moh madhon (tidak main perempuan),
moh mendem (tidak mabuk-mabukan),
moh maling (tidak mencuri), dan
moh main (tidak berjudi).
Tak Sembarang DijualLahir sejak sekitar 1980 silam, bisnis Congyang kian melaju. Sebagai minuman yang mengandung alkohol, Congyang telah resmi mendapatkan izin Bea Cukai sejak 2005 lalu. Izin ini tertera di atas tutup botol yang dilengkapi oleh izin dari BPOM RI.
Produksi Congyang kini dibatasi setiap hari sebanyak 1.000 dus. Setiap dua berisikan 24 botol cilik. Kemasan dus kemudian diedarkan melalui distributor ke sejumlah agen yang ditunjuk pabrik.
"Pendistribusian kami [Congyang] tertata dan rapi," ujar salah seorang distributor Congyang, Seno, pada CNNIndonesia.com seraya menunjukkan setumpuk surat pengiriman kemasan dus yang baru saja didapatnya.
Wilayah edar Congyang pun terbatas di Semarang Raya. Sisi barat terbatas pada wilayah Mangkang, wilayah Mranggen Demak si sisi timur, dan Banyumanik di bagian selatan. "Biasanya di warung-warung tradisional," kata Seno.
Jikapun terjual di luar wilayah yang disebutkan, seperti Bandungan misalnya, itu adalah Congyang yang sengaja distok oleh penjual. Satu botol kecil Congyang dijual dengan harga eceran sebesar Rp35 ribu dengan kandungan 19 persen alkohol di dalamnya.
Dari agen, minuman Congyang diambil oleh penjual-penjual kecil. "Tapi itu juga enggak bisa dijual sembarangan," kata Seno. Congyang tak boleh diminum di tempat, tapi harus dibawa pulang.
Pabrik menerapkan beberapa standar atau aturan penjualan. Di antaranya tak boleh diminum di tempat, tak boleh berdekatan dengan rumah ibadah, tak boleh berdekatan dengan sekolah, dan beberapa lainnya.
"Aturannya ketat, kalau dilanggar, ya ditarik," kata Seno.
Aturan boleh saja dibuat. Namun, praktik di lapangan tak melulu patuh pada aturan. Sejumlah tempat justru memperbolehkan konsumen untuk menenggak Congyang di tempat tanpa sungkan.
Tengok saja salah satu kedai swike di kawasan Pleburan, Semarang. Kedai itu menjajakan Congyang sebagai salah satu pilihan minuman beralkohol. Tak ubahnya warung remang-remang, dari luar kedai itu tampak tertutup, yang nampak hanya pancaran sinar kekuningan dari lampu temaram yang ada di dalamnya.
Di balik keremangan itu, orang-orang berkumpul dan bersenda gurau bertemankan satu dua botol Congyang dengan kentang goreng sebagai camilan.