Sebagai seorang 'asli' Semarang, Rayu bangga pada minuman yang lahir di kampung halamannya itu. Namun, ia punya alasan tak mengumbar kebanggaannya itu pada orang lain.
Rayu membandingkannya dengan posisi sake bagi rakyat Jepang. Orang Jepang yang meminum sake, kata dia, menegaskan identitas Jepang-nya yang kaya akan budaya. Tapi ini tak berlaku bagi Congyang.
"Kesannya buat mabuk aja. Kalau mau mabuk, mending minuman-minuman yang lain saja," ia bercerita seraya pelan-pelan menyesap sebotol bir yang digenggamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budayawan asal Semarang, Prie GS, menyebut Congyang sebagai produk akulturasi budaya yang belum sampai sepenuhnya ke hati masyarakat Semarang. Boleh jadi terputusnya akulturasi ini disebabkan oleh sindiran untuk para peminum A Djong yang kadung mengakar di masyarakat.
Ndoyong (mabuk) A Djong, demikian olok-olok yang biasa dilontarkan pada orang-orang berperilaku slebor dan tak karuan akibat mabuk. Stigma ini lah yang memutus sebaran Congyang sebagai minuman yang mengakar pada tradisi Tionghoa-Jawa di Semarang
Prie membandingkannya dengan Ciu, minuman beralkohol tradisional asal Sukoharjo. Ciu diproduksi dalam skala rumahan dan secara turun temurun dipertahankan oleh generasi penerus di Bekonang.
Ciu tersohor karena kekuatan tradisi yang mengakar di masyarakat Soloraya sejak masa lampau. Tradisi itu membuat Ciu identik sebagai minuman yang bersifat kultural.
"Tapi Congyang itu sudah bukan kultural bagi masyarakat Semarang," ujar Prie.
Sejak awal, Congyang lahir sebagai produk industri. Distribusi Congyang pada awalnya dikemas menggunakan besek yang terbuat dari bambu. Di dalamnya ada pengaman yang terbuat dari
dami atau pohon padi yang dikeringkan demi menjaga botol agar tidak mudah pecah.
"Sejak awal, Congyang sudah memiliki watak industri, bukan watak tradisi," kata Prie. Ia diproduksi secara masif demi memenuhi skala masal. "Rasa kulturnya pun pasti sudah beda."
Ditambah lagi dengan watak puritan masyarakat Semarang yang masih berpegang teguh pada falsafah 'molimo'. Falsafah yang mulanya tertera dalam Serat Ma Lima (1903) ini mengatur tata laku masyarakat Jawa. Ajaran-ajaran itu di antaranya
moh madhat (tidak mau narkoba atau candu),
moh madhon (tidak main perempuan),
moh mendem (tidak mabuk-mabukan),
moh maling (tidak mencuri), dan
moh main (tidak berjudi).
Tak Sembarang DijualLahir sejak sekitar 1980 silam, bisnis Congyang kian melaju. Sebagai minuman yang mengandung alkohol, Congyang telah resmi mendapatkan izin Bea Cukai sejak 2005 lalu. Izin ini tertera di atas tutup botol yang dilengkapi oleh izin dari BPOM RI.
Produksi Congyang kini dibatasi setiap hari sebanyak 1.000 dus. Setiap dua berisikan 24 botol cilik. Kemasan dus kemudian diedarkan melalui distributor ke sejumlah agen yang ditunjuk pabrik.
"Pendistribusian kami [Congyang] tertata dan rapi," ujar salah seorang distributor Congyang, Seno, pada CNNIndonesia.com seraya menunjukkan setumpuk surat pengiriman kemasan dus yang baru saja didapatnya.
Wilayah edar Congyang pun terbatas di Semarang Raya. Sisi barat terbatas pada wilayah Mangkang, wilayah Mranggen Demak si sisi timur, dan Banyumanik di bagian selatan. "Biasanya di warung-warung tradisional," kata Seno.
Jikapun terjual di luar wilayah yang disebutkan, seperti Bandungan misalnya, itu adalah Congyang yang sengaja distok oleh penjual. Satu botol kecil Congyang dijual dengan harga eceran sebesar Rp35 ribu dengan kandungan 19 persen alkohol di dalamnya.
Dari agen, minuman Congyang diambil oleh penjual-penjual kecil. "Tapi itu juga enggak bisa dijual sembarangan," kata Seno. Congyang tak boleh diminum di tempat, tapi harus dibawa pulang.
Pabrik menerapkan beberapa standar atau aturan penjualan. Di antaranya tak boleh diminum di tempat, tak boleh berdekatan dengan rumah ibadah, tak boleh berdekatan dengan sekolah, dan beberapa lainnya.
"Aturannya ketat, kalau dilanggar, ya ditarik," kata Seno.
Aturan boleh saja dibuat. Namun, praktik di lapangan tak melulu patuh pada aturan. Sejumlah tempat justru memperbolehkan konsumen untuk menenggak Congyang di tempat tanpa sungkan.
Tengok saja salah satu kedai swike di kawasan Pleburan, Semarang. Kedai itu menjajakan Congyang sebagai salah satu pilihan minuman beralkohol. Tak ubahnya warung remang-remang, dari luar kedai itu tampak tertutup, yang nampak hanya pancaran sinar kekuningan dari lampu temaram yang ada di dalamnya.
Di balik keremangan itu, orang-orang berkumpul dan bersenda gurau bertemankan satu dua botol Congyang dengan kentang goreng sebagai camilan.
(ard)