Jakarta, CNN Indonesia -- Uang dan jabatan tak bisa 'membeli' kebahagiaan. Setinggi apapun gaji yang didapat dan sekuat apapun jabatan yang digenggam tak menjamin membuat
pekerja bahagia dan setia pada perusahaan.
Teranyar, salah satu petinggi National Health Service (NHS) Inggris, Siobhan McArdle, mengundurkan diri terhitung sejak 16 September 2019. Salah satu pasalnya adalah gaji tinggi yang dirasanya tak sebanding dengan pengorbanan pribadi yang diberikannya. Mengutip
The Sun, McArdle diketahui berpendapatan 300 ribu euro atau sekitar Rp4,6 miliar per tahun.
Apa yang terjadi pada McArdle menggambarkan bahwa gaji dan jabatan tinggi tak menjamin membuat seseorang bahagia dan betah berada dalam perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip
New York Times, penelitian yang dilakukan oleh National Academy of Sciences menemukan bahwa gaji besar tak akan membuat seseorang lebih bahagia.
Gaji besar akan memberikan tuntutan yang lebih besar. Para pekerja khawatir bahwa gaji dan jabatan tinggi hanya akan memicu lebih banyak stres dan berkurangnya waktu pribadi.
"Banyak orang ingin menghasilkan banyak uang, tapi manfaat dari memiliki penghasilan tinggi juga masih belum jelas," ujar ahli ekonomi, Kahneman. Penghasilan yang tinggi, lanjutnya, membuat seseorang kurang mampu menikmati hal-hal kecil dalam hidup.
Gaji tinggi tanpa didukung beragam faktor pendukung lain pun dirasa percuma. Misalnya saja budaya perusahaan yang tak menyenangkan. Tanpa disadari, budaya kerja yang buruk bisa menjadi 'racun' bagi para karyawan.
Mengutip situs profesional LinkedIn, budaya kerja 'beracun' bisa menyebabkan pekerja merasa sedih dan tertekan. Tak sedikit dari mereka yang memiliki performa tinggi memilih untuk berhenti bekerja, tak terkecuali para petinggi perusahaan yang bergaji besar.
Salah satunya adalah budaya kerja yang kurang fleksibel. Masih banyak perusahaan yang menilai buruk kebiasaan seorang karyawan yang bekerja dari rumah. Kebanyakan perusahaan menganggap sistem kerja demikian tak produktif.
Padahal, bisa saja seseorang perlu melakukan beberapa hal pribadinya yang tak bisa ditinggalkan. Hal itu pula yang kemudian membuat pekerja merasa tertekan.
Selain itu, agar budaya kerja positif tertanam, perusahaan juga perlu memperhatikan jumlah jam kerja. Sembilan jam kerja tak akan ada artinya jika hanya dihabiskan untuk mengeluh.
Perlu diketahui bahwa jumlah jam kerja tak berhubungan dengan output yang dihasilkan.
Kebiasaan untuk mengolok-ngolok pekerja berkinerja rendah di depan umum juga jadi salah satu faktor. Hal itu tak akan membuat mereka memperbaiki kesalahannya. Alih-alih mencapai perbaikan, justru kebencian lah yang akan timbul dari kebiasaan tersebut.
[Gambas:Video CNN] (asr)