Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia adalah penghasil
kopi yang kaya. Karakteristik tanah setiap daerah mampu menghasilkan jenis dan citarasa kopi yang berbeda. Walau begitu, secangkir kopi tak memandang perbedaan, semua kalangan bisa menikmatinya.
Menurut data Kementerian Pertanian, estimasi produksi kopi Indonesia pada 2019 lebih dari 729 ribu ton. Dari jumlah tersebut, kopi yang layak ekspor bisa mencapai 430 ribu ton. Namun, tak perlu membayangkan timbunan biji kopi sebanyak itu. Cukup jalan-jalan saja di sekitar pusat keramaian kota. Akan ditemukan cukup banyak kedai kopi yang menawarkan beragam olahan biji kopi, mulai dari es kopi susu, cappuccino, latte, dan banyak lagi.
Kopi kini telah menjadi bagian dari gaya hidup. Kopi bahkan mampu menjadi kawan setia untuk dinikmati sendiri atau bersama kolega. Ngopi pun jadi ritual pembuka hari, dinikmati selama bekerja, termasuk menjadi minuman penutup di penghujung hari. Bagi sebagian kalangan, hidup seakan tak lengkap tanpa kehadiran secangkir kopi. Seruput demi seruput pun semakin dinikmati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, buat sebagian kalangan lainnya, kopi lebih dari sekadar minuman. Kopi membawa harapan akan banyak hal termasuk kesetaraan. Penyandang disabilitas dan mantan narapidana yang kerap dianggap kaum marjinal, berbagi cerita bagaimana kopi membantu mereka memperjuangkan kesetaraan dengan berbagai cara.
Kopi Tuli, ruang komunikasi antara teman Tuli dan teman Dengar Di satu kesempatan, Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso melihat seorang teman yang tuli begitu sulit mengakses pekerjaan. Pengalaman sang kawan, Mohammad Adhika Prakoso membuatnya sadar bahwa banyak perusahaan yang menafikan kemampuan sejumlah kalangan hanya karena keterbatasan komunikasi.
Usai bercerita dan berdiskusi, Putri menemukan bahwa Adhika ternyata menyukai kopi. Meyakini suatu pekerjaan yang dimulai dari 'hati' akan membawa dampak positif, bersama Adhika dan juga Tri Erwinsyah Putra, mereka bertiga lantas menginisiasi Kopi Tuli pada Mei 2018 silam.
 Tri Erwinsyah Putra, co-founder Kopi Tuli. (Foto: CNN Indonesia/ Artho Viando) |
Kehadiran Kopi Tuli diharapkan bisa jadi ruang komunikasi dan interaksi antara teman Dengar dan teman Tuli. Kedai ini pun dirancang untuk mengajak masyarakat untuk mau berinteraksi dengan para teman Tuli. Tak heran jika kedai ini akhirnya merangkul teman Tuli untuk menjadi staf, mulai dari kasir hingga barista.
"Stigma musti dihapus. Teman Tuli punya banyak cara untuk berkomunikasi, bisa bahasa isyarat, tulis, bahasa bibir dan diketik di gadget. Jadi enggak ada alasan buat enggak bisa komunikasi," ujar Putri saat ditemui di kedai Kopi Tuli, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (27/9).
Interaksi ini didesain sederhana. Saat memesan kopi, Anda cukup melihat gambar menu yang tertera dan simbol berupa gambar tangan. Tirukan saja pose tangan yang ada di menu dan kasir akan segara mencatat pesanan.
Saat menerima pesanan, coba perhatikan gelas kopi. Ada yang berbeda di sana, yaitu abjad dalam bahasa isyarat. Jangan ragu bila ingin 'belajar' tentang artinya. Para staf kan mengajak Anda mengulik pengalaman baru untuk menikmati kopi seraya mengenal bahasa isyarat.
"Respons masyarakat luar biasa, sangat positif. Ini juga membuktikan pada masyarakat bahwa teman Tuli bisa bekerja," kata Putri.
Ke depan, Putri berharap masyarakat lebih ramah terhadap penyandang disabilitas. Jangan lagi anggap mereka sebagai kaum marjinal, melainkan kalangan yang memerlukan dukungan.
"Makanya kami punya tagline 'The taste that touch your heart'," katanya sembari tersenyum.
Tunanetra yang menyeduh kopiSekilas, Mohammad Syahrul, Wahyu Adhi Prasetiyo dan Aryani Sri Ramadhani tampak sama seperti orang kebanyakan. Mereka bercanda, tertawa, mengobrol dan berinteraksi satu sama lain di sebuah kedai kopi kawasan Jakarta Barat. Namun saat pesanan datang, tangan mereka sibuk meraba meja untuk mencari gelas kopi yang baru diletakkan. Ya, ketiganya adalah tunanetra.
Akan tetapi, Syahrul, Wahyu dan Yani, begitu mereka akrab disapa, tak pupus harapan untuk memperjuangkan kecintaannya terhadap kopi. Mereka tergabung dalam Blind Coffee Community. Komunitas yang membuka kesempatan bagi kaum tunanetra yang ingin mengenal dan bergelut dalam industri kopi.
[Gambas:Instagram]Blind Coffee Community memandang kopi sebagai pembuka kesempatan bagi teman tunanetra untuk memperoleh hidup layak. Selama ini, teman tunanetra yang diidentikkan dengan usaha pijat, bisa mencicipi pekerjaan lain dan menikmati dunia dengan lebih luas.
"Kopi itu perjuangan. Perjuangan kami belajar. Kami punya visi dan misi yang sama bahwa kopi jadi alternatif untuk melanjutkan hidup," kata Yani pada CNNIndonesia.com saat ditemui di Central Park, Jakarta Barat, Minggu (29/9).
Tarini, founder Jakarta Fellowship of Netra Community yang menaungi Blind Coffee Community, berkata bahwa teman-teman tunanetra kini punya kesempatan untuk kenal lebih dalam tentang kopi, mulai dari teori hingga cara membuat kopi. Bertempat di Bengkel Teater Rendra, Citayam, Jawa Barat dan Pondok Ranji, mereka mengulik kopi bersama Indra dari Dapur Kaum dan Kosan dari Rumah Belajar Cipeteuy, Sukabumi.
Itu pula yang dulu dilakukan oleh Yani dan kedua temannya. Mereka bertiga, termasuk salah satu teman tunanetra Ilham Febriansyah, benar-benar belajar tentang kopi dari nol. Belajar tentang sejarah dan pengetahuan dasar kopi, mungkin tak jadi soal. Namun saat harus praktik membuat kopi, perjuangan pun dimulai.
"Belajar menuang sampai meja basah, air di teko habis. Untung pakai air dingin dulu, bukan air panas," kata Syahrul disusul tawa.
Buat teman Awas (sebutan untuk mereka yang tidak tunanetra), tentu sulit membayangkan bagaimana teman tunanetra bisa membuat kopi. Namun kesulitan inilah yang bisa menciptakan diskusi antara trainer dan teman tunanetra untuk menemukan cara terbaik menyeduh kopi.
Syahrul bercerita, menuang dengan aman bisa dilakukan dengan memastikan letak mulut gelas dan moncong teko. Keduanya didekatkan baru kemudian diberi jarak dengan jari dan mulai menuang. Suara kucuran air yang perlahan menghilang menjadi tanda bahwa gelas mulai terisi penuh. Komunitas membekalinya dengan alat seduh Vietnam drip. Dia dituntut untuk terus menyeduh agar makin luwes.
Berbeda dengan Yani, dirinya dibekali French press. Alat satu ini seperti teko yang diberi penekan di bagian atas. Terlihat praktis, tinggal tuang, tetapi buat teman tunanetra seperti Yani, French press pun punya tantangan. Dengan French press, kopi tak bisa langsung seduh dan dinikmati. Kopi musti didiamkan selama kurang lebih 2-3 menit. Untuk mendapatkan waktu yang tepat, Yani mengandalkan alarm. Kemudian soal suhu air, dirinya tidak mengukur dengan termometer. Air setelah mendidih cukup didiamkan selama 1-2 menit agar suhu turun sekitar 10 derajat Celcius.
"Kami kan susah nimbang karena enggak ada timbangan digital yang ada suara. Beli pun mahal dan di Indonesia enggak ada. Ya dikira-kira saja dengan sendok takar," imbuh Yani.
Sedangkan Wahyu dibekali dengan alat V60. Walau alat dinilai sebagai yang terumit, namun Wahyu berkata dirinya tak menemukan kendala berarti.
"Kami patokannya, sebelum tuang ke gelas, air ditakar pakai gelas yang lain. Tantangannya, teko saya gede, sekitar 500 mililiter. Risiko kebablasan. Nah biasanya air ditakar di gelas dulu, baru dimasak," jelas Wahyu.
Sementara tu, Tarini mengungkapkan bahwa Jakarta Fellowship of Netra Community sedang menggalang dana untuk mendirikan kedai kopi. Kedai kopi ini nantinya akan menjadi wadah teman tunanetra yang ingin sama-sama berjuang menyeduh kopi sekaligus membuka peluang kerja buat teman tunanetra yang lain.
Mereka diharapkan bisa percaya diri dan terampil menyeduh kopi di hadapan pelanggan maupun di depan umum. Keinginan ini pula yang membuat komunitas ini banyak mengisi acara atau workshop yang menuntut mereka untuk berani.
Kini, kedai kopi bisa digunakan sebagai ruang interaksi. Walau begitu, Syahrul, Yani dan Wahyu masih menganggap teman Awas masih enggan berinteraksi dengan teman tunanetra.
"Mau komunikasi mah tinggal colek aja, enggak apa-apa. Kami ditanya, disapa saja sudah seneng banget," ujar Syahrul.
Kopi memberi kesempatan kedua di luar 'tirai' besi"Penjara itu indentik sama rasa jenuh luar biasa. Dunia yang aneh."
 Barista di Join X Jeera Coffee House. (Foto: CNN Indonesia/ Elise Dwi Ratnasari) |
Ahmad, barista Join X Jeera Coffee House, bercerita mengenai masa lalunya. Dia tertangkap basah mengonsumsi sabu dan ganja di salah satu universitas swasta di Jakarta pada 2015 lalu. Barang haram ini pun membuatnya terkena tuntutan empat tahun enam bulan penjara.
Di tengah perjalanan dalam tirai besi, kopi membuat Ahmad mendapati kesempatan untuk kembali menikmati udara di luar jeruji. Sejak April 2018, Ahmad menjalani pembebasan bersyarat hingga 2020 nanti karena dipercaya menjadi seorang barista.
Ini bermula saat LP Cipinang menawarkan ketrampilan di bidang kopi, industri kulit dan bengkel. Ahmad saat itu sangat tertarik dengan kopi. Meski awalnya tak suka kopi, saat menjalani pelatihan, dirinya merasa kopi sangat sederhana, asyik dan menyenangkan. Akhirnya, ia pun dipercaya menjadi barista di kedai kopi Join X Jeera Coffee House.
Kedai kopi tersebut merupakan hasil kerjasama Join Coffee dan organisasi nirlaba Jeera Foundation, wadah bagi narapidana untuk mengembangkan diri. Setelah menjalani masa tahanan sekitar tiga tahun, Ahmad kini menemukan 'penjara' baru sesuai passion.
Awalnya, status sebagai mantan narapidana membuat Ahmad minder, sensitif dan enggan berinteraksi dengan orang lain. Namun perlahan, ini semua dikikis seiring tuntutan pekerjaannya sebagai barista. Barista mana yang tidak berinteraksi dengan pelanggannya?
"Paling susah itu mengatasi grogi. Kan biasa bikin kopi buat diri sendiri. Pas bikin buat pelanggan kagok, bingung. Seiring waktu, pelan-pelan, coba interaksi. Pelanggan pun respons positif obrolannya, jadi menyenangkan. Nah lama-lama enggak grogi, speed bikin kopi juga makin bagus," kata dia saat ditemui di Join X Jeera Coffee House, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Senin (30/9).
Selain dirinya, ada teman-teman mantan narapidana lain yang juga belajar meracik kopi di kedai. Ahmad menekankan bahwa kedai ini produknya bukan kopi tetapi mereka.
"Kopi itu perantara, yang memberikan kesempatan buat menunjukkan kalau enggak ada yang aneh dengan kami. Bahkan kebanyakan pelanggan tidak menyadari atau merasa kalau kami eksnarapidana," tutupnya.
Kopi dan nilai kesetaraan yang lebih luasSebenarnya tak ada yang aneh dengan kedai kopi di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Sunyi House of Coffee dan Hope berbentuk seperti dome dengan pencahayaan tak menyilaukan. Rupanya, sang barista Andhika Prima Yutha merupakan penyandang disabilitas. Sedangkan staf lain merupakan teman Tuli. Kedai pun terasa istimewa berkat interaksi antara pelanggan dengan staf.
"Kami saling melengkapi sih. Kalau ada pelanggan yang susah komunikasi, saya bantu terjemahin. Terus kalau saya susah steaming susu, saya dibantu teman Tuli," kata Andhika saat ditemui di Sunyi House of Coffee and Hope, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (30/9).
Dalam kesempatan serupa, sang founder Mario P Hasudungan Gultom mengungkapkan, kopi adalah jembatan yang menghubungkan antara kawan disabilitas dengan masyarakat. Menurutnya, kemampuan disabilitas dan mereka yang nondisabilitas adalah sama, bedanya hanyalah kesempatan.
Di Sunyi House of Coffee dan Hope, tak hanya teman tunadaksa dan teman Tuli yang berkesempatan terjun ke kedai. Ada pula kolaborasi-kolaborasi bersama teman tunanetra, penyandang autisme dan down syndrome untuk pembuatan karya seni dan marchandise.
 Andhika Prima Yutha, barista Sunyi House of Coffee and Hope membuktikan bahwa kondisinya tak halangi kecintaan untuk meracik kopi. (Foto: CNN Indonesia/ Elise Dwi Ratnasari) |
Andhika hanya satu dari beberapa disabilitas yang menekuni kopi. Laki-laki asal Padang, Sumatera Barat ini awalnya kesulitan memperoleh pekerjaan di kampung halamannya. Lepas SMA pada 2011, dia hanya bekerja sebagai pengantar anak sekolah dan pramuniaga toko pestisida. Kemudian kesempatan justru datang saat dirinya menemani sang adik berlibur di Jakarta.
"Februari masukin lamaran ke Kerjabilitas (situs lowongan pekerjaan untuk kaum disabilitas), lalu akhir bulan interview. Pertengahan Maret mulai pelatihan di daerah Pondok Indah. Waktu itu kedai belum ada," ujar Andhika.
Pelatihan yang dijadwalkan selama dua bulan dituntaskan Andhika hanya dalam tiga minggu. Andhika berkata dirinya memang menyukai hal baru dan mengulik kopi terasa selalu menyenangkan. Satu ketika dia diajari menyeduh kopi dengan metode pour over dengan V60.
Dia ditantang untuk bisa menuang dengan kecepatan stabil agar menciptakan rasa yang seimbang. Hari pertama belajar, 20 lembar kertas filter dia habiskan. Perlahan tapi pasti, penggunaan kertas filter kian berkurang, hingga akhirnya kopi seduhan terasa enak.
"Saya tuh susah kalau pakai alat. Kan itu tuas mesin espresso lumayan berat. Tapi diakalin juga jadi sekarang lebih ringan. Terus susah lagi tuh steam susu. Kan perlu dua tangan, saya enggak bisa," katanya.
Ketekunan dan semangat belajar menjadikan Andhika barista handal di kedai. Respons pelanggan pun positif sejak kedai dibuka pada April 2019. Ruang interaksi pun tercipta.
Mario menambahkan, ada optimisme bahwa usaha ini akan terus hidup dan menghidupi semua.
"Kopi itu kan seni, seni rasa. Orang boleh beda-beda cara komunikasi, tapi rasa yang menyatukan. Kopi kesetaraan di mana kedai memperluas nilai kesetaraan. Pelanggan datang, nyicip kopi dan mendapat pengalaman bahwa difabel bisa kerja loh," kata Mario bersemangat.
(els/ayk)