Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah kebisingan pusat Kota Jakarta, ada sebuah ketenangan yang ditawarkan oleh sebuah rumah yang berlokasi di Jalan Pal Batu IV No.17, Tebet, Jakarta Selatan. Rumah tersebut adalah Rumah
Batik Palbatu, lokasi jalannya tepat berada di seberang salah satu mal ternama di kawasan Casablanca, mal yang mungkin menjadi tujuan Anda untuk menikmati waktu di akhir pekan.
Dengan patokan tersebut, cukup mudah menemukan rumah batik ini, apalagi ada sebuah plang bertuliskan 'Rumah Batik Palbatu, Sekolah Batik-Galeri Batik' yang mudah terlihat saat memasuki Jalan Pal Batu. Dari namanya, Rumah Batik Palbatu memang bukan sebuah toko batik, melainkan sebuah galeri batik yang menawarkan kesempatan untuk mengenal seni membatik.
Katanya, kesabaran saat membatik dan segala proses yang dilalui untuk bisa menghasilkan sehelai kain batik, bakal membuat pikiran dan perasaan menjadi fokus layaknya sebuah meditasi. Inilah yang membuat saya tertarik untuk mencoba, di samping rasa penasaran karena ternyata masih ada kelas belajar membatik di tengah modernitas pusat kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Informasi keberadaan Rumah Batik Palbatu saya dapatkan lewat Instagram seorang teman. Dia mengunggah kegiatan membatiknya, termasuk menunjukkan hasil kain batik buatannya. Padahal, saya sudah nge-kost di sekitaran Pal Batu sejak tiga tahun lalu, baru sepekan lalu saya mengetahui adanya rumah membatik ini.
Bertepatan dengan memperingati Hari Batik Nasional pada 2 Oktober, saya pun langsung memesan paket belajar membatik di Rumah Batik Pal Batu lewat nomor telepon yang tertera di Google.
 Aktivitas membatik di Rumah Batik Palbatu. (Foto: CNN Indonesia/ Puput Tripeni Juniman) |
Rumah Batik Palbatu merupakan wadah edukasi budaya yang masih berbasis rumahan, sehingga promosi dan pemasaran pun masih terbatas. "Kami ada di ranah edukasi. Ada pengrajin dan pengajar juga, semua sudah disiapkan," kata salah satu pendiri Rumah Batik Pal Batu Budi 'Iwan' Damawan kepada CNNIndonesia.com.
Rumah batik ini terletak di tengah pemukiman warga. Sebagian pembatik di rumah batik ini juga merupakan warga Pal Batu, seperti Ibu Mumun yang menjadi tutor membatik saya kali ini.
Perempuan yang berusia lebih dari setengah abad ini menyambut kedatangan saya di rumah kecil yang dipenuhi kain dengan beragam corak, mayoritas merupakan motif batik Betawi. Di rumah itu, tiga orang ibu-ibu yang merupakan penyandang disabilitas tengah sibuk menorehkan malam dengan mencanting.
Ibu Mumun merupakan warga Pal Batu yang mendapatkan pelatihan dari program Kampoeng Batik Pal Batu yang digagas oleh Budi Dwi 'Harry' Haryanto dan Iwan pada 2011. Kampoeng Batik inilah yang menjadi cikal bakal Rumah Batik PalBatu.
Ibu Mumun yang tak punya penghasilan pasca kematian sang suami, ingin mendapatkan penghasilan dengan membatik. Dia pun menekuni batik hingga mendapatkan sertifikasi nasional sebagai pembatik sekaligus pengajar yang sudah diakui.
"Awalnya karena tidak ada pekerjaan saya ikut membatik, lama-lama saya jadi menyenanginya," ucap Mumun.
Di rumah batik ini, peserta bakal diajarkan lima tahapan membatik yang sudah diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya takbenda, tepat satu dekade lalu.
"Batik itu ada lima tahapan besar, dimulai dari membuat pola. Kami mengajarkan sesuai dengan standar nasional yang sudah diakui Unicef," ujar Iwan.
Pertama, membuat pola batik. Pola yang dibuat tak harus berupa corak batik yang terkenal seperti mega mendung atau parang. Pada dasarnya, motif apapun boleh dibuat di kain katun prisma yang sudah disiapkan.
Peserta boleh membuat pola sendiri atau menjiplak pola yang sudah ada. Umumnya, pola berupa flora dan fauna dengan motif yang besar-besar. Saya membuat motif bunga yang suka saya gambar zaman sekolah dulu.
 Menggunakan teknik gradasi untuk menggabungkan warna merah dan kuning di bagian kelopak bunga. (Foto: CNN Indonesia/ Puput Tripeni Juniman) |
Setelah itu, Ibu Mumun membawa saya ke tahan kedua, intisari dari proses membatik. Kami duduk di depan malam yang dipanaskan. Malam merupakan cairan lilin yang terbuat dari parafin. Di zaman dulu, malam dibuat dari rempah-rempah, getah pohon pinus, minyak sayur, madu, dan gula jawa.
Ibu Mumun mengajarkan saya cara memegang canting yang benar. Canting mesti dikepit oleh ibu jari dan telunjuk. Lalu ambil sedikit malam dan pastikan tak ada malam yang berceceran. Tangan satunya lagi memegang kain.
"Letakkan seperti kita sedang membaca buku, sedikit tegak. Pola harus di telapak tangan," ucap Ibu Mumun dengan penuh kelembutan.
Awalnya, saya mencoba di kain yang dijadikan contoh, sebelum menerapkannya pada kain yang sudah saya gambar. Percobaan pertama, torehan malam tidak lurus dan tidak mengikuti pola. Mencanting yang baik bukan perkara besar atau kecilnya garis, melainkan garis yang konsisten.
"Jangan ragu-ragu, membatik harus penuh keyakinan. Tenang saja dan fokus," kata Ibu Mumun meyakinkan saya.
Saya pun mencoba kembali memusatkan pikiran dan perasaan untuk tenang agar bisa mencanting dengan baik. Tapi, tak lama, tangan saya kepanasan karena malam panas yang ditorehkan ke kain menembus hingga telapak tangan. Rasanya panas sekali. Sejumlah lilin menempel di tangan.
Tapi, begitu melihat di sekitar, ibu-ibu lain tetap tenang menahan panas di tangan dan mencanting dengan telaten. Saya pun kembali mencoba hingga menyelesaikan pola.
Beberapa kali malam sempat menetes dan merusak pola. Bukan berarti karena nila setitik rusak susu sebelanga. Saya mesti memutar otak berkreasi memanfaatkan setitik malam yang tumpah menjadi gambar yang menyatu dengan yang sebelumnya.
Di dalam membatik, juga ada istilah motif isen atau ornamen pengisi berupa titik-titik, garis, atau gabungan keduanya di antara motif batik. Saya memanfaatkan malam yang tumpah menjadi isen.
 Kain batik direntangkan melayang agar memudahkan pewarnaan. (Foto: CNN Indonesia/ Puput Tripeni Juniman) |
Setelah semua pola selesai dicanting, pastikan malam menembus hingga ke belakang kain agar warna nantinya tidak bercampur. Jika ada yang belum, torehkan malam ke bagian belakang kain.
Usai mencanting, masuk pada tahapan ketiga yakni merintangi warna atau pewarnaan. Ada dua proses pewarnaan dalam membatik yakni dicelup dan dicoret. Warna yang digunakan juga terdiri dari dua yakni warna alam atau sintetis. Kali ini saya belajar dengan mencoret menggunakan warna sintetis berbahan remasol.
Ibu Mumun menyiapkan warna-warna dasar seperti merah biru, kuning, biru, dan hijau dalam wadah kecil.
Kain batik direntangkan melayang agar memudahkan pewarnaan. Dengan menggunakan cotton bud, warna-warna itu langsung dilukiskan ke bagian pola. Saya menggunakan teknik gradasi dengan menggabungkan warna merah dan kuning di bagian kelopak bunga. Untuk warna dasar kain, kuas yang lebih besar digunakan untuk mempercepat proses pewarnaan.
Setelah seluruh kain diberi warna dan dikeringkan, kain juga harus diberi cairan kimia
waterglass untuk merekatkan warna. Ini merupakan tahapan ke empat yaitu penguncian warna atau fiksasi.
Kemudian, tahapan kelima atau yang terakhir adalah pelorotan. Tahapan ini berfungsi untuk menghilangkan malam yang menempel di kain. Pelorotan dilakukan dengan cara merebus kain dalam air mendidih yang ditambahkan dengan tepung. Sekitar 1-2 menit kain lalu diangkat dan malam pun luruh.
Hasilnya, kain batik memperlihatkan warna dan corak yang indah yang dibatasi garis putih hasil mencanting
Membatik tak hanya memberikan saya kesempatan untuk melanjutkan warisan budaya. Proses membatik juga membuat saya belajar bahwa hasil yang cemerlang didapatkan melalui sejumlah tahapan yang mesti dikerjakan dengan penuh ketenangan, kesabaran, konsistensi, dan fokus yang tinggi.
(ptj/ayk)