Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap menjelang
hari raya, ketika sejumlah
anak sudah mendapatkan pakaian baru, Hadiana yang kala itu masih berusia 10 tahun justru menantikan kehadiran tukang loak yang menjual baju bekas.
Ia rela menunggu di bawah terik matahari seraya duduk di pinggir kali, demi bisa memakai baju baru di hari besar nanti.
Mengenakan baju kebesaran sudah jadi hal biasa bagi Hadiana. Keterbatasan sudah menjadi kesehariannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenang masa-masa itu, air mata Hadiana kerap mengalir. Namun, itulah yang membuat Hadiana tumbuh menjadi ibu dan perempuan kuat yang mendedikasikan dirinya bagi banyak orang, terutama anak-anak di Jakarta.
Misi Hadiana sederhana, tak ingin anak-anak merasakan apa yang ia rasakan dahulu, dengan cara menghadirkan lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis, yaitu lingkungan yang ramah anak.
Hadiana tahu bahwa ia tak bisa melakukan semua hal untuk memperbaiki kehidupan anak-anak, namun lewat pendidikan, ia yakin bisa melakukannya.
[Gambas:Video CNN]Dari Sumedang, Jawa Barat perempuan yang akrab disapa Diana merantau mengadu nasib di ibukota, Jakarta. Kecintaan pada anak-anak, menuntun Diana memilih menjadi guru Taman Kanak-Kanak (TK) pada 1989. Sejak saat itu, Diana yang kini berusia 50 tahun tak pernah lepas dari dunia mengajar anak-anak.
Pada 2004, Diana memberanikan diri membuka TK Nur Rahmah dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) KB Durian IV dengan modal pekarangan rumahnya di Jagakarsa, Tanjung Barat. TK itu dibuka karena Diana melihat banyak balita yang kurang mampu di sekitar rumahnya yang tak memiliki tempat untuk belajar.
Tak ada ruang kelas yang berwarna-warni layaknya PAUD untuk anak-anak, Diana membuka kelas di teras rumah walau dengan fasilitas seadanya.
"Anak-anak di sini kan banyak, dari dua Posyandu ada sekitar 150 balita ketika itu. Tahun 2004 itu, kurang lebih 100 anak. Itu juga di latar, di teras. Enggak punya ruangan, saya pikir sudahlah, yang penting ayo kita buka," kata Diana saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com.
Perlahan, pekarangan rumah Diana mulai tampak seperti taman bermain untuk anak-anak. Diana bahkan menghias kamarnya menjadi kelas untuk belajar di siang hari.
Berbekal kemampuan menjahit, ibu tiga anak itu menghias kamar menjadi ruangan yang menyenangkan bagi anak-anak untuk bermain dan belajar.
"Kalau malam jadi kamar, kalau siang jadi sekolah. Kasur ibu tutupin dengan kain yang ibu jahit, jadi enggak kelihatan kasur. Nah, kalau malam ibu gelar," tutur Diana sambil tertawa bahagia.
Namun, kamar tidur yang bertransformasi menjadi kelas itu, tak berlangsung lama. Usaha keras Diana membangun TK untuk meningkatkan pendidikan anak-anak diuji dengan terjangan banjir besar pada 2007.
Banjir lebih dari 1 meter itu membuat peralatan belajar mengajar basah dan hancur terendam banjir. Krayon dan buku gambar penuh warna terendam banjir. Bangku dan meja serta lemari rusak parah. Sampah pun berserakan di mana-mana.
"Lagi sedang banyak murid.
Kerendam. Yang biasa enggak kena banjir, kena semua. Jadi, ibu pulang bengong aja (melihat TK)," ungkap Diana.
Alhasil, banjir membuat proses belajar mengungsi ke lapangan selama sekitar satu bulan.
Pasca banjir, Diana tak memikirkan bentuk rumahnya. Perhatiannya justru tertuju untuk memperbaiki bangku dan meja untuk TK.
"Saya bilang, 'udah deh enggak usah mikirin rumah, buat sekolah aja. Karena mau nyari perabotan yang bagus juga jadi enggak kepingin," ucap Diana.
Lahirnya 'Ratu Daur Ulang'
Karya daur ulang Diana yang terpampang di ruang bermain TK Nur Rahmah . (Foto: CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman) |
Seraya membersihkan sampah plastik yang menimbun di rumahnya akibat banjir, ketulusan hati Diana untuk menyediakan fasilitas pendidikan usia dini yang memadai berhasil melahirkan ide untuk mengolah sampah plastik menjadi Alat Pembelajaran Edukatif (APE).
APE merupakan alat yang digunakan untuk proses belajar mengajar di PAUD dan TK, biasanya dibuat bergambar dan berwarna untuk menarik perhatian anak-anak.
"Jadi sampahnya tidak ada yang terbuang. Sampai bekas mi instan dibikin pohon dan bunga, semua ke pembelajaran," ujar Diana.
Daur ulang sampah itu terus berlanjut hingga kini Diana memiliki bank sampah di rumahnya. Diana membuat sendiri semua kebutuhan belajar mengajar untuk PAUD dan TK, misalnya membuat buku bergambar dari bekas kalender yang diberi selotip bening agar tak rusak terkena air, papan tulis dari kardus, dan media kreatif lainnya untuk mengajarkan anak menghitung, menulis, dan membaca.
Juga untuk mengetahui berbagai benda, hewan, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan.
Diana juga mengajarkan anak-anak dan orang tua murid untuk ikut mendaur ulang sampah. Anak-anak sering diminta membawa sampah untuk jadi media belajar.
"Anak-anak diminta menghitung tutup botol, menghitung gelang-gelang. Jadi memang konsepnya ke pembelajaran," kata Diana.
Diana juga mendaur ulang sampah menjadi baju yang diikutkan dalam perlombaan guru PAUD dan TK se-DKI pada 2017 lalu. Dia memperagakan busana daur ulang bak ratu dengan melenggok di pelataran Monas.
Hasilnya, dia berhasil menyabet juara satu. Dari situ lah julukan 'Ratu Daur Ulang' melekat pada Diana hingga kini.
Status PNSPerjalanan Diana untuk memberikan pendidikan usia dini yang layak bukan tanpa lika-liku.
Kali ini, bukan banjir yang menerjang kelangsungan TK miliknya, melainkan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diidamkan banyak orang di Indonesia.
Pada 2014, Diana berhasil mendapatkan status PNS dan menjadi guru di SD 03 Jagakarsa, tak jauh dari SD 04, tempat suaminya bertugas.
Namun, setelah menjalani tugas sebagai CPNS, TK yang sudah dikembangkan pun terbengkalai. Diana dihadapkan dilema dan memikirkan ulang status PNS yang diterimanya. Dengan pemikiran matang, Diana mantap melepas status PNS yang diterimanya.
[Gambas:Video CNN]“Akhirnya kami rembukan keluarga bagaimana baiknya. Oke kita bisa kaya, berdua PNS tinggal ambil uang saja. Tapi, setelah dipikir-pikir, kalau PNS, saya saja (yang dapat manfaat). Tapi, kalau yang kecil-kecil ditinggal, nanti terbengkalai semua,” tutur Diana.
Saat menerima SK PNS, saat itu pula Diana langsung menyerahkan kembali SK tersebut dan menyatakan mengundurkan diri.
Semua guru dan wali murid bersorak kegirangan karena Diana memilih mengabdi pada PAUD dan TK. Di sisi lain, keputusan ini juga jadi pembicaraan banyak orang. Tapi Diana tak peduli, niatnya bulat mengajar TK yang digagasnya.
“Dikatain goblok, dikatain bego. Kalau ibu
mah cuek saja, biarin, yang penting saya senang,” ujar Diana.
Tekad Hadiana melanjutkan perjuangan di PAUD dan TK terus dijalankan secara konsisten. PAUD dan TK Nur Rahmah besutan Diana menjadi satu-satunya yang tersisa dan bertahan di Gugus Mawar, kelurahan Tanjung Barat.
“Satu gugus ada 5 TK, 4 sudah tutup semua. PAUD dan kelompok bermain juga tutup,” ujar Diana.
Saat ini siswa di TK tersebut berjumlah 31 anak dan Kelompok Bermain 20 anak. Karena keterbatasan tempat, banyak pendaftar yang akhirnya terpaksa Diana tolak.
“Sudah penuh banget karena ruangannya terbatas, tempat mainnya juga terbatas,” ucap Hadiana.
Keterbatasan tempat membuat Diana menyiasati ruangan yang ada. Satu ruang berisi khusus tempat bermain anak-anak, perpustakaan di buat di sudut kelas, perosotan dan permainan lainnya dibuat di teras.
Diana dan guru-guru di TK memilih tetap bertahan agar anak-anak dapat mendapat pendidikan yang layak. Para guru, tetap mengajar meski hanya diberi gaji Rp500 ribu per bulan.
Gaji Rp500 ribu memang tak mencukupi untuk hidup di Jakarta. Seorang guru bahkan menanggung biaya transportasi yang lebih besar dibandingkan gaji karena tinggal jauh dari TK.
“Tapi lihat amalnya, ibadahnya,” kata seorang guru, Siti di TK Nur Rahmah.
Dengan segala keterbatasan itu, TK Nur Rahmah tetap mampu berprestasi. Sudah 115 piala yang berhasil diraih, belum termasuk piagam yang sudah menumpuk.
Kini, Diana juga sedang berjuang memenangkan penghargaan terbaru. Diana masuk sebagai salah satu nominasi 'Ibu Ibukota Awards 2019' yang akan digelar 20 Desember mendatang.