SURAT DARI RANTAU

Perjuangan Menjadi 'Tukang Arsitek' di London

Fahmi Ardi | CNN Indonesia
Minggu, 29 Des 2019 19:43 WIB
Saya bisa dibilang beruntung bisa hidup dan bekerja di London. Tapi untuk mendapatkan kesempatan tersebut, saya tak berhenti bekerja keras.
Suasana Regent Street di London, Inggris. (Istockphoto/William Barton)
Jakarta, CNN Indonesia -- Empat bulan setelah penduduk Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa melalui referendum pada tahun 2016, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di negara ini.

Hingga saat ini saya masih ingat salah satu teman dekat mengirimkan pesan pendek setelah mendengar kabar kepindahan saya.

"Wah hebat juga bisa masuk Inggris setelah Brexit," tulisnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika membacanya saya berpikir pesan itu agak berlebihan. Namun setelah menetap beberapa tahun, saya mulai mengerti maksud pesannya.

Sejak referendum tersebut sampai sekarang pemerintah Britania Raya semakin selektif dan membatasi jumlah aplikasi visa, terutama untuk aplikasi izin tinggal di sini. Saya berasumsi, mungkin Brexit adalah salah satu penyebabnya.

Awal kepindahan saya ke Inggris adalah untuk melanjutkan studi master setelah dua tahun bekerja di Istanbul, Turki.

Saya diterima di University of Greenwich, London, untuk melanjutkan kuliah Master of Art in Landscape Architecture selama satu tahun setelah melalui proses penyaringan yang cukup ketat.

Selama menjalani kuliah, saya juga bekerja paruh waktu sebagai IT support di studio kampus. Bayarannya lumayan untuk tambahan menutupi biaya hidup selama tinggal di sini.

Saya beruntung dapat bekerja di lingkungan kampus sehingga mudah membagi waktu antara kuliah dan mengerjakan tugas.

Menurut peraturan imigrasi di sini, saya hanya diperbolehkan bekerja selama 20 jam seminggu mengingat status saya sebagai pemegang izin tinggal sebagai mahasiswa pada saat itu (Tier 4 Student Visa).

Ada banyak kesempatan belajar di luar kelas selama saya menjadi mahasiswa bidang arsitektur lansekap. Saya anggap hal tersebut ideal, karena saya jadi punya banyak waktu senggang selama kuliah yang saya manfaatkan untuk travelling.

Selama melancong, saya melihat beberapa contoh taman kota dan proyek-proyek komersial di sekitar London dan negara-negara Eropa lain sebagai studi banding untuk tugas akhir saya.

London juga menginspirasi saya untuk bekerja di sini, mengingat banyaknya perusahaan lanskap internasional dengan proyek-proyek prestisius berpusat di sini.

Satu bulan sebelum menyelesaikan kuliah, saya diterima bekerja di salah satu perusahaan lanskap internasional yang berpusat di London, Martha Schwartz and Partners melalui rekomendasi dari salah satu dosen.

Saat itu cukup berat membagi waktu antara bekerja dan menyelesaikan kuliah. Namun saya berusaha menjalaninya dengan tekun hingga akhirnya berhasil lulus tepat waktu.

Setelah empat bulan bekerja, saya ditawarkan untuk bekerja di perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama, Scape Design Associates.

Setelah proses negosiasi, mereka mau mensponsori visa kerja saya selama tiga tahun dan status visa saya berubah dari student visa menjadi visa kerja (Tier 2 Working Visa).

Sebagai non-EU immigrant, saya mendapati mencari pekerjaan di sini cukup sulit mengingat kita harus bersaing dengan orang-orang Inggris, Uni Eropa, dan beberapa negara lain yang yang berkesempatan mendapatkan UK Anchestry Visa seperti Australia - di mana mereka tidak membutuhkan visa kerja untuk bekerja di sini.

Salah satu rekan kerja saya yang berasal dari Thailand pernah mengatakan "we have to be twice as good as them" yang berarti kami sebagai kaum imigran harus lebih baik dibandingkan mereka yang mendapat banyak kemudahan tersebut. Saya sangat sepakat perkataannya itu.

Ini adalah tahun kedua saya bekerja di Inggris. Walaupun kadang perasaan khawatir masih muncul, karena pada dasarnya sebagai imigran di negara asing terkadang sulit untuk merasa nyaman dan betah.

Namun selama pekerjaan dan keuangan masih aman, saya rasa semuanya akan baik-baik saja. Dan tidak lupa untuk selalu berusaha menikmati hidup selain bekerja, karena London adalah salah satu kota tersibuk di dunia yang bisa berimplikasi negatif terhadap kesehatan mental jika tidak menjalani hidup yang seimbang.

Sempat khawatir sebelum pindah ke London kalau nanti saya akan sulit berinteraksi sosial dan berteman mengingat seorang teman pernah berkata kalau masyarakat London cukup tertutup.

Namun kenyataannya setelah berinteraksi langsung mereka sangat ramah, santun, dan solider. Hanya saja tidak pernah terbayang sebelumnya kalau cuaca di sini bisa sangat dingin dan jarang dikunjungi sinar matahari.

Tiga tahun berlalu semenjak keputusan untuk meninggalkan Uni Eropa, pemerintah Britania Raya masih menyelesaikan proses "perceraian" setelah alotnya proses persetujuan Brexit.

Saat ini saya melihat situasi politik yang terjadi cukup membuat jurang antara Brexiters dan remainers garis keras, hal ini kadang tercermin di kantor ketika pembahasan politik disuguhkan pada saat waktu senggang.

Saya berharap yang terbaik untuk Britania Raya dan semoga mendapatkan kesepakatan yang dibutuhkan kedua belah pihak saat meninggalkan Uni Eropa nanti.

Brexit tidak mengubah keinginan saya untuk tetap tinggal di sini selama masih diberikan kesempatan bekerja karena masih banyak pengalaman yang ingin dicapai dan memperluas kenalan untuk kepentingan masa depan apabila kembali ke Tanah Air nanti.

---

Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: [email protected] / [email protected] / [email protected]

(ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER