Hari 11:Kekhawatiran terbesar adalah karena saya masih tinggal dengan orangtua dan keluarga. Saya takut kalau ternyata saya membawa virus dan tentu keluarga saya adalah orang pertama yang mungkin tertular. Pikiran mengisolasi diri di tempat lain pun sempat terbenak dalam pikiran.
Namun saya akhirnya membuat jarak dengan memisahkan gelas dan tempat makan sendiri, mencucinya sendiri, menggunakan masker di rumah, serta semakin sering mencuci tangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setidaknya, buat saya itu salah satu cara untuk tak menjadikannya sebagai beban dan timbul kekhawatiran berlebih dalam diri.
Hari 12-15: Beberapa pertanyaan serupa sejak itu saya mulai abaikan atau jawab sekenanya. Kolom komentar di akun media sosial pun saya tutup sejak saya berada di Korea Selatan hingga selama isolasi diri demi menghindari komentar asal yang mempengaruhi kesehatan mental saya.
Beberapa hari awal berada di rumah saya berusaha membuat jarak dengan keluarga. Apalagi, di hari pertama saya mulai isolasi, Indonesia mengumumkan dua warga yang positif terinfeksi virus corona Covid-19 dan itu terjadi di Depok, dekat tempat tinggal saya.
Beberapa orang semakin intens menghubungi saya, apalagi ada yang sempat-sempatnya buat bertanya dan memojokkan dan membuat saya sedih dan tertekan.
"Duh ada warga Depok yang kena, bukan lo kan?"
Jujur pertanyaan seperti itu sempat membuat mental drop beberapa kali.
Hari 15:Selama dalam isolasi, rutinitas yang saya jalani tak jauh berbeda dari yang biasanya saya lakukan. Saya tetap bangun pagi, meski lebih santai karena tak diburu harus mandi, sarapan, dan bergegas memikirkan waktu tempuh ke kantor yang bisa sampai satu setengah jam.
Bila biasanya saya berangkat pukul 07.30 WIB, waktu itu kemudian saya gunakan untuk menyiapkan peralatan kerja. Waktu kerja saya pun akhirnya bisa mulai lebih cepat.
Keuntungan lain yakni keuangan saya jadi lebih hemat, karena saya tak perlu mengeluarkan uang untuk ongkos pergi dan pulang kantor atau makan siang.
Namun bukan berarti itu tak ada masalah yang dihadapi. Perkara alat kerja yang kurang memadai, koneksi internet lebih lemot hingga tiba-tiba mendapat pemadaman listrik bergilir, saya alami selama isolasi.
 Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa ilustrasi |
Hari 16-20:Perkara bosan pun saya hadapi, bila biasanya selesai bekerja bisa pergi dengan rekan kantor tapi kini saya harus mencari cara lain.
Sepekan awal rasanya memang lebih bebas terlebih dari kejenuhan padatnya KRL dan kemacetan Jakarta. Namun pekan berikutnya boleh diakui cukup mati gaya. Saya bingung apa yang harus dilakukan selain bekerja di kamar, dan melakukan rutinitas lainnya sendirian.
Setidaknya sudah dua serial di layanan streaming saya selesai nonton untuk mengatasi kebosanan selama isolasi. Cara lain yakni dengan memasak makan siang dan menjajal resep-resep baru. Beruntung keponakan dan sepupu saya sering berada di rumah. Buat saya itu jadi obat untuk berinteraksi dengan orang lain, meski harus ada sedikit jarak dulu.
Hari 20- hari terakhir isolasi:
Atasan saya di kantor masih rajin menanyakan perihal suhu tubuh dan juga dilakukannya. Saya beruntung karena si bos masih sangat perhatian akan kesehatan karyawannya.
Suhu tubuh selama dua pekan isolasi hanya berkisar di 35,8 C hingga yang tertinggi di 36,7 C. Suhu tertinggi saya dapat di dua hari terakhir isolasi, itu karena saya merasa kesehatan menurun karena menstruasi. Namun suhu itu pun masih normal.
Sekitar 14 hari berlalu saya tak merasakan gejala awal COVID-19. Saya sehat.
Hari 25:
Sebelum akhirnya mulai beraktivitas di kantor dan beraktivitas seperti biasa, saya ingin benar-benar menyakinkan kalau saya memang sehat tanpa virus corona dalam tubuh.
Kantor pun mewajibkan saya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan lebih dahulu dan mendapatkan surat keterangan sehat untuk bisa kembali bekerja. Upaya melakukan proses pemeriksaan ini pun tidak mudah.
Semula, saya mengunjungi rumah sakit terdekat, saat itu hanya diminta tes darah dan selesai mendapat surat keterangan sehat. Namun, biaya pemeriksaan itu saya tanggung sendiri karena klaim sehat disampaikan pihak rumah sakit tidak ditanggung asuransi.
Saat itu saya sudah siap kembali kantor, saya pun berani mengunjungi supermarket untuk sekadar cuci mata. Buat saya, mengunjungi supermarket menjadi kebahagiaan tersendiri setelah hanya berdiam diri di rumah selama dua pekan. Lihat-lihat dan membeli barang-barang yang sebenarnya tak dibutuhkan pun sempat terjadi.
Namun tak apalah, toh ini membuat saya senang.
Hari 26:Selang satu hari saya periksa, teman saya yang pergi bersama ke Korea mengabarkan kalau dia melalui proses pemeriksaan yang lengkap dan konsultasi langsung dengan spesialis Paru-paru. Dia periksa di rumah sakit berbeda.
Usai melakukan pemeriksaan, dia diminta beristirahat lagi selama tiga hari sambil mengonsumsi antibiotik sebelum dicek kembali setelah itu. Kekhawatiran pun muncul kembali dalam benak saya.
"Kok saya tidak diperiksa seperti itu? kok saya tidak di-rontgen?"
Saya pun akhirnya mencoba untuk periksa ulang, saya coba hubungi beberapa rumah sakit lain untuk menanyakan dokter spesialis paru-paru yang berjaga. Namun, begitu saya tiba di rumah sakit berbeda, penolakan terjadi.
Ketika ditanya keperluan ke dokter spesialis, saya menyatakan ingin melakukan pemeriksaan lengkap karena dua pekan lalu pulang dari luar negeri. Pihak RS mengatakan harus ke bagian IGD, ketika tiba di IGD saya menjelaskan hal yang sama dan tanpa keterangan atau pemeriksaan dahulu, saya langsung disuruh pergi ke rumah sakit rujukan. Saat itu saya tanpa gejala, bagaimana yang sudah ada gejala tapi tak didampingi? Tak ada rujukan tertulis dari rumah sakit tersebut untuk cek di rumah sakit lain?
Saya pun coba hubungi rumah sakit rujukan, tapi pemeriksaan tes corona di akhir pekan tidak ada. Alhasil, saya pun harus menunggu sampai hari kerja. Setelah bertanya-tanya, tesnya pun tidak ditanggung asuransi, harus dengan biaya sendiri. Ya sudahlah, yang penting saya benar-benar sehat.
(agn/chs)