SUDUT CERITA

Widya Astuti, Semangat Kartini di Ruang Isolasi Pasien Corona

CNN Indonesia
Selasa, 21 Apr 2020 14:09 WIB
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta, Kamis, 5 Maret 2020. CNNIndonesia/Safir Makki
Ilustrasi: Bukan risiko tertular virus corona yang membayangi Widya, salah satu perawat pasien Covid-19 ini lebih khawatir dengan stigma negatif sebagian masyarakat terhadap dirinya dan anggota keluarganya. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hari Kartini diperingati saban 21 April, bertepatan dengan kelahiran Raden Ajeng Kartini. Perempuan asal Jepara ini dianggap sebagai tokoh pergerakan dan emansipasi perempuan Indonesia. Ia berjuang dengan caranya untuk memberikan perubahan bagi perempuan.

Selama pandemi virus corona ini, kerja dan gerak serupa tengah dilakukan Widya Astuti dari ruang isolasi Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso.

Sejak pagi hingga jatuh petang, perempuan usia 36 tahun ini berkutat dengan pasien positif Covid-19. Ia melayani pasien, merawat dan mengupayakan kesembuhan mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi Widya, tak ada yang lebih menyenangkan dibanding penerimaan para pasien. Kalau sudah begitu, ia akan merasa letih seharian itu tak sia-sia.


Selama pandemi ini, setiap harinya ia harus mengurus dua pasien, dan selalu berbeda-beda. Perawat tak seperti dokter yang selalu mendapat pasien sama.

"Kami sistemnya shift saja, setiap shift pegang dua pasien. Nggak satu pasien [itu-itu] saja, misalnya A itu harus A terus. Karena kami kan yang shift berbeda-beda, otomatis kan kami ketemu semua pasien kan," ungkap Widya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.

Karena itu, sudah tentu karakter pasien yang ditemui pun beragam. Ada yang memintanya untuk berkali-kali datang ke ruangan, ada yang kebosanan, tapi ada pula yang lempang saja dan bisa diajak kerja sama.

Ruang isolasi tak seperti ruang perawatan pada umumnya. Petugas mesti menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap karena tingkat infeksi penyakit yang tinggi. Itu sebabnya, setiap kali masuk-keluar ruang isolasi, APD pun harus diganti. Setiap masuk menggunakan APD baru, dan keluar pun APD harus langsung dibuang.

Karena kekhususan ruang isolasi, Widya punya waktu tertentu yang sepenuhnya digunakan untuk penanganan total pasien. Mulai dari pencatatan tanda vital, memantau kondisi pasien hingga membantu segala kebutuhan pasien. Namun sekalipun sudah diinformasikan soal kekhususan ruang isolasi, kadang masih saja ada pasien yang membutuhkan bantuan di luar waktu rutin Widya menilik.

Widya Astuti, Semangat Kartini di Ruang Isolasi Pasien CoronaFoto: CNBCIndonesia/Andrean Kristianto


"Ngerjain apa saja yang diminta bantu pasien, itu kami kerjakan sampai pasien merasa nyaman, baru kami bisa keluar dari sana. kadang mereka minta bantu teh manis, karena posisinya pakai infus. Jadi ketergantungan pasien bukan karena ketergantungan total care-nya, tapi karena memang kami harus menyelesaikan semua tindakan di dalamnya, karena kami nggak bisa bolak-balik," tutur dia.

Penanganan terhadap pasien Covid-19 dibuat seefektif mungkin. Di ruangan itu saja ia bisa menghabiskan waktu hingga tiga jam. "Jam 10 kami masuk, maka harus diselesaikan semua. Makanya [mestinya] pasien nggak bisa panggil-panggil terus," kata dia lagi.

Namun tetap ada saja, pasien yang minta didatangi berkali-kali. Mau tak mau perawat pun harus bolak-balik masuk. Alhasil, mandi pun juga harus berkali-kali.

"Mandi sehari lebih dari tiga kali," ucap Widya diikuti tawa.

"Setiap masuk ke kamar pasien itu kami mandi. Tiba-tiba pasien manggil lagi, kami masuk lagi, kami pakai baju hazmatnya, keluar, mandi lagi, begitu," tutur dia lagi.

Semua itu dilakoni Widya begitu saja. Ia memahami kondisi pasien yang menjalani perawatan di ruang isolasi lebih berat dibanding pasien lain. Selama dirawat, pasien tidak boleh bertemu dengan siapapun, termasuk anggota keluarga. Komunikasi hanya bisa dilakukan melalui sambungan telepon atau video-call.

Karena itu kadang ia menjumpai, ada pasien yang sampai menangis atau ketakutan.

"Cuma kan orang sakit yang tidak bisa didatangi keluarga kan rasanya beda psikisnya, jadi mereka benar--benar sama kami. Ketika kami jam datang itu, mereka tunggu-tunggu," ungkap Widaya.


Ruang isolasi di RSPI Sulianti Saroso tak luas-luas amat, sekitar 3x3 meter persegi dilengkapi kamar mandi. Saking terbatasnya ruang gerak, pernah suatu kali pasien sambat pada Widya.

"Saya bingung ini, tiga langkah mentok, tiga langkah mentok, saya bingung mau ngapain," kata Widya menirukan.

Gerutuan itu terang ia respons dengan melempar senyum seraya meminta pasien untuk bersabar. Menghadapi kejenuhan pasien, yang bisa dilakukan Widya adalah memunculkan rasa nyaman dan aman. Sejurus kemudian ia biasanya akan mengajak pasien ngobrol lantas mendengarkan cerita mereka.

"Kami ajak bercanda saja, kami itu nggak serius gitu. Ketemu pasien ya ngobrol, anaknya berapa, begitu" tutur Widya yang sudah lima tahun bertugas di ruang isolasi.

Intensnya kontak dan interaksi langsung dengan pasien positif Covid-19 membuat perawat jadi salah satu profesi yang rentan tertular. Tapi bagi Widya, hal tersebut tak jadi soal. Prosedur yang njlimet, pengecekan dan kontrol yang ketat membuat ia merasa aman saat bertugas.

Dibanding risiko tertular, yang lebih ia cemaskan justru stigma sebagian masyarakat. Ia bercerita, sebagian rekan perawatnya sudah mengalami itu.

"Temanku ada yang baru nyadar, tetangga kiri-kananya sudah pada pindah kontrakan," ungkap dia.

[Gambas:Video CNN]

Ia takut, stigma serupa akan disematkan ke dirinya atau anggota keluarganya.

"Cuma yang aku khawatirkan kan tetangga. Tapi sebagian besar tetanggaku support. Cuma kan ada beberapa teman kosku yang diusir dari kosan. Makanya kami sekarang dikasih tempat di sini," cerita Widya yang selama bertugas terpaksa meninggalkan sang buah hati.

Sejak mula kasus virus corona merebak, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus sudah mewanti betapa bahayanya stigma negatif di tengah wabah. Situasi ini bisa menciptakan stereotip dan asumsi yang bukan saja memperluas ketakutan tapi juga merendahkan seseorang.

"Sejujurnya, stigma lebih berbahaya dibanding virus itu sendiri. Stigma adalah musuh yang paling berbahaya," kata Tedros beberapa waktu lalu.


Widya pun berharap pandangan negatif itu tak berlanjut. Ia meminta masyarakat saling mendukung tugas satu sama lain demi mengerem laju penyebaran virus corona ini.

"Tolong masyarakat nggak begitu-begitu amat, karena kan kami bukannya yang membawa virus ke mana-mana. Mereka harus tahu, saat kami mau pulang pun sudah melalui berbagai prosedur yang aman. Banyak prosedur yang kami lewati. Karena kami pun perawat nggak mau kan menularkan ke keluarga atau setiap yang kami temui di jalan." ia menjelaskan.

"Jangan melihat kami sebagai pembawa virus ke mana-mana, kami tidak minta dihargai, dipuji-puji, tidak. Tapi ya... jangan membuat kami begitu. Kami sudah menghadapi pasien, jangan buat kami merasa seperti orang yang harus dikucilkan. Rasanya kan, agak gimana gitu," ungkap Widya lagi. (nma)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER