Yang Perlu Ditempuh Agar Terhindar dari Gelombang Dua Corona

CNN Indonesia
Selasa, 19 Mei 2020 13:07 WIB
Petugas medis melakukan pemeriksaan cepat (rapid test) COVID-19 terhadap sejumlah pedagang di Pasar Botania 2, Batam, Kepulauan Riau, Jumat (15/5/2020). Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di sejumlah pasar tradisional. ANTARA FOTO/M N Kanwa
Ilustrasi: Pelbagai negara waspada akan gelombang dua virus corona, sejumlah ahli menyarankan beberapa langkah agar Indonesia terhindar dari itu. (Foto: ANTARA FOTO/M N Kanwa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia bisa saja mengalami gelombang kedua virus corona jika pemerintah dan masyarakat tak disiplin menangani wabahGelombang kedua terjadi ketika muncul kasus-kasus baru setelah kurva Covid-19 melandai atau mengalami penurunan stabil.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mewanti negara di seluruh dunia untuk bersiap menghadapi potensi kemunculan kembali infeksi virus corona. Ini karena beberapa negara seperti Korea Selatan, China, Singapura, juga Hong Kong yang sempat berada di titik nol pandemi tapi justru baru-baru ini melaporkan kembali kasus baru.

Sejumlah ahli berpendapat, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan agar terhindar dari gelombang kedua. Mulai soal penghimpunan data kasus Covid-19 hingga tertib mematuhi protokol kesehatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Waktu pelonggaran yang tepat
Virus SARS-CoV-2 ini tak bisa 'berkeliaran' dengan sendirinya. Virus corona penyebab Covid-19 menyebar dengan dibawa oleh manusia. Karena itu Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio memperingatkan soal pentingnya membatasi perjalanan diikuti dengan tertib menerapkan physical distancing.

"Jadi masyarakat harus betul-betul menerapkan itu, dengan konsisten. Dan sisi lain, tugas kita bersama untuk mendeteksi secara tepat mereka yang membawa virus, contact tracing menjadi penting, lalu prosedur karantina mandiri," lanjut Amin kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.

Perpindahan atau pergerakan orang ini juga berkaitan dengan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengungkapkan waktu pelonggaran PSBB yang tak tepat bisa memicu kemunculan gelombang kedua virus corona.

"Karena kelihatannya sekarang saja sudah ada upaya-upaya pelonggaran--apakah itu tepat atau tidak tepat [belum dipastikan]--kemungkinan kalau kita ikut-ikutan saja dengan negara yang sebetulnya sudah lebih dulu," terang Tri Yunis kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.

Seorang warga yang terjaring razia penindakan pelanggaran aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Satpol PP menjalani hukuman dengan cara membersihkan sampah di Tanah Abang, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Pemprov DKI Jakarta mulai memberlakukan sanksi sosial terhadap pelanggar PSBB yaitu dengan memakaikan rompi bertuliskan pelanggar PSBB saat mereka membersihkan fasilitas umum. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.Ilustrasi: Waktu pelonggaran PSBB yang tidak tepat salah-salah bisa memicu kemunculan gelombang kedua virus corona. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)


Itu sebab, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini menyarankan pemerintah menimbang matang waktu berikut daerah mana saja yang layak dilonggarkan. Itu pun, lanjut Tri Yunis, bukan berarti bebas berkeliaran seperti semula saat sebelum ada wabah corona. Protokol kesehatan dan evaluasi berkala tetap harus dilakukan.

Deteksi yang cepat dan data sebanyak mungkin
Untuk menentukan waktu yang tepat maka keberadaan data menjadi penting. Keputusan kebijakan penanganan Covid-19 memang semestinya ditempuh bertolok pada kurva epidemi yang menunjukkan pergerakan kasus.

Kurva epidemi ini berbeda dengan data yang setiap hari diumumkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pemerintah.

Ahli epidemiologi dan biostatistik, Iqbal Elyazar menjelaskan kurva epidemi merupakan alat visualisasi yang buat oleh para peneliti berdasar data real time sehingga penghitungan pun akurat. Pendek kata, laporan pemeriksaan spesimen di setiap rumah sakit atau laboratorium daerah harus diberikan langsung ke pusat tanpa menunggu hasil pemeriksaan.


Sebab Iqbal menerangkan, penghitungan dalam data ini adalah waktu munculnya gejala Covid-19 pada seseorang.

"Hasil sampel bisa 3-5 hari kemudian baru dilaporkan ke Litbangkes, padahal yang penting adalah tanggal munculnya gejala," jelas Iqbal yang juga peneliti Eijman tersebut melalui video conference.

Sehingga jika banyak muncul orang dengan gejala maka kurva pun akan terus menunjukkan tren peningkatan kasus. Ia menambahkan, pemerintah bisa memastikan kapan waktu yang tepat untuk melonggarkan maupun memperketat PSBB dengan melihat kurva epidemi.

Namun sayangnya, hingga kini para ahli mengaku kesulitan membuat kurva epidemi lantaran pemerintah dianggap belum memberikan transparansi data Covid-19. Sebab kata Iqbal, belum ada tanggal pemeriksaan dan jumlah kasus meninggal tanpa hasil uji laboratorium. Alhasil para ahli menyusun prediksi berdasar data dari luar negeri.

Infografis Prediksi Pandemi Covid-19 BerakhirFoto: CNNIndonesia/Basith Subastian
Infografis Prediksi Pandemi Covid-19 Berakhir


Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute, Amin Soebandrio soal pentingnya pemeriksaan kasus positif. Semakin banyak tes dilakukan maka kian kuat menekan kemunculan gelombang kedua virus corona.

"Semakin banyak tes itu sangat berpengaruh. Kan salah satu step-nya adalah secepat mungkin mendeteksi mereka yang sudah positif. Itu berarti kemampuan mengujinya juga harus meningkat, dan artinya, jumlah tes harus ditingkatkan dan pelaporan hasilnya harus dipersingkat," tutur Amin kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.

Instruksi serupa diungkapkan Presiden Joko Widodo terkait peningkatan jumlah tes hingga 10 ribu per hari. Namun fakta di lapangan, tak bisa sebanyak itu.

"Saat ini kan masih hanya separuhnya, 5.000 sampai 6.000 tes. Tidak ada [jumlah] idealnya berapa. Sebanyak mungkin. Tapi kan Indonesia begitu besar. Artinya kalau 10 ribu tes per hari maka seratus hari ke depan sudah satu juta tes. Sepertinya sudah banyak, tetapi itu baru seper 250-nya," ungkap Amin Soebandrio lagi.


Tertib menerapkan protokol kesehatan
Saat penelusuran pasien positif Covid-19 telah cepat dan masif dilakukan, maka yang penting berikutnya adalah proses karantina. Langkah ini untuk memastikan virus tak menyebar ke banyak orang dan lokasi lain.

"Jadi jangan sampai ada orang yang positif lalu sehat, itu melarikan diri atau tidak menjalani prosedur karantina," kata Amin Soebandrio.

Setelah ada pelonggaran pembatasan aktivitas, bukan berarti sepenuhnya bebas seperti saat wabah belum terjadi. Masyarakat tetap harus menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan serta menggunakan masker.

Menyusun tahapan kebijakan
Pencegahan kemunculan gelombang kedua harus diantisipasi dengan penyusunan tahapan kebijakan yang tepat. Misalnya, jika sebuah daerah memutuskan untuk melonggarkan PSBB maka pemerintah setempat juga perlu melakukan analisis terlebih dulu terkait sektor mana yang aman untuk dikendurkan.

"Daerahnya tepat, dan caranya tepat. Artinya yang dilonggarkan itu pelan-pelan. Dengan melakukan analisis kira-kira sektor mana yang aman dilonggarkan, ini belum tentu sama di setiap daerah," ia menekankan.

[Gambas:Video CNN]

"Misalnya di suatu daerah, sekolah yang aman [dilonggarkan]. Kalau perlu dilakukan survei sebulan dulu, kalau tidak ada kasus yang dilonggarkan lagi. Tapi kalau tidak memungkinkan survei," lanjut dia.

Namun jika metode uji coba survei kebijakan itu tak memungkinkan, maka pemerintah daerah bisa menerapkan asalkan sudah didahului dengan analisis kondisi. Bila ternyata setelah dilonggarkan muncul kasus baru, maka pemda harus sigap untuk mengubah kebijakan.

Dukungan terhadap pasien positif dan keluarga
Peran masyarakat juga penting untuk mencegah kemunculan gelombang kedua virus corona. Salah satunya dengan memberi dukungan dan tidak memberikan label negatif pada pasien positif Covid-19 juga keluarga.

"Peran pemerintah untuk mengecek [kasus], tidak hanya pemerintah, swasta juga, masyarakat juga. Kalau ada yang positif, bukannya menimbulkan stigma, tapi masyarakat mengetahui bahwa orang itu harus dikarantina dan harus didukung, bukannya dikucilkan," tutur Amin Soebandrio.


"Masyarakat di sekelilingnya harus men-support hidupnya sehingga orang itu tidak keluar-keluar. Kalau masyarakatnya tidak peduli, maka orang itu akan keluar-keluar," kata dia lagi.

Sejak mula kasus virus corona merebak, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus sudah mewanti betapa bahayanya stigma negatif di tengah wabah. Situasi ini bisa menciptakan stereotip dan asumsi yang bukan saja memperluas ketakutan tapi juga merendahkan seseorang.

"Sejujurnya, stigma lebih berbahaya dibanding virus itu sendiri. Stigma adalah musuh yang paling berbahaya," kata Tedros beberapa waktu lalu. (nma)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER