Melewatkan Pemakaman Ayah Karena Pembatasan Perjalanan

CNN Indonesia
Selasa, 09 Jun 2020 13:34 WIB
A driver looks at an arrivals board after most incoming flights have been canceled due to the new coronavirus at the Haneda International Airport in Tokyo, Friday, April 3, 2020. (AP Photo/Jae C. Hong)
Ilustrasi. Suasana sepi di Bandara Internasional Haneda, Jepang. (AP Photo/Jae C. Hong)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika ayahnya meninggal, Julie Sergent menghadapi keputusan yang dilematis sekaligus menyedihkan: jika dia terbang dari Jepang untuk menghadiri pemakaman di Prancis, dia tidak akan diizinkan kembali ke Jepang.

Di seluruh Asia, penguncian dalam negeri yang diberlakukan untuk menekan penyebaran virus corona sedang mereda, tetapi pembatasan perjalanan internasional di kawasan ini tetap ketat.

Banyak negara telah melarang non-warga negara untuk masuk hingga menutup perbatasan, dengan konsekuensi yang menyedihkan bagi sebagian orang yang tinggal jauh dari keluarga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Jepang, warga negara dapat pergi dan masuk kembali ke negara itu. Mereka yang datang dari daerah berisiko tinggi diuji untuk virus pada saat kedatangan dan diminta untuk melakukan karantina.

Tetapi penduduk asing, bahkan mereka yang memiliki hubungan jangka panjang atau menikah dengan warga Jepang, tidak dapat melakukan hal yang sama.

Itu membuat Sergent dalam situasi yang sulit ketika ayahnya meninggal mendadak pada bulan April: jika dia pergi ke Prancis, dia akan terdampar di sana.

"Saya mungkin akan kehilangan pekerjaan, apartemen, penghasilan," katanya.

Wanita berusia 29 tahun itu diberitahu bahwa dia mungkin bisa mengajukan permohonan perjalanan kemanusiaan, tetapi tidak ada waktu untuk mengurus permohonan dalam jangka waktu dua hari sebelum pemakaman.

"Ibu saya sangat terpukul. Saya adalah satu-satunya di keluarga yang tidak bisa menghadiri pemakaman ayah saya," katanya seperti yang dikutip dari AFP pada Selasa (9/6).

"Kakak dan adikku mengatakan kepadaku bahwa mereka menulis pesan di selembar kertas kecil dan meletakkannya di jaket ayah saya. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa saya lakukan," tambahnya.

A woman walks through the empty ticketing area at Haneda International Airport in Tokyo, Friday, April 3, 2020. (AP Photo/Jae C. Hong)Suasana sepi di Bandara Internasional Haneda, Jepang, pada 3 April 2020. (AP Photo/Jae C. Hong)

'Tidak ada orang lain'

Yukari, yang meminta untuk diidentifikasi dengan nama depannya saja, menghadapi situasi yang sama.

Dia setengah-Amerika, setengah-Jepang dan tinggal di Tokyo bersama suaminya yang merupakan penduduk Jepang dan putra mereka yang berusia sembilan tahun.

Tetapi dia tidak memiliki kewarganegaraan Jepang dan bakal menghadapi pemisahan dengan putra dan suaminya jika dia bepergian ke Amerika Serikat (AS), di mana ibunya sedang berjuang melawan kanker.

"Saya ... satu-satunya keluarga dekat yang dia miliki. Tidak ada orang lain ... di AS," katanya kepada AFP.

Ibunya didiagnosis menderita kanker saluran empedu pada bulan Maret, dan pada bulan April dokternya memperingatkan bahwa ia mungkin hanya memiliki waktu beberapa minggu untuk hidup.

Biasanya, Yukari akan langsung terbang dengan penerbangan pertama, tetapi sebaliknya, dia terpaksa mengandalkan teman-teman keluarga untuk membantu ibunya.

Saat ini kesehatan ibunya telah stabil, meskipun kankernya belum hilang.

"Saya berbicara dengan para perawatnya, dan salah satu dari mereka berkata 'Saya pikir dia bertahan, untuk melihat Anda sekali lagi'. Itu terdengar menyedihkan. "

The airport driveway is empty with most international flights canceled at the Narita International Airport in Nairta, near Tokyo, Wednesday, April 1, 2020. (AP Photo/Jae C. Hong)Suasana sepi di Bandara Internasional Narita, Jepang, pada 1 April 2020. (AP Photo/Jae C. Hong)

Pengecualian kemanusiaan?

Di tempat lain di Asia, peraturannya bahkan lebih ketat, dengan negara-negara seperti Mongolia secara efektif menyegel perbatasannya secara total. Bahkan penduduk hanya bisa masuk kembali ke negara itu dengan penerbangan evakuasi yang langka.

Itu membuat orang-orang seperti Nyamtseren Erdenetsetseg dan suaminya Sukhbaatar Dorj, yang terjebak di Korea Selatan, tidak punya kesempatan pulang dan tidak tahu kapan mereka akan melihat anak-anak mereka di Mongolia lagi.

Pasangan itu pergi ke Korea Selatan pada Januari untuk mengunjungi ibu Erdenetsetseg, yang tinggal di Seoul. Mereka meninggalkan kelima anak mereka bersama ibu Dorj saat mereka pergi.

Tetapi pada 23 Februari, Mongolia mengumumkan melarang masuknya pendatang dari Korea Selatan, yang meninggalkan pasangan itu terdampar.

Mereka mencoba mendapatkan tempat duduk dalam penerbangan evakuasi, dan kemudian pada 3 Mei, ibu Dorj meninggal mendadak.

Kakak perempuannya telah mengasuh anak-anak pasangan itu, yang bertanya kepada orang tua mereka di telepon kapan mereka akan kembali.

"Saya tidak mengatakan apa-apa," kata Erdenetsetseg. "Saya tidak ingin harapan mereka sia-sia."

Dia bahkan mempertimbangkan untuk membiarkan visa Korea-nya berakhir daripada memperpanjangnya, dengan harapan pihak berwenang akan mendeportasinya. Tetapi melakukan itu berarti dia akan dilarang dari Korea Selatan di masa depan.

Di beberapa tempat, ada tanda-tanda perubahan sementara. China telah memulai melonggarkan pembatasan perjalanan untuk beberapa perusahaan asing dan meningkatkan jumlah penerbangan internasional.

Dan pada awal Juni, pemerintah Jepang mengatakan warga asing sekarang "mungkin diberikan" pengecualian perjalanan kemanusiaan, yang menjadi kesempatan bagi Yukari untuk melihat ibunya.

"Saya hanya berdoa itu ... saya bisa pergi dan melihatnya untuk yang terakhir kalinya."

(afp/ard)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER