Love Story: Cincin Kawin yang 'Tak Sengaja' Melekat di Jari

CNN Indonesia
Selasa, 16 Jun 2020 15:53 WIB
Ilustrasi Love Story Terpaksa Menikah
"Saya berpikir, kalaupun saya menikah, pasti bukan berdasarkan cinta, tapi lebih karena keharusan." (CNNIndonesia/Basith Subastian)
Jakarta, CNN Indonesia --

Anda tahu rasanya ditanya kapan nikah oleh hampir semua orang di saat usia sudah menunjukkan masa 'rawan' bagi seorang perempuan? Menjemukan.

Itu lah yang selalu saya alami sebagai perempuan yang telah menginjak usia lebih dari 30 tahun dan masih melajang. Usia 30-an menjadi momok bagi sebagian perempuan yang belum menikah. Pelan-pelan pertanyaan itu jadi ibarat pertanyaan 'sudah makan atau belum?' dari seorang pacar yang tak pernah absen setiap harinya. Lama-lama, saya terbiasa.

Mungkin saya memang terlalu santai. Saya terlalu tak peduli dengan status lajang yang masih saja menempel. Sejujurnya, justru hubungan-lah yang membuat saya takut.

Nama saya Leksa.

Saya tidak percaya jika sebuah hubungan akan selalu bahagia sampai maut memisahkan. Kala itu saya berpikir, kalaupun saya menikah, pasti bukan berdasarkan cinta, tapi lebih karena keharusan.

Dan, apa hasilnya saat ini? Kini saya telah menikah dan menjadi istri dari seorang pria yang belum sepenuhnya saya kenali dan cintai. Saya menikah karena keharusan.

Kisah dimulai oleh peristiwa patah hati yang teramat sangat pada beberapa tahun silam. Saya pernah hampir menikah dengan seseorang yang sangat saya sayangi. Berbagai harapan manis tentang masa depan berkait kelindan setiap kami saling menatap.

Tapi, impian pernikahan yang agung dan cantik itu batal karena kehadiran seorang perempuan lain. Klise, ya? Memang.

Couple going though difficult times during a road trip.Ilustrasi. Patah hati di masa lalu membuat Leksa trauma untuk menjalani jalinan asmara yang baru. (Istockphoto/Ferrantraite)


Praktis sejak saat itu, sikap skeptis memandang jalinan asmara tumbuh subur dalam diri saya. Saya tak mau menjalin hubungan dengan laki-laki jika harus lebih dari sekadar teman dekat. Trauma? Bisa jadi.

Tapi waktu terus berjalan, usia kian bertambah. Semua orang menginginkan saya menikah. Harapan manis yang membuat kepala saya justru pusing bukan kepalang.

Apakah kadar bahagia seorang perempuan hanya diukur dari pernikahan? Bukankah pernikahan adalah awal dan bukan akhir dari perjalanan? Carut marut pikiran saya dibuatnya, hingga 'bencana besar' itu datang.

Sebagai seseorang yang tak lagi percaya pada cinta, saya iseng saja berkenalan dengan banyak laki-laki melalui berbagai platform digital. Tak ada sedikit pun niat untuk mencari pacar, apalagi pasangan hidup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya tak menggunakan Badoo atau Tinder untuk mengeluarkan hasrat keisengan ini. Saya terlalu malas untuk memasang foto dengan angle terbaik dan memajangnya di sana.

Alih-alih aplikasi kencan yang marak itu, saya justru lebih tertarik dengan mIRC, sebuah ruang virtual yang sangat acak. Saya tak peduli dengan karakter mIRC yang sangat acak. Bukan kah kehidupan kita ini begitu acak dan penuh kejutan?

*****

Sore itu cukup mendung. Sambil menyesap hangatnya kopi ditemani alunan musik yang sedang populer dan ingar-bingar orang lalu lalang, jemari saya sibuk membalas beberapa pesan yang masuk sambil menunggu kehadiran seorang teman virtual yang saya kenal di mIRC.

"Leksa?" tanya seorang pria berperawakan tinggi yang tiba-tiba saja menghampiri.
"Iya. Ivan, ya?" tanya saya yang disambut anggukan kepala laki-laki itu.

Belakangan, Ivan menunjukkan ketertarikannya pada saya. Bukannya baper, tapi di usia seperti saya sekarang, rasanya sangat mudah menafsirkan apa yang mereka mau tanpa harus 'nembak' secara langsung. Ivan juga sudah mengutarakan keinginannya untuk menjadi pacar saya.

Tapi, seperti yang sudah-sudah, saya hanya akan menjawab dengan kalimat:
"Malas, ah, pacaran. Kalau mau serius, langsung aja ketemu orang tua dan lamar aku."

Rangkaian kalimat itu selalu saya jadikan 'senjata' dalam melampiaskan hasrat iseng seorang perempuan yang sudah tak lagi percaya pada jalinan hubungan asmara. Eh, apakah saya terlihat menantang?

Bukannya sok cantik menolak beberapa laki-laki yang mendekati, tapi hati saya memang belum tergerak untuk menjalin hubungan serius. Saya belum siap terluka atau ditinggalkan lagi seperti dulu. Lucu, ya? Patah hati membuat saya belum bisa berdamai dengan masa lalu meski dua tahun telah terlewati.

Selama fase itu, bagi saya, laki-laki datang dan pergi. Seperti Ivan yang tiba-tiba saja menghilang dari peredaran, berganti dengan kehadiran Rio, si pria baru yang, ehm, kini menjadi suami saya tanpa diduga-duga dengan proses yang tak ubahnya 'olahraga kardio' bagi saya.

Finding love online with dating sitesIlustrasi. Ruang virtual dipilih Leksa untuk menyalurkan hasrat keisengannya berkenalan dengan banyak laki-laki. (Istockphoto/Ravi_Goel)


Awalnya, perlakuan saya terhadap Rio sama seperti dengan yang lainnya: berteman baik. Oke lah, berteman mah bebas dengan siapa saja, begitu pikir saya kala itu.

Pertemanan saya dan Rio berjalan seperti biasa. Sampai pada satu titik, Rio datang menemui saya dan sama seperti yang lainnya, mengajak saya berpacaran.

Seperti biasa, hasrat iseng saya muncul lagi. Kalimat jampe-jampe di atas keluar lagi dari mulut saya. Tapi kali ini untuk Rio.

"Oke. Mau kapan?" jawab Rio, yang membuat saya kaget sesaat.
"Ya, terserah bisanya kapan," balas saya cepat-cepat menutupi kekagetan saya.

Tak dinyana, Rio serius dengan ucapannya. Dia bahkan bertanya, apakah perlu membawa orang tuanya turut serta.

Jujur saja, saya takut. Saya kaget bukan main. Kenapa bisa jadi seperti ini?

Nasi sudah menjadi bubur, mau tak mau saya sampaikan niat Rio kepada orang tua. Edodoe.. Mama saya malah menyambut riang karena senang anak kesayangannya mau mengenalkan seorang laki-laki kepadanya.


Rio datang menepati janji dan membawa serta kedua orang tuanya. Pembicaraan kemudian menjadi serius ketika mama menanyakan kapan Rio akan menikahi saya.

"Kita pilih bulan dulu aja, ya. Bagaimana kalau Agustus setelah Lebaran?" ujar mama.

Anda tahu? Rasanya jantung saya mendadak ingin lompat dari tempatnya. Bagaimana mungkin saya menikahi laki-laki yang baru beberapa bulan saya kenal? Saya merasa belum mengenal Rio, apalagi mencintainya. Ah, bagaimana bisa?

Sementara mereka asyik berbicara soal tanggal pernikahan, pikiran saya malah melanglang buana mencari cara agar pernikahan diundur sampai saya benar-benar merasa siap. Kala itu Mei 2019, pemilihan bulan pernikahan yang terlalu cepat buat saya.

Saya sadar bahwa bagaimana pun juga saya memang harus menikah. Tapi tidak dalam waktu tiga bulan, tidak secepat ini juga.

Mendadak pikiran saya diliputi rasa takut yang teramat sangat. Betul, saya harus bagaimana? Apa yang harus saya lakukan agar setidaknya ada jeda waktu untuk berpikir jernih?

Konon, kita seharusnya berbahagia menyambut hari pernikahan. Tapi kenapa pernikahan justru jadi hantu yang sangat menakutkan bagi saya? Saya menarik napas panjang, mencoba tetap tenang dan tersenyum di hadapan semua orang.

"Tenang, Leksa. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar saya dalam hati. Entah sudah berapa ratus kali kalimat itu saya ucapkan ulang hingga saya merasa tenang betul.

Saya mulai memikirkan semua orang yang terlihat bahagia mendengar keputusan pernikahan kami. Tak tega pula rasanya menghancurkan hati mereka semua jika saya menolak rencana pernikahan ini.

Lagi pula ini adalah ulah saya. Ini adalah akibat saya yang selalu menyepelekan keseriusan seseorang. Jadi, mungkin ini memang sudah konsekuensi.

Tiga bulan adalah waktu yang singkat. Tapi, akhirnya cincin kawin ini melekat di jari manis saya, Rio juga yang memasangkannya.

Proses pernikahan terasa sangat melelahkan dan penuh drama. Betapa tidak, saya mempersiapkan pernikahan dibarengi dengan perasaan waswas akan mahligai rumah tangga itu sendiri. Napas mendadak sesak setiap kali menyadari bahwa saya akan menikahi seseorang yang belum saya cintai.

Kehidupan tentu tak hanya berakhir di pelaminan. Problematika hidup yang sebenarnya dimulai ketika saya sudah menikah.

Hari demi hari saya belajar bagaimana caranya untuk membuka hati kepada Rio. Tentu tak adil jika saya hidup bersamanya tanpa sedikit pun mencintainya.

Tulisan ini merupakan kiriman pembaca CNNIndonesia.com, Leksa Ningrum (32).

(asr/asr)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER