LOVE STORY

Lewat Corona, Semesta Minta Saya Lebih Mencintai Diri Sendiri

CNN Indonesia
Minggu, 19 Apr 2020 11:07 WIB
Ilustrasi Love Story - Love Yourself
Alih-alih gelisah dan menggerutu bosan, saya justru menikmati masa karantina. Masa karantina jadi waktu tepat untuk belajar lebih mencintai diri sendiri.(CNN Indonesia/Fajrian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hai, dunia luar! Apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja.

Sudah lebih dari lima pekan saya tak bertemu dengan dunia luar. Dunia luar tak ubahnya barang antik untuk saat ini bagi kita, para penghuni Bumi Pertiwi yang tengah berdoa agar pandemi Covid-19 yang sedang menjejakkan kakinya di Nusantara segera berakhir.

Masa karantina mandiri mungkin bukan perkara mudah. Rasa cemas dan bosan ditambah pola hidup harian yang berubah membuat berada di rumah terasa seperti dalam kurungan penjara. Apa lacur, stres pun pada akhirnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi, hal itu tak berlaku bagi saya. Alih-alih gelisah dan menggerutu, saya justru menikmatinya. Ada sesuatu yang terasa nikmat di masa karantina ini. Sesuatu itu adalah 'kesempatan' langka yang sulit saya dapatkan selama sibuk beraktivitas di Jakarta.

Bagi saya, masa karantina adalah kesempatan untuk beristirahat dari segala hiruk pikuk harian yang selalu bikin kepala hampir pecah. Waktu untuk menikmati keheningan dan belajar lebih mencintai diri sendiri.

Ketenangan, keteraturan, dan gairah adalah tiga hal yang paling saya rindukan dari kehidupan. Keduanya hilang ditelan ingar-bingar ibu kota.

Kondisi diperparah dengan peristiwa traumatis dan diagnosis gangguan cemas-panik dari dokter pada beberapa bulan ke belakang. Fase tersuram sepanjang 32 tahun kehidupan yang membuat hari-hari kian kacau balau.

Belum lagi kebiasaan diri untuk membiarkan otak 'memelihara' banyak pikiran yang membuat saya merasa tak pernah bisa untuk hadir sepenuhnya dalam kehidupan. Mencintai diri sendiri jadi utopis.

Tapi, terima kasih masa karantina! Karena masa karantina mandiri, saya punya kesempatan untuk mencintai diri sendiri dengan kembali menata hidup yang kadung berantakan.

Ilustrasi. Pandemi Covid-19 membuat masyarakat harus terus menerus berada di rumah. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Tepat sejak 12 Maret lalu, saya 'curi start' mengungsi ke kampung halaman, Bandung. Di salah satu sudut utara Kota Kembang ini, saya menjalani hari-hari yang-menurut saya-nyaris sempurna.

Secangkir jahe hangat bercampur irisan lemon dan madu selalu menyambut saya di pagi hari. Suara kucing-kucing yang mengeong minta makan menghangatkan pagi yang dingin hingga 19 derajat Celcius. Tak ada yang mengganggu. Hanya ada saya, adik, dan ibu yang sibuk menyiapkan makanan untuk kucing-kucing kesayangan kami. Kasih sayang yang hangat begitu saja hadir sepenuhnya di antara kami.

Mengikuti anjuran, saya kemudian menyempatkan diri untuk berjemur. Saya habiskan dengan berjalan kaki atau berlari kecil keliling komplek kecil ini. Menghirup aroma segar perbukitan, menengok kupu-kupu yang 'berpacaran', dan mendengarkan suara kumbang serta arus air sungai dari kebun belakang.

Terkadang, kegiatan berjemur dihabiskan dengan bermain badminton bersama adik. Ibu biasanya berperan sebagai pemandu sorak yang menertawakan aksi kami yang saling menyalahkan saat kok harus melayang nyasar ke rumah tetangga. Kami pun saling melepas tawa.

Kau tahu? Badminton sedang ngetren di komplek tempat saya tinggal. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang sadar akan kesehatan dan mau berolahraga. Seperti saya, yang sebelumnya hanya menyediakan waktu berolahraga di akhir pekan. Itu pun kalau tidak malas.

Selepas berjemur, saya bermeditasi dan 'bersembunyi' di beranda lantai atas rumah. Saya tarik dan embuskan napas secara sadar dan perlahan. Saya rasakan lembut angin pagi yang membelai kulit dan membuat rambut bergerak-gerak kecil. Menyadari kehadiran seekor capung yang sibuk terbang mengitari tubuh. Ah, tenang yang tiada tara..

Ilustrasi. Daripada mengeluh dan berteriak kebosanan, lebih baik manfaatkan masa karantina untuk mencintai diri sendiri. (CNN Indonesia/Fajrian)

Hujan biasanya mengguyur Bandung di malam hari. Secangkir teh chamomile selalu membuatnya hangat di setiap malam. Belum lagi kalimat-kalimat nyeleneh Eric Weiner dalam bukunya, The Geography of Bliss, yang selalu berhasil membuat saya cekikikan dengan bibir sedikit mencong seraya menggeleng-gelengkan kepala. Jenaka nian jurnalis satu ini!

Itu adalah momen me-time yang selalu saya lakukan di malam hari. Sejak pukul delapan malam, aroma serai dari lilin mulai memenuhi seisi ruang kamar. Apa pun dilakukan demi rasa nyaman sebelum tidur, termasuk perlahan meninggalkan si ponsel pintar yang kerap mengganggu waktu istirahat saya.

"Lucu, saya pikir. Saya baru tahu kalau seorang penyembah berhala meminum cappuccino," tulis Weiner saat bergerutu mengomentari kisah kebahagiaan kehidupan para penganut pagan di Islandia. Caranya menggerutu mengisahkan kebahagiaan di setiap negara selalu berhasil membuat saya tertawa geli, bahkan berkhayal bahwa saya sedang berada di negara yang tengah diceritakannya.

Sambil berkhayal, alunan lembut "Claire de Lune" berbisik di telinga. Dentingan piano Claude Debussy itu selalu mengingatkan saya pada kepiawaian mendiang ayah saat bermain piano. Mencari kedamaian dengan merasakan jari-jemarinya yang bergerak lincah di antara tuts piano, seolah setiap jarinya memiliki mata.

Usai itu, giliran saya 'bermonolog' di dalam buku catatan harian. Mencoba mengenali lebih jauh berbagai kecemasan dan harapan dalam diri. Buku catatan harian tak ubahnya tempat bagi saya untuk lebih mengenal diri sendiri.

Pencarian kedamaian dilanjutkan dengan meditasi dalam keheningan. Bertemankan cahaya api, saya menikmati keheningan dengan mata terpejam kurang lebih 30 menit sebelum akhirnya beranjak ke kasur, menarik selimut, dan memeluk guling tersayang.

Voila! Hasilnya adalah tidur yang nyenyak dengan waktu yang selalu sama setiap harinya.

Lagi-lagi sebuah kemewahan. Sebelum badai corona menerpa, jangankan menjaga pola tidur, mata yang mengantuk pun biasanya tak mengganggu keasyikan berselancar di dunia maya sambil berbaring di atas kasur.

Ilustrasi. Melakukan segala sesuatu dengan penuh kesadaran atau mindfulness dapat mengatasi kebosanan dan kecemasan selama berada di rumah saja. (Istockphoto/PeopleImages)

Selama lebih dari lima pekan, hal-hal di atas menjadi rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Eh, tidak! Bukan rutinitas, saya lebih senang menyebutnya ritual. Tak seperti rutinitas harian yang cenderung bergerak secara autopilot, bagi saya, ritual dilakukan dengan penuh kesadaran dan membuat saya hadir sepenuhnya.

Selama masa karantina ini, saya punya banyak waktu untuk menata hidup. Keberadaan ritual harian membuat saya hadir dan sadar sepenuhnya melakoni hari demi hari.

Ibarat jam tangan, tubuh sadar akan 'aturan' waktunya sendiri. Ia akan mengantuk pada waktu yang sama. Ia akan mencari sinar matahari pada waktu yang sama. Pelan-pelan, pola hidup kembali teratur.

Tak ada sedikit pun rasa bosan. Alih-alih bosan, saya justru sangat menikmatinya.

Saya tak pernah membiarkan waktu luang terbuang sia-sia. Saya berikan sepenuhnya waktu luang pada rentetan hobi yang terlupakan selama ini. Saya kembali menyulam, melukis, bermain guitalele sambil bernyanyi, atau sesekali menari bersama ibu. Semangat yang sempat hilang itu telah kembali, sayang!

Apakah saya lantas sembuh? Tentu saja tidak. Saya tak menolak rasa cemas yang terus eksis. Saya tetap rutin mengecek suhu tubuh setiap pagi dan sore. Haha. Saya takut tiba-tiba merasakan gejala demam Covid-19.

Cemas tetap menjadi nama tengah saya. Tapi cemas tak lagi jadi satu hal yang saya takuti dan memicu panik, melainkan jadi kondisi yang keberadaannya saya terima sepenuhnya. Saat saya belajar mencintai diri sendiri, maka saya harus belajar menerima kondisi diri seutuhnya, bukan?

Sungguh sebuah kemewahan yang jarang saya dapatkan sebelumnya. Kembali mencapai kehidupan yang tenang, teratur, dan bergairah adalah tanda bahwa saya telah kembali mencintai diri sendiri.

Mencintai diri sendiri kini tak lagi utopis.

*****

Tak seperti biasanya, malam ini hujan tak mengguyur Kota Bandung. Suara jangkrik menemani saya 'bermonolog'.

Saya buka buku catatan harian, dan menulis, "Ya, lewat karantina, Semesta minta saya belajar mencintai diri sendiri dan kembali menata hidup."

Tulisan ini merupakan pengalaman dari pembaca CNNIndonesia.com, Angkusa (32 tahun), selama menjalani masa karantina mandiri di tengah pandemi Covid-19.
(asr/asr)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER