Studi: Sindrom Patah Hati Meningkat Selama Pandemi Covid-19

CNN Indonesia
Jumat, 10 Jul 2020 22:16 WIB
An ECG heart monitor printout with a stethoscope
Ilustrasi: Penelitian menunjukkan tekanan fisik dan mental akibat kondisi sosial-ekonomi masa pandemi Covid-10 menyebabkan lebih banyak orang mengalami sindrom patah hati. (Foto: Istockphoto/clubfoto)
Jakarta, CNN Indonesia --

Broken heart syndrome atau sindrom patah hati meningkat selama pandemi Covid-19. Penelitian terbaru menunjukkan tekanan fisik dan mental akibat kondisi sosial dan ekonomi pada masa pandemi virus corona membuat banyak orang mengalami sindrom patah hati.

Sindrom patah hati ini bukanlah sindrom putus cinta, melainkan gejala lemah jantung atau kardiomiopati karena stres. Sindrom ini juga dikenal dengan nama sindrom Takotsubo. Sindrom patah hati ini terjadi ketika otot jantung melemah, sehingga menyebabkan nyeri dada dan sesak napas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gejala ini muncul seperti serangan jantung, tapi dipicu oleh stres bukan penyumbatan aliran darah. Dalam beberapa kasus, sindrom patah hati ini bisa menyebabkan kematian, tapi umumnya pasien dapat pulih dalam beberapa hari atau minggu.

Studi terbaru di Ohio, Amerika Serikat menemukan selama masa pandemi, orang dua kali lebih mungkin mengalami sindrom patah hati. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal medis JAMA Network Open ini mengamati 1.914 pasien yang dirawat selama pandemi. Semua pasien juga mengikuti tes virus corona, tapi tak satupun positif.

Hasilnya, peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan sindrom patah hati ini terjadi karena tekanan psikologis, sosial, ekonomi karena pandemi seperti isolasi, kurangnya interaksi, menjaga jarak, dan faktor ekonomi yang memberatkan kehidupan.

"Pandemi telah menciptakan lingkungan paralel yang tidak sehat. Jarak emosional tidak sehat. Dampak ekonomi tidak sehat. Penelitian kami menemukan bahwa stres kardiomiopati naik karena stres yang diciptakan pandemi," kata pemimpin penelitian ini dokter ahli jantung Ankur Kalra, dikutip dari CNN.

Namun, peneliti mengakui studi ini masih memiliki keterbatasan karena hanya dilakukan di Ohio. Dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk dapat menggeneralisasi hasil penelitian ini.

Dampak pandemi pada kesehatan mental memang sudah menjadi perhatian di sejumlah negara termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Dampak pandemi pada kesehatan mental masyarakat sudah sangat memprihatinkan," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus beberapa waktu lalu.

(ptj/nma)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER