Orang yang mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD) ditemukan dua kali lebih mungkin mengalami demensia di kemudian hari. Demensia bisa berkembang saat gejala PTSD telah mengganggu kehidupan sehari-hari selama satu bulan lamanya.
Hal itu ditemukan dalam sebuah analisis baru yang dilakukan para ahli, melalui beberapa penelitian yang telah lebih dulu dilakukan. Temuan ini dinilai memiliki implikasi penting untuk mengatasi pandemi Covid-19, yang tak hanya menyebabkan berbagai gangguan fisik, tapi juga psikis.
"PTSD, yang kini umum dialami pasien Covid-19, menjadi kondisi kesehatan mental yang kurang terdiagnosis, namun memiliki konsekuensi jangka panjang serius," ujar salah satu penulis Vasiliki Orgeta dari University College London, dalam sebuah pernyataan, melansir CNN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analisis mereka memberikan bukti baru tentang bagaimana pengalaman traumatis dapat memengaruhi kesehatan otak, termasuk salah satunya meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif dan demensia.
Penelitian tersebut menganalisis data hampir 1,7 juta orang dari 13 studi yang telah ada sebelumnya, yang dilakukan di empat benua. Hasilnya, ditemukan bahwa orang dengan PTSD berisiko mengalami demensia 1-2 kali lebih tinggi pada 17 tahun mendatang.
Penelitian juga menemukan beberapa jenis penyebab PTSD yang bisa memicu risiko demensia, seperti pelecehan seksual, ancaman kematian, kecelakaan, terorisme, dan berbagai jenis trauma lainnya.
Di tengah pandemi, para ahli mengatakan, trauma yang berkembang menjadi PTSD juga berisiko meningkat. Tak hanya untuk para tenaga medis, risiko juga juga bisa meningkat pada pasien dan keluarga pasien.
Dalam analisisnya, mereka menemukan bahwa 35 persen pasien yang sempat menjalani perawatan di ICU-karena penyakit apa pun-memiliki gejala PTSD yang signifikan selama dua tahun setelahnya.
Selain itu, sejumlah ahli kesehatan jiwa juga khawatir bahwa sindrom pernapasan akut yang terjadi pada beberapa pasien Covid-19 dapat menginfeksi otak atau memicu respons imun yang merugikan fungsi otak dan kesehatan mental pasien. Kekhawatiran itu sempat disampaikan pada sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Psychiatry pada April 2020 lalu.
![]() |
Mengomentari analisis tersebut, ahli saraf Richard Isaacson mengaku tak terkejut dengan hubungan antara stres atau PTSD dengan demensia.
"Dalam beberapa dekade terakhir, banyak bukti yang menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor risiko untuk berbagai kondisi medis kronis, termasuk Alzheimer dan demensia," ujar Isaacson.
PTSD sendiri merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya terus teringat akan kejadian traumatis. Gejala PTSD umumnya muncul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian traumatis.
Orang dengan PTSD umumnya memiliki kecenderungan untuk menghindari apa pun seputar peristiwa yang membuatnya traumatis. Mereka juga kerap dilingkupi oleh pemikiran dan perasaan negatif, dan bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri.
Orang dengan PTSD juga rentan mengalami perubahan perilaku dan emosi. Mereka umumnya kerap kali mudah takut atau marah secara tiba-tiba, meski tanpa dipicu oleh ingatan akan peristiwa traumatis yang pernah dialami.
Namun, PTSD dapat dicegah dan dikontrol. Isaacson mengatakan, jika Anda mengenali gejalanya, sesegera mungkin temui tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Lakukan beberapa teknik yang dapat meredakan stres dalam diri Anda agar ancaman demensia di kemudian hari bisa dihindari.
(asr)