Berwisata #DiIndonesiaAja tak pernah membosankan. Dengan begitu banyak ragam wisata, menilik kisah batik sebagai kekayaan bangsa selalu menarik. Misalnya di Solo, Jawa Tengah, di mana batik adalah identitas.
Sejarah panjang batik saat itu tak dapat dilepaskan dari pengaruh Keraton Surakarta yang mengalami perpecahan dengan Ngayogyakarta akibat Perjanjian Giyanti pada 1755. Karena semua busana kebesaran Mataram dibawa ke Keraton Yogyakarta, maka Sri Susuhunan Pakubuwana III memerintahkan para abdi dalem untuk membuat motif batik sendiri, dikenal sebagai Gagrak Surakarta.
Catatan sejarah menyebut, sekitar tahun 1.500 Masehi Ki Ageng Henis, kakek Danang Sutawijaya pendiri Kerajaan Mataram, memperkenalkan batik kepada warga di Desa Laweyan. Seiring waktu, Laweyan berkembang menjadi pusat industri batik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau di Solo itu ada Kampung Batik Laweyan dan Kampung Batik Kauman. Bisa dibilang, Laweyan ada 250 tahun sebelum Keraton Solo dan Kauman ada," kata Koordinator Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Alpha Pabela.
Alpha mengungkapkan, batik di Solo berbasis masyarakat, karena bisa dikatakan Laweyan itu pusat bisnisnya Kerajaan Pajang. Seni membatik diwariskan turun-temurun, dan tiap rumah memiliki motif masing-masing. Hal itu dilakukan agar tidak ada tiru-meniru motif.
Namun era keemasan Laweyan mulai menurun setelah industrilisasi batik, di mana bermunculan produk baru yakni tekstil bermotif batik, bukan ditulis. Penurunan terjadi selama 30 tahun, membuat warga setempat kala itu berpikir batik tak punya masa depan. Ketika masyarakat Laweyan menyadari potensi batik, sudah tak banyak pengrajin tersisa.
"Waktu itu pengusaha (batik) yang dulu ratusan, tinggal 16 orang. Melalui beberapa riset dari teman-teman bahwa potensi Laweyan luar biasa, pada 2004 masyarakat mendirikan Kampung Batik Laweyan," tutur Alpha.
Untuk melengkapi perjalanan menilik sejarah batik ini, sempatkan diri mampir ke Museum Batik Danarhadi yang memiliki koleksi 10 ribu helai kain batik yang berasal dari berbagai periode, serta pengaruh kultur yang beragam.
Lihat juga:Menapak Jejak Sejarah Kota Semarang |
Kurator Museum Batik Danarhadi, Asti menjelaskan bahwa batik dulu merupakan baju kerajaan, dikenal dengan nama Parang Barong. Batik yang dibuat dan berkembang di Keraton Solo itu mempunyai arti dan filosofi tersendiri, karena sebelum membatik putri-putri keraton terlebih dahulu melakukan ritual puasa dan meditasi.
Batik itu memikat hati banyak orang, termasuk para saudagar yang juga ingin mengenakan batik dan menjualnya. Pihak keraton mengizinkan, dengan syarat motif harus diubah, tak boleh sama persis seperti Parang Barong. Selain itu, batik harus digambar menggunakan lilin panas, bukan canting.
"Dari aspek budaya, untuk batik keraton ada nilai filosofi yang disampaikan turun-temurun dan hidup dalam masyarakat," kata Asti.
Sampai saat ini, batik tetap menjadi kebanggaan dan salah satu identitas asli Indonesia. Pada 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik Indonesia merupakan Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi, menjadikannya Hari Batik Nasional. Batik semakin populer, dan banyak diincar oleh wisatawan luar negeri.
Berwisata #DiIndonesiaAja akan semakin membanggakan jika dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai peraturan, yakni memakai masker, tidak berkerumun, serta menjaga kebersihan diri serta lingkungan. Dengan demikian, Anda bisa sekaligus menjaga pariwisata dan roda perekonomian dalam negeri.
(rea)