Riset Yayasan Plan International yang disampaikan jelang peringatan Hari Anak Perempuan Internasional menemukan ada separuh lebih dari total 14 ribu anak perempuan responden survei yang mengaku pernah mengalami kekerasan atau pelecehan online. Belasan ribu anak perempuan yang dilibatkan ini berasal dari 31 negara, termasuk Indonesia.
Keseluruhan responden merupakan anak perempuan usia antara 12-25 tahun. Sebanyak 500 reseponden merupakan anak perempuan asal Indonesia.
Influencing Director Yayasan PLAN International Nazla Mariza dalam paparannya memebeberkan temuan, 1 dari 4 anak perempuan responden yang mengalami pelecehan online merasa tidak aman secara fisik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kekerasan online ini sama dengan kekerasan lainnya. Akses internet lebih mudah, lebih intens di masa Covid-19, risiko paparan (kekerasan) lebih tinggi," ujar Nazla dalam webinar perayaan Hari Anak Perempuan Internasional, Jumat (9/10). Sementara Hari Anak Perempuan Internasional diperingati setiap 11 Oktober.
Riset juga mendapati, pelecehan online dapat membungkam suara anak perempuan. Temuan lain, muncul serangan terhadap identitas mereka sebagai anak perempuan dan konten yang mereka angkat.
Dalam riset, KBGO didefinisikan sebagai aksi kekerasan oleh satu orang atau lebih kepada orang lain dengan menyerang identitas gender atau seksualnya atau dengan memaksakan nilai gender.
Nazla menyebut, responden paling banyak mengalami ancaman kekerasan seksual (96 persen), perundungan (43 persen), dimata-matai (42 persen), dihina fisik (27 persen), dipermalukan (25 persen), pelecehan seksual (25 persen), komentar rasis (24 persen), ancaman kekerasan fisik (19 persen) dan komentar terhadap orientasi seksual (17 persen).
Sementara dari 500 anak perempuan responden asal Indonesia, sebanyak 395 di antaranya mengalami KBGO atau kekerasan online ganda.
"Dampak kekerasan ini, anak secara mental bisa terganggu. (Dari riset kami menemukan) anak merasa rendah diri, stres mental dan emosional, merasa tidak aman, dijauhi teman, isolasi diri," ungkap Nazla.
"Di usia 20 tahun ke atas, sulit mempertahankan pekerjaan atau pindah-pindah pekerjaan," sambung dia lagi.
![]() Infografis remaja dan media sosial (CNN Indonesia/Hafshah Fakhrin) |
Yang lebih mengejutkan, sebanyak 56 persen kekerasan dilakukan orang-orang yang dikenal seperti teman, pacar, mantan pacar dan lainnya, dilakukan akun anonim.
Nazla menduga, hal tersebut juga jadi salah satu faktor keengganan korban kekerasan untuk melapor. Temuan riset mendapati, sikap terbanyak yang diambil dalam menghadapi kekerasan atau pelecehan online ini adalah cuek atau tak menghiraukan pelaku dan tetap berselancar di media sosial.
Sekitar 39 persen responden menempuh hal itu.
"[Sikap cuek] bisa jadi ada korelasi antara keinginan melapor atau bertindak dengan perasaan tidak aman (mayoritas merasa tidak aman secara fisik), atau berkorelasi dengan pelaku yang mayoritas orang yang dikenal sehingga segan melaporkan atau bertindak, atau belum memahami mekanisme pelaporan online," ujar Nazla pada CNNIndonesia.com dalam kesempatan serupa.
Sementara respons lain berupa mengurangi penggunaan media sosial (12 persen), mengubah cara mengekspresikan diri (11 persen), menantang balik pelaku (12 persen), berhenti mengunggah konten berisi opini 98 persen), dan berhenti menggunakan aplikasi di mana KBGO terjadi (7 persen).
Hanya secuil yang mengambil solusi teknologi (9 persen). Solusi ini berupa pelaporan ke aplikasi ke media sosial yang digunakan (10 persen) dan mengubah pengaturan akun menjadi akun privat (38 persen).
Aneka bentuk kekerasan pun menjadikan aktivitas penggunaan media sosial jadi tidak nyaman. Menurut 41 persen responden, kenyamanan bermedia sosial dapat diupayakan oleh sesama pengguna media sosial, kemudian pemerintah (22 persen), perusahaan media sosial (19 persen), polisi (11 persen), dan organisasi masyarakat dan aktivitas (8 persen).
Yayasan Plan International merekomendasikan perlunya kerja sama berbagai pihak untuk menimbulkan rasa aman dan nyaman saat bermedia sosial. Perusahaan media sosial juga disarankan menyusun mekanisme pelaporan yang lebih tegas, efektif dan mudah diakses.
Sementara jika dititikberatkan di sisi anak perempuan yang rentan mengalami kekerasan, perlu ada pemahaman dan kemampuan memberikan pemahaman terkait KGBO, semakin berhati-hati saat mengakses media sosial juga mau melaporkan atau mencari bantuan saat mengalami kekerasan.
"Ketika ditanya, pernah enggak mengalami KGBO? Orang yang sering mendengar tentang KGBO [akan memberikan jawaban dan hasilnya] tinggi. Juga bisa jadi pernah mengalami tapi enggak tahu dan enggak sadar. Penting untuk meningkatkan kesadaran anak," kata dia.
Menanggapi hasil riset, Anindya Vivi, Co-Founder Hollaback Community Jakarta--komunitas yang berupaya untuk mengakhiri kekerasan di ruang publik mengungkapkan bahwa riset ini melengkapi riset yang pernah dilakukan komunitasnya.
Beberapa tahun lalu, KBGO belum semarak sekarang. Aksi kekerasan yang mulanya dilakukan di ruang publik, lanjut dia, sekarang berpindah ke online.
"Jadi bekal tambahan, ada urgensi [kebutuhan] undang-undang yang melindungi perempuan apalagi korban kekerasan seksual," kata Vivi dalam kesempatan yang sama.
Dia menyebut, aksi kekerasan yang terjadi kini seolah dinormalisasi. Vivi menyebut, pelaporan justru kerap berujung pada intimidasi korban oleh penegak hukum atau malah menyalahkan korban.
Vivi pernah menemukan sebagian orang yang justru menyalahkan korban saat memberikan kode yang menunjukkan ada KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) melalui TikTok. Dia berharap, riset Yayasan PLAN International bisa menunjukkan urgensi betapa penting pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
"Kita juga tidak boleh lupa, kita perlu mengedukasi calon korban kekerasan seksual. Siapapun bisa jadi korban dan siapapun bisa jadi pelaku. Percuma kalau edukasi korban doang, masyarakat juga perlu," imbuh dia.
Sementara di sisi lain, Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR RI menjanjikan bakal terus memperjuangkan pengesahan RUU PKS. Pengesahan RUU PKS ini menghadapi tantangan dan jalan terjal.
Menurut Farhan, dalam DPR sendiri misalnya, masih terkungkung pemikiran konservatif. Bahkan kata dia, ada yang menganggap bahwa kekerasan seksual ini merupakan ranah pribadi, bernuansa kebudayaan serta tidak boleh dibawa ke ranah negara.
Pelbagai pemikiran yang tak utuh mengenai kekerasan terhadap perempuan itu tak jarang bermuara ke pembenaran aksi pelecehan, pernikahan usia anak, ataupun bentuk kekerasan lain. Justru yang muncul terkadang, pelabelan genit atau 'nakal' pada perempuan.
Padahal, Farhan mengakui, aksi kejahatan termasuk kekerasan seksual timbul dari diri pelaku dan tidak berhubungan dengan sikap perempuan. Itu sebab dalam diskusi jelang Hari Anak Perempuan Internasional tersebut ditekankan pentingnya membangun kesadaran pelbagai pihak untuk mengerem kasus kekerasan gender berbasis online.
(els/nma)