Pandemi virus corona bukan saja menunjukkan beban berlapis pada kelompok perempuan melainkan juga mempersulit pelaporan kasus-kasus kekerasan. Terbatasnya agenda tatap muka, salah satunya, membuat proses penanganan dan pendampingan kian sukar.
Setidaknya, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam surveinya menemukan 88 persen dari total responden atau sekitar lebih 2.000 perempuan mengaku mengalami kekerasan.
Tapi 80,3 persen dari jumlah itu memilih untuk tak melapor. Rata-rata responden memilih diam atau sekadar 'curhat' ke anggota keluarga terdekat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal Komnas Perempuan telah menerima 892 kasus sepanjang Januari-Mei 2020. Meski baru hitungan bulan, angka kasus kekerasan ini hampir sama banyaknya dengan kasus sepanjang 2019 yakni 1.419 kasus.
Belum lagi soal data survei Komnas Perempuan yang juga menangkap gambaran soal beban berlipat selama pandemi.
Survei yang melibatkan 2.285 responden ini juga mendapati bahwa satu dari tiga perempuan mengalami stres karena pekerjaan rumah tangga yang meningkat selama pandemi.
Studi dikerjakan pada Maret-April 2020 secara daring tersebut memperlihatkan gambaran, pada masa karantina akibat wabah, perempuan melakoni pekerjaan rumah tangga dua kali lipat lebih berat dibanding laki-laki. Sebanyak 10,3 persen responden atau lebih dari 200 perempuan mengaku hubungan dengan pasangan mereka kian tegang.
"Terkait keterlibatan anggota keluarga, hanya 22 persen yang melaporkan anak laki-laki dan anak perempuan membantu pekerjaan rumah. Ini berarti tidak banyak anak banyak rezeki ya, tapi banyak anak banyak pengeluaran," terang Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah dalam webinar bersama Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (MAMPU), beberapa waktu lalu.
Direktur Lambu Ina--yayasan yang fokus di bidang pendampingan kekerasan perempuan dan anak--sekaligus Dewan Pengarah Nasional Pengada Layanan, Yustin Fendrita Cristofan mengamini temuan tersebut. Ia mengungkapkan kerentanan perempuan mengalami kekerasan terlebih selama pandemi disebabkan sejumlah faktor.
Salah satunya, budaya patriarki yang mengakar di masyarakat sehingga perempuan kerap dijadikan korban pelampiasan atas kondisi yang berat dan serba sulit--peningkatan angka PHK juga imbas lain kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Ia menjelaskan, budaya patriarki menimbulkan relasi kuasa yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. Alhasil, sebagian suami acap melampiaskan kemarahan ke istri saat putusan PHK.
Contoh lain, risiko terhadap intimidasi atau kekerasan digital karena peningkatan penggunaan internet selama PSBB. Kendati risiko meningkat, namun faktanya, laporan pengaduan justru menurun.
"Masuk PSBB, ada penurunan pengaduan dan pelayanan. Ini berkorelasi dengan hasil survei Komnas Perempuan. Ini tantangan buat lembaga pelayanan. Penurunan laporan ini karena kebijakan PSBB, korban sulit akses layanan lembaga," Yustin menduga.
![]() Infografis Data Kekerasan yang Dialami Perempuan |
Lebih lanjut lagi ia berkata, peralihan layanan dari tatap muka ke daring (online) sarat keterbatasan lantaran tidak semua korban memiliki akses internet yang baik.
Selain itu, Yustin menjelaskan, ada beberapa layanan yang memang sulit dialihkan ke daring seperti pendampingan, penanganan medis, rumah aman, bantuan hukum, juga layanan konseling.
Layanan konselor secara daring cukup menyulitkan karena keterbatasan waktu, jaringan yang tidak stabil sehingga konselor sulit melakukan klarifikasi, membaca ekspresi dan memberikan penguatan. Belum lagi jika konselor mengalami burn out karena menyerap luka korban.
Ada keterbatasan ruang gerak untuk pemulihan (healing) ketika pendampingan dilakukan secara daring.
"Juga keterbatasan anggaran karena pemda ada kebijakan realokasi, refocusing anggaran kasus kekerasa sementara dihapus. Banyak lembaga layanan tidak meneraplan protokol kesehatan buat menjangkau korban," imbuh Yustin.
Sementara Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyatakan telah merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun RPJMN tersebut menurut dia terbilang masih 'plain' atau sangat umum.
Detail perincian rencana lantas terpaksa tertunda lantaran pandemi virus corona.
"Yang pasti, di sini salah satu isu yang ditekankan adalah pengarusutamaan gender, bahwa pembangunan harus berperspektif gender. Ada protokol penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19. Namun implementasinya masih sekadar di ranah pengetahuan," kata Woro.
"Penanganan kasus kekerasan tidak hanya di tangan pemerintah. Perlu ada kerjasama dengan berbagai elemen. Kerjasama yang konstruktif dan positif. Kadang kita saling curiga, pemerintah ini ngapain," tambah dia lagi.
(els/nma)